Berburu Takjil, Ngabuburit, dan Kesenangan yang Kita Rindukan Saat Ramadhan

Berburu Takjil, Ngabuburit, dan Kesenangan yang Kita Rindukan Saat Ramadhan

Jangan sepelekan urusan berburu takjil. Bagi seorang mahasiswa di kota perantauan, kegiatan menyenangkan ini bisa menyelamatkan hidup selama sebulan penuh.

Berburu Takjil, Ngabuburit, dan Kesenangan yang Kita Rindukan Saat Ramadhan
ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/ama/18.

Siapa yang merasa senang ketika Ramadhan datang? Idealnya sih semua orang Muslim. Apalagi ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bergembira karena datangnya Ramadhan. Kata Nabi, “Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.” Meski hadis ini disebut oleh banyak ulama sebagai hadis dhaif, lemah, tapi tetap saja menyenangkan banyak orang.

Mayoritas umat Islam, tua-muda, laki-perempuan, jomblo atau sudah berkeluarga, bersemangat menyambut datangnya Ramadhan. Yang mungkin berbeda adalah sambutan mereka terhadap puasa. Maksudnya, jika pertanyaannya digeser sedikit: apakah semua orang merasa senang berpuasa? Jawabannya mungkin akan lain. Orang yang senang dengan Ramadhan belum tentu senang berpuasa.

Jika seseorang ditanya tentang hal yang menyenangkan di bulan Ramadhan, mungkin masing-masing akan menjawab secara subjektif. Tapi saya pikir ada hal-hal yang mungkin disepakati sebagai kesenangan bersama yang dirindukan dari Ramadhan.

Pertama, ngabuburit. Ini adalah kegiatan bersejarah yang selalu dirindukan di setiap Ramadhan, baik oleh mereka yang berpuasa, mereka yang hanya berpura-pura puasa, atau bahkan mereka yang tidak puasa. Tradisi jalan-jalan dan mencari makanan untuk berbuka puasa ini tidak hanya membuat sumringah para penjual takjil, tapi juga para pemburu jajanan untuk berbuka. Biasanya, di tiap-tiap kota ada kawasan-kawasan favorit untuk ngabuburit.

Di Jogja, misalnya, sepanjang jalan Kaliurang pada sore hari Ramadhan seperti disulap menjadi pasar-panjang yang menyajikan dan menawarkan beragam makanan pembuka. Bundaran UGM dipenuhi tenda-tenda bertuliskan deretan menu makanan lengkap dengan harganya. Jika tak meyukai kerumunan, seseorang bisa melangkah ke resto-resto yang agak menjauh dari ringroad tapi tetap saja dipenuhi oleh rayuan menu buka puasa. Suasana seperti ini memanjakan orang yang menjadikan ngabuburit sebagai hobi baru di bulan puasa.

Ngabuburit memang bisa dilakukan dengan banyak cara. Lumrahnya, orang akan melakukan kegiatan yang menurut mereka menyenangkan dan “mempercepat” lajunya waktu. Tidak terasa, tiba-tiba sudah maghrib, tiba-tiba sudah bedug. Di Madura ada istilah nyareh malem (mencari malam) untuk menyebut istilah lain dari ngabuburit. Istilah yang menggambarkan betapa azan maghrib yang menandakan garis start waktu malam sangat mereka tunggu-tunggu. Malam adalah nikmat.

Kedua, berburu takjil. Kegiatan militan dan penuh strategi ini biasanya sepaket dengan ngabuburit. Jangan sepelekan urusan berburu takjil. Bagi seorang mahasiswa di kota perantauan, kegiatan ini bisa menyelamatkan hidup dan menghemat energi selama sebulan penuh. Aktivitas hijrah dari masjid ke masjid menjadi kegiatan yang menyenangkan. Seorang mahasiswa yang menjadi hunter biasanya akan menyimpan daftar masjid dan menu yang dihidangkan.

Tradisi berburu (atau menyediakan) takjil ini tidak hanya ada di Indonesia. Di negara-negara lain, kegiatan filantropis ini juga trending. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, para pengunjung masjid dimanjakan dengan menu takjil yang serba lezat, seperti nasi mandi, bukhari, dan sepotong daging kambing atau ayam di atasnya. Belum lagi kurma, buah, jus, dan penganan-penganan kecil sebagai perangkat takjil sebenarnya.

Di Mesir ada istilah ma’idaturrahman untuk menyebut tradisi takjil. Masjid-masjid menyediakan menu buka bersama untuk mereka yang datang ke masjid menjelang azan maghrib. Uniknya, ada beberapa masjid yang menyediakan makanan untuk dibawa pulang. Tidak harus dimakan di tempat. Ini membuka ruang kreativitas mahasiswa Indonesia yang belajar di sana untuk mendatangi masjid tersebut sebelum azan, membawa pulang takjil, lalu menyimpannya untuk sahur. Untuk berbuka hari itu, dia akan mendatangi masjid lain. Sebuah strategi berhemat dan jurus jitu untuk survive di perantauan, bukan?

Yang diuntungkan dari tradisi berburu takjil ini bukan hanya pengunjung, tapi juga penyelenggara. Bayangkan saja kalau tak ada orang yang berkunjung ke masjid untuk berbuka. Siapa yang akan menyantap makanan sebegitu banyaknya? Nabi mendorong tradisi ini dengan mengatakan, “Barang siapa yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut.” (HR. Turmudzi).

Ketiga, tidur pagi. Aktivitas rebahan ini dipandang buruk oleh kebanyakan orang, tapi realitas #stayathome karena virus Corona jelas memanjakan tradisi leyeh-leyeh ini. Mau berangkat ke mana? kuliah? Kerja? Hampir semua aktivitas kehidupan sekarang dihimbau untuk dilakukan dari rumah. Work from home. Apalagi, kegiatan rebahan di saat berpuasa mendapatkan semacam “penyemangat” dari sebuah hadis riwayat Baihaqi. Bunyinya begini: “Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalnya dilipatgandakan.” Berita nggak enaknya,hadis ini dinilai sebagai hadis dhaif.

Saat ini Indonesia, seperti beberapa negara lain di dunia, secara (tidak) ketat melarang salat tarawih bersama dan kegiatan berbuka bersama di masjid-masjid. Aktivitas sosial dihimbau untuk senantiasa ditiadakan dan semua pekerjaan dilakukan di rumah. Meski demikian, hal ini bukanlah penghalang untuk semakin memaknai dan meresepi nilai puasa. Justru dalam kondisi seperti inilah kita diharapkan mampu memupuk lebih banyak empati dan merasakan apa yang dirasakan orang-orang tertimpa wabah. Bukankah salah satu tujuan puasa adalah membangun empati dan tepa selira dalam diri kita?

Inilah saatnya kita amalkan hadis, “Orang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan, yang saling mengokohkan satu sama lain.” (HR. Bukhari Muslim) [rf]