Ritual dalam berdoa menjadi harapan dan jembatan seorang hamba kepada Tuhan untuk mengadu kehidupan. Doa dalam kajian teologi telah menjadi hal yang sakral yang mesti dipahami oleh penganut agama samawi.
Doa menjadi cara untuk mendekat, mengadu, meminta, perkara kehidupan akherat maupun duniawi. Hal itu yang telah diajarkan dalam kitab suci. Doa menjadi alat penuntun beribadah dan untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan Tuhan kepada hamba-Nya.
Setidaknya hal itu yang ingin disampaikan oleh Chasan Muhammad dalam bukunya berjudul Kumpulan Doa-Doa Makbul: Sebuah Petunjuk dan Contoh-contoh (1993). Buku tersebut setidaknya sedikit membantu umat muslim untuk memahami doa dalam beragama. Sekitar 356 doa pedoman kehidupan umat Muslim, Chasan hadirkan dari Al-Quran, hadis maupun kitab-kitab fiqih dari karya ulama-ulama Indonesia.
Dari pendahulan buku itu, Chasan mengartikan berdoa yaitu “bermohon kepada-Nya agar mengabulkan (memberikan) sesuatu yang kita harapkan (kehendaki), karena hanya Dia yang memberi. Oleh karena itu, tiap-tiap doa hendaknya dengan sepenuh hati, hadir kepada Allah, yaitu setiap doa-doa yang kita mohonkan ada penghayatan maupun pikiran. Membaca doa dengan tidak mengetahui arti dan maksudnya sama artinya tidak berdoa.”
Namun kehadiran berbagai doa-doa dalam ajaran Islam yang Chasan sampaikan belum begitu menyinggung perihal etika dan adab. Berdoa dalam ajaran Islam memang semestinya tidak hanya mengucapkan pada lisan tapi juga menyatukan hati dan pikiran. Perilaku umat Muslim tatkala berdoa sering kali memaknai doa sebatas sebuah permohonan maupun permintaan kepada Tuhan. Mafhum, berdoa memang menjadi alat untuk menggerakkan hati untuk memahami petunjuk dan merasakan kehadiran dari sang ilahi. Tapi dengan mengetahui etika dalam berdoa kita akan menemukan makna berdoa. Doa bukan hanya memohon tapi juga mencurahkan ratapan isi hati kepada Tuhan.
Jalaluddin Rakhmat pernah menulis buku berjudul Doa Bukan Lampu Aladin; Mengerti Rahasia Zikir dan Akhlak Memohon kepada Allah (2012). Rakhmat memberikan penjelasan mengenai doa tidak selalu berbuah keberhasilan dan mustajab dengan begitu cepat. Rakhmat mengisahkan doa dan kehidupanya tatkala sedang memperoleh beasiswa ke Australia dari pemerintah. Semenjak keberangkatannya mengenyam pendidikan di negeri seberang, beasiswa tersebut tak kunjung diberikan.
Ia begitu rajin salat malam, puasa senin-kamis dan berdoa agar beasiswa tersebut segera ia terima untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Ia selalu memohon kepada Tuhan agar bisa tetap bertahan meski perlu penantian dengan rintihan kesakitan.
Meski usaha dan doa sudah ia lakukan, pemerintah tidak kunjung memberikan beasiswa tersebut. Rakhmat yang sedang sakit disaat itu terpaksa menghubungi keluarga untuk memohon bantuan materiil. Dikala itu Rakhmat mengusulkan pada keluarganya untuk menjual mobil warisan keluarga demi memenuhi biaya kesehatannya. Namun nasibnya pun belum beruntung, Tuhan masih tetap mengujinya. Mobil itu mengalami kerusakan akibat kecelakaan hingga tak laku untuk dijual.
Kita bisa mendengar rintihan doa Rakhmat, “Aku lakukan salat malam. Aku amalkan doa dan wirid. Aku hanya meminta Dia membebaskanku dari ketergantungan terhadap obat. Cuma satu aku minta, Tuhan, sekiranya Engkau tidak mau menyembuhkanku, bebaskan aku dari ketergantungan kepada obat. Itu saja. Tapi, sudah puluhan tahun aku berdoa, Tuhan tidak menjawab doaku. Mungkin doaku tidak terkabul karena dosa. Aku sadar, aku mempunyai banyak dosa.” (hlm.13)
Dari peristiwa itu Rakhmat telah menyadari pentingnya estetika doa yang semestinya dipahami dengan kesabaraan dan kecintaan (mahabbah). Hal itu adalah salah satu adab berdoa kepada Tuhan. Dalam bukunya, ia menuliskan adab berdoa tidak lepas juga dengan keindahan bahasa untuk mengadu kepada-Nya. Berdoa sangat bergantung etika kepada Tuhan dengan berusaha menunjukan kesabaran, ketakwaan, dan kecintaan.
Kisah Rakhmat telah menunjukan bahwa seorang hamba yang banyak melakukan perbuatan dosa tentu menghambat keberhasilan doa. Maka peristiwa itu seharusnya dapat menjadi bahan renungan untuk umat Muslim, bahwa berdoa tidak hanya selalu penuh permintaan tapi juga perlu memahami dengan hati dan perasaan.
Seperti halnya kisah adab berdoa yang pernah dicontohkan oleh Nabi Ayyub ketika menderita sebuah penyakit kulit. “Tuhanku, kesengsaraan menimpaliku sekarang ini, sementara Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.”
Dari doa itu kita dapat mengetahui bahwa Nabi Ayyub selalu mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan. Bahkan, dalam doa tersebut Nabi Ayyub tidak mengatakan kata perintah (Fi’l amr) untuk Tuhan. Ia begitu sabar, dan mensyukuri ujian penyakit yang telah ia derita sekian lamanya. Ia sungguh menerima dengan keikhlasan dan ketulusan hingga Tuhan memberi balasan menyembuhkan penyakit yang menguji keimanannya.
Dari keteladanan kisah adab dalam berdoa tersebut kita perlu merenungkan kembali doa-doa yang telah kita lantunkan. Realita umat Muslim mutahir, kebanyakan berdoa hanya meminta perkara harta kekayaan, kesehatan, keselamatan namun enggan memikirkan adab dalam berdoa.
Dalam berdoa semestinya kita tidak melupakan kedekatan diri terhadap Tuhan dari lubuk hati dan pikiran. Maka adab berdoa itu tidak hanya diucapkan dari lisan tapi juga perlu kedekatan hati dan pikiran untuk selalu mengingat dan mensyukuri nikmat dari Tuhan.