Sebagai film dokumenter dengan konten sejarah, film ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ patutnya menambah wawasan kita soal kedatangan, bukti-bukti, penyebar, ajaran dan pengaruh Islam di Nusantara. Pertanyaannya; benarkah film dokumenter ini berkontribusi untuk memberi penjelasan terhadap suatu periode sejarah di Nusantara? Gaung narasi sejarah ‘Khilafah di Nusantara’ ini tidak pernah terdokumentasi dalam bentuk jurnal ilmiah yang terbuka, tapi terasa lebih kuat di sosial media dan pencarian google.
Paling mudah melakukan pengecekan google trend dengan kata kunci “Jejak Khilafah,” “Jejak Khilafah di Nusantara,”, Film Jejak Khilafah.” Temuan sementara (s/d 22 Agustus 2020) kemunculan kata kunci tersebut sudah dimulai sejak bulan Maret 2020. Kenaikan tajam berada diantara 2-8 Agustus 2020 dan 16-22 Agustus 2020.
Kemudian, informasi bahwa film ini akan ditayangkan di Youtube mempermudah kita melihat bagaimana film tersebut akan disajikan. Oleh sebab itu, apabila kita melakukan pengecekan secara manual saja, film ini dipromosikan dengan cara-cara propaganda politik. Untuk postingan video Youtube dengan kata kunci ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ (pertanggal 22 Agustus 2020) terdapat 80 Video dari 80 akun Chanel Youtube yang mempostingnya.
Saat dilakukan perhitungan, postingan video dengan kata kunci tersebut terus bertambah antara menit dan detik. Pertanyaannya: sebegitu antusiaskah penonton film dokumenter di negeri ini hingga membuat beragam pasukan kloning hanya demi membuktikan kebenaran dalam film tersebut; bahkan untuk film dokumenter yang belum selesai mereka tonton?
Ini cukup aneh, mengingat film dokumenter biasanya dibuat sedemikian serius sehingga dibutuhkan waktu bagi penonton dan kritikus film untuk menggali makna dan pesan-pesan didalamnya. Darimana mereka mendapatkan antusias sebesar itu? Bagaimana mereka langsung begitu saja faham hal tersebut adalah sebuah kebenaran tanpa harus mengkajinya secara mendalam?
Jawabannya ada pada postingan dengan kata kunci ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ di Youtube pada seminggu sebelumnya, antara 14-16 Agustus 2020. Saya kira, tidak mungkin terdapat ulasan sebuah film dokumenter yang bahkan belum dirilis, dibahas lebih dari lima forum yang kemudian di upload ke Youtube. Dugaan saya cukup keliru. Ternyata postingan video dengan kata kunci ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ di Youtube pada One Week Ago mencapai 100 video.
Sangat mungkin duplikasi ini dilakukan oleh pembuat film sebagai cara mempopulerkannya. Ini mirip dengan postingan pembakaran bendera HTI oleh Banser tahun 2018 yang dalam hitungan menit langsung terpublikasi lebih dari 80 video dalam satu hari. Agaknya saya menyesal lagi melakukan perhitungan secara manual meskipun dengan bantuan alat pencarian yang spesifik. Dapatkah anda bayangkan bagaimana sebuah film dokumenter diulas oleh lebih dari 100 channel Youtube bahkan sebelum film dirilis? Siapakah mereka?
Sebelum film dokumenter ini dirilis, sempat ada persoalan ketika Prof Peter Carey sebagai pakar sejarah–terutama kajiannya yang lengkap sekitar kehidupan Pangeran Dipenogoro dan lika-liku kehidupan di Pulau Jawa abad ke-19– merasa dijebak, dengan disertakan dalam diskusi dan dimasukan dalam film tersebut sebagai narasumber tanpa pemberitahuan. Modus ini bisa menjadi dugaan awal mengapa banyak pihak sudah mencium gerakan politik melalui film tersebut.
Namun masih ada keanehan lain. Pembicara dan narasumber dalam Film dokumenter dan diskusi mengenai ‘Jejak Khilafah di Nusantara’–selain Peter Carey yang protes–hampir pembicara lainnya seperti Ismanto, Ayah Naen dan Felix Siauw; tidak memposting, atau ikut mengupload trailer atau bagian dari film ini secuilpun di Channel Youtube mereka masing-masing. Hal ini tidak lazim karena biasanya aktor, tokoh penting dan sutradara akan merasa sebuah film dokumenter adalah sebuah karya yang harus diketahui publik bahwa mereka bagian dari karya tersebut.
Yang lebih aneh, Sutradara film ini, Nicko Pandawa, sama sekali tidak memposting jenis apapun dari film Jejak Khilafah di Nusantara di Channel Youtube pribadi miliknya. Ia justru hadir di sebuah chanel youtuber untuk menjawab pertanyaan sejumlah kalangan (Q&A), namun tidak hadir ketika diundang oleh chanel majalah Historia sebagai majalah sejarah populer yang diakui dikalangan sejarawan. Menarik statemennya:
‘saya bisa generalisasi dari semua kritikan itu, rata-rata landasannya tendensius, gitu. Karena kan memang dari judulnya aja itu udah cukup seksi untuk diangkat sekarang.”
Komentar tersebut sudah menunjukan kualitas berfikirnya yang mengutamanakan cara “menggeneralisir”. Meskipun akun Youtube miliknya (masih ragu) hanya berisi empat video yang isinya hanya perjalanan wisata ke sebuah masjid, pengibaran bendera HTI di sebuah puncak gunung sambil berteriak takbir, dan memakai kostum Portugis saat wisata ke sebuah Musem. Setidaknya disini terlihat ambisi sang sutradara untuk menyelesaikan sebuah narasi bahwa ada ‘Jejak Khilafah’ di Nusantara.’ Namun pengunjung museum berbeda dengan peneliti sejarah. Lebih dari itu, ketidakhadiran mereka sebagai aktor-jaringan penting dalam rangka meramaikan film ini membuat dugaan kita bahwa film ini memiliki tujuan-tujuan politis semakin nyata.
Sebagai gambaran, saya mencatat beberapa Channel Youtube yang mengupload kata kunci ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ dengan kategori Viewer tertinggi, Subscriber terbanyak, dan waktu upload.
Saya ambil beberapa contoh akun pengupload film tersebut yang memiliki subscriber tertinggi; Komunitas NTB Bersyariah dengan 109.000 Subscribed, Rindu Islam Kaffah dengan 13.000 Subscriber dan Teman Hijrah Community dengan 1.460 Subscriber. Sangat aneh, apabila beberapa akun menyoal khilafah, hijrah, dan Islam kaffah yang resmi/ official, yang memiliki jumlah subscriber lebih tinggi lagi, justru tidak mau terlibat langsung dalam meramaikan atau endorse film tersebut.
Beberapa Chanel Youtube yang meramaikan film tersebut justru sebagian besar akun bodong sekali pakai. Mereka adalah pasukan berkekuatan kecil Khilafah yang jumlahnya justru banyak. Mirip minion. Saya ambil beberapa contoh pengupload film JKDN: Chanel Youtube Dakwah Poros Hidup dengan 42 Subscribed umurnya baru empat bulan, Taubat Zinah Mata dengan 0 Subscribed, Fikri Radikal 7 Subscriber; baru dibuat channel nya pada tanggal 22 Agustus 2020, hanya memiliki 3 video. Isinya tentang potongan film tersebut. Ini hanya tiga akun yang saya pilih secara acak dari 80 akun Youtube yang mengupload film tersebut. Duplikasi chanel ini sama sekali tidak menguntungkan pihak yang kontra terhadap film ini, namun menguntungkan pembuat film karena akan mengerek popularitasnya dalam jaringan sosial media.
Artinya keriuhan ini dimeriahkan oleh pasukan berkekuatan kecil tapi berjumlah banyak di Youtube. Gaya ini mirip dengan Muslim Cyber Army (MCA), dengan cara melakukan ternak akun sosial media yang dipakai seolah-olah menunjukan ketertarikan publik yang sebenarnya hasil rekayasa yang diproduksi secara masif. Film ini dimeriahkan oleh akun-akun tidak resmi sedangkan akun resmi jaringan inti yang sangat berpengaruh soal ‘Khilafah’ berdiam diri senyap, setelah melempar jebakan busuk.
Hal ini menunjukan suatu persiapan yang begitu matang–dengan antisipasi pada beberapa level tertentu–saat film dokumenter yang diklaim mengungkap sejarah ‘Khilafah di Nusantara’ memang lebih banyak memuat pesan-pesan politik daripada literasi sejarah.
Bahkan ‘Fokus Khilafah Chanel’ dengan 58.000 Subscriber–yang diikuti oleh banyak tokoh HTI–sama sekali tidak menyinggung film tersebut. Sebenarnya, sebagai sebuah kelompok yang tertekan sangat logis apabila kelompok ini menggunakan segala cara agar pesan-pesan ideologinya sampai ke masyarakat luas tanpa meninggalkan jejak. Namun, dalam pertarungan semacam ini beberapa hal dikorbankan: fakta sejarah.
Inilah alasan mengapa saya harus berbicara banyak mengenai film ini. Mereka memanfaatkan audience yang lemah secara pengetahuan sejarah, dan memanfaatkan kontroversi ini sebagai jalan masuk mensosialisasikannya pada tuna sejarah. Tuntutan untuk melakukan edukasi pada masyarakat bahwa terjadi penyelewengan pada sejarah Nusantara merupakan alasan utama mengapa narasi yang minim fakta dan kaya akan klaim politik perlu diadili secara serius.
Pembuat film ini dan pasukan khilafah yang mendorong masyarakat digital untuk menyentuh pesan-pesan mereka dengan cara memproduksi ratusan konten yang sama menjauhkan mereka pada tujuan tradisional film dokumenter, seperti yang dikatakan Sutradara ternama Joko Anwar:
‘Film memang memberikan pendidikan hidup, tapi bukan dengan cara memberikan contoh baik harus seperti apa, atau menunjukan yang baik akan selalu menang. ..”
Film ini tidak bercerita tentang realita dan tidak mengandung pendidikan hidup. Ia adalah doktrin untuk mengilfiltrasi narasi yang sudah berkembang seperti “Jejak Islam di Nusantara diplesetkan menjadi “Jejak Khilafah di Nusantara.” Tentu saja proses semacam ini tidak membutuhkan riset dan ketekunan, hanya membutuhkan sedikit keberanian untuk berambisi mengubah sejarah tanpa riset akademik.
Selain itu strategi Playing victim pendukung Khilafah agar film ini diterima masyarakat Indonesia merupakan upaya halus memaksakan narasi mereka diterima sebagai kebenaran tunggal. Misal, mereka mengklaim bahwa film ini diretas dan diblokir Youtube namun justru mereka melakukan ternak ratusan channel Youtube dengan kata kunci yang sama–menunjukan bahwa hal tersebut dilakukan untuk menjebak publik terperangkap memasuki sejarah versi khilafah.
Bagaimana klaim retas dan blokir ini malah membuat mereka bisa mereplikasi film ini begitu masif? Apakah Youtube tidak mampu memblokir film dengan kata kunci tertentu? Atau justru sebenarnya tidak ada pemblokiran sehingga klaim tersebut digunakan untuk menjebak publik berada dalam sirkulasi informasi ‘Khilafah.’?
Terbukti bahwa mental gerombolan untuk memaksakan kehendaknya agar Khilafah diterima masyarakat juga mereka lakukan di sosial media. Strategi semacam ini memang harus mereka lakukan karena narasi khilafah tanpa fakta sejarah akan sangat mudah dipatahkan oleh beberapa kalangan. Sebab publik, yang didalamnya terdapat intelektual, ulama dan sejarawan, akan mudah menangkap lompatan-lompatan narasi seperti ini dan membantahnya dengan cepat. Inilah mengapa, film ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ dirilis tidak seperti film dokumenter pada lazimnya.
Kita memang belum membahas Narasi sejarah yang dibangun oleh film tersebut. Namun, apabila sebuah penyusunan karya sejarah terkait kedatangan Islam ke Nusantara bahkan Asia tenggara, namun sama sekali tidak mengutip (atau bahkan pura-pura mengutip dan terbuka menyatakan kritik) keterangan Prof Azyumardi Azra, Prof Susanto Zuhdi, dan mengutip sarjana lain yang fokus meneliti naskah Nusantara seperti Prof Oman Fathurahman yang fokus mengenai periode ini, bisa dipastikan terdapat banyak lompatan sejarah sehingga besar kemungkinan narasi tersebut ahistoris. Secara keilmuan, artinya mereka tidak punya sanad.
Jejak ambisi pendukung khilafah dalam memaksa masyarakat Indonesia menerima kebenaran sejarah tunggal milik mereka merupakan strategi teror. Mereka datang, melempar dalam keriuhan dan menghilang kala digelar pembuktian. Mereka tidak mungkin menjelaskan narasi tersebut secara terbuka karena kelemahan-kelemahannya yang sangat fatal. Soal utamanya sebab mereka tidak merasa bagian dari khazanah sejarah Nusantara.