Imam al-Bushiri dan Kasidah Burdahnya

Imam al-Bushiri dan Kasidah Burdahnya

Imam al-Bushiri dan Kasidah Burdahnya

Sebutlah Muhammad bin Said as Shanhaji al Bushiri, seorang sastrawan Mesir yang mengarang syair fenomenal ‘Burdah.’ Beliau lahir di Bahsyim pada bulan Syawal 607 H. ibunya berasal dari Bushir. Sedang ayahnya berasal dari Dalash. Sejak kecil beliau belajar agama dengan ayahnya. Kemudian beliau melanjutkan studi ke Kairo dan menjadi ulama besar.

Sebagai orang yang haus ilmu, beliau tak sebatas belajar ilmu duniawi. Beliau kemudian menempuh pelajaran spiritual pada sufi – sufi terkenal seperti Abu Hasan as Syadzili. Oleh karenanya, beliau banyak disebut sebagai seorang sufi katimbang seorang cendekiawan.

Dalam masyarakat, beliau pernah menduduki jabatan waliyul hisbah (semacam badan pengawas syariah) yang menandakan bahwa beliau juga ahli fikih moderat. Pada tahun 663, sultan az-Zahir diprotes masyarakat karena keputusan pengangkatan hakim dari berbagai madzhab. Hal itu dianggap akan menimbulkan perpecahan. Namun di mata al Bushiri, keputusan itu adalah implementasi dari hadis ikhtilafu ummati rahmatun. Beliau kemudian mengarang sajak, tertuju pada masyarakat yang kontra dengan keputusan az Zahir.

Membuat sajak memang hobi dan passion beliau. Banyak sekali sajak yang ditulis untuk siapapun dan atas permasalahan apapun. Hingga pada suatu hari, Zainuddin Ya’qub bin az Zubair menyarankan al-Bushiri agar mengarang beberapa syair untuk Rasulullah. Namun, di tengah proses penulisan syair itu, al Bushiri mengalami hemiplegia (kelumpuhan total).

Tiada yang menyangka bahwa al-Bushiri mengalami kejadiaan naas itu. Beliau tidak bisa melakukan apapun kecuali berdzikir dan menlantunkan sholawat dengan harapan syafaat Rasul. Lalu beliau tertidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah. Rasul mengusap bagian tubuhnya dan memberikan sehelai Burdah (semacam selimut/selendang) pada beliau. Al Bushiri lantas terbangun dan bisa berdiri tegak. Seperti tidak mengalami lumpuh sama sekali.

Al Bushiri kemudian berjalan keluar dan bertemu pria miskin yang menanyainya seputar syair untuk Rasul. Dalam mimpi, pria itu mendengar syair dilantunkan di depan Rasul hingga badan Rasul berayun – ayun. Al Bushiri pun memberi tahu syair Burdah pada pria miskin itu dan dengan cepat syair itu tersebar luas.

Seiring waktu, rupanya syair ini tak habis – habisnya didendangkan oleh umat Islam. Bahkan seringkali syair ini dibaca dalam majelis – majelis. Syair ini memang dikarang dengan diksi yang mudah diingat dan memiliki makna yang dalam. Syair ini juga dibentuk dialog sehingga pembaca benar – benar merasa bahwa ia tengah berdialog langsung dengan Rasul. Gombalan – gombalan cinta menjadikan syair ini menjadi syair cinta yanng romantis untuk Rasul. Saking banyaknya orang yang begitu terpesona dengan keindahan sajak dan pesan moral syair ini, dibuatlah terjemahan Burdah versi Turki, Persia, Melayu, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia.

Burdah berisi 160 bait yang terdiri dari pesan moral, pujian pada Rasul, keagungan Al Qur’an, doa – doa, dan puja – puji terhadap keagungan Allah. Keindahan diksi syair Burdah ini berhasil  menyihir para penikmat sastra seperti De Sacy, pengamat sastra Arab dari Perancis. Sampai – sampai ia  mengatakan bahwa belum ada penyair kotemporer Arab yang dapat menirukan Burdah.

Lain ladang lain belalang, meskipun syair Burdah banyak menuai pujian, ada beberapa pihak yang kontra dengan syair ini. Mereka adalah pengikut Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan bahwa al Bushiri termasuk golongan ghuluwwul mutashowwifah fi mahdin Nabi atau kelompok sufi yang ekstrim dalam memuji Nabi.

Tetapi terlepas dari pro dan kontra Burdah, Al-Qur;an mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersholawat atas Nabi. Hai orang – orang beriman, bersholawatlah atasnya dan berilah salam kepadanya dengan sehormat – hormatnya salam.” Maka memuji Nabi atas dasar cinta merupakan sesuatu yang wajar. Kisah syair Burdah merupakan indikator bahwa tradisi memuji Nabi ini sudah lestari selama ribuan tahun.  Dan bukan sebuah dosa jika kita turut serta melestarikan tradisi itu dengan melantunkan bacaan – bacaan sholawat. Dan terakhir, al Bushiri berkata dalam syairnya :

Aku gubah pujian untuk beliau

Dengannya, aku mengharap pengampunan

Atas dosa – dosa pada usia yang telah lalu

Dalam menggubah syair dan menjadi pembantu