“Le, meskipun aku sudah berumur dan sudah banyak makan asam garam kehidupan, tapi bagaimanapun, banyak hal-hal yang hanya diketahui anak-anak muda,”
Kalimat itu disampaikan oleh Gus Ali Musthofa Asady kepada penulis, dalam sebuah kesempatan ketika beliau “numpang” berkunjung ke salah satu hotel di daerah Serpong, Tangerang. Bukannya makan di dalam hotel, namun beliau bersama istri mengajak penulis untuk ngandok makan di salah satu tenda penjual pecel ayam.
“Makan di luar saja ya. Prasmanannya sudah ditutup, toh aku juga mung numpang gurumu di sini, hehe,” seloroh beliau.
Beberapa hal beliau ceritakan terkait perkembangan pesantren tempat saya belajar dulu. Di antaranya, rencana pengembangan pesantren, jejaring alumni serta jamaah Majelis Istighotsah Gubug Bambu “Eleng Pati” yang diembannya. Ia mengaku perkembangannya saat ini sudah sangat pesat. Terlebih saat ia mulai dikenal di skala nasional, saat mendapat kesempatan mengisi istighotsah di Masjid Istiqlal beberapa tahun lalu.
Gus Ali, begitu masyarakat mengenal beliau, termasuk penulis sebagai santrinya, adalah putra pertama salah satu ulama kharismatik asal Malang, al maghfurlah KH. Ahmad Suyuthi Dahlan. Gus Ali yang lahir tahun 1963 ini tercatat pernah nyantri di Pesantren Ilmu Al Quran Singosari asuhan KH. Bashori Alwi, serta pernah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jombang.
Tentu saja penulis mengenal Gus Ali ini lebih sebagai salah satu sosok dewan pengasuh pesantren. Karena lebih mengetahui kiprah beliau pembinaan spiritual dan istighotsah, maka momen-momen bersama beliau kerap ditunggu santri. Setiap hari Minggu malam, Gus Ali bersama jamaah Gubug Bambu mengadakan istighotsah rutin, dimulai sekitar jam sebelas malam sampai berakhir sekitar jam 1 dini hari.
Beberapa santri, hingga saat ini, ada yang menyempatkan ikut. Selain memang ada ketenteraman tersendiri saat mengikuti istighotsah, bocah-bocah santri yang ikut – termasuk saya, di masa lalu – juga kadang berharap “berkah” sisa jamuan istighotsah, baik susu atau kopi jahe, gorengan, dan tahu petis.
Gubug Bambu adalah sebuah lokal kecil di pesantren Nurul Ulum yang dahulunya didirikan oleh KH. Ahmad Suyuthi Dahlan, sebagai pusat pembinaan dan rehabilitasi orang-orang yang dalam bahasa Malangnya korak, atau rusak dan jauh dari nilai agama. Banyak mantan peminum, preman, penjudi, yang dididik dalam asuhan Gus Mad, sapaan akrab KH. Ahmad Suyuthi Dahlan. Setelah Gus Mad wafat pada tahun 2009, majelis ini diemban oleh Gus Ali.
Dahulu ketika menjadi santri, saya kerap agak kecut dengan penampilan sekian jamaah yang tinggi besar, garang, bahkan ada yang tampak bertato, tapi ternyata sedemikian santun.
Saat ini majelis Istighotsah Gubug Bambu “Eleng Pati” sudah dikenal luas, utamanya di daerah Malang Raya. Saat ini, selain kegiatan rutin di Pesantren Nurul Ulum, majelis Gubug Bambu juga kerap diundang mengisi acara pembinaan spiritual di masjid-masjid, sekolah, perusahaan, dan pesantren-pesantren, dan kesemuanya tidak terbatas di daerah Jawa Timur saja, bahkan sampai luar Jawa.
Salah satunya momentum Ujian Nasional, membuat Gus Ali bisa turut berkontribusi secara spiritual kepada para pemuda dan pelajar di Malang Raya. Gus Ali bersama Majelis Gubug Bambu “Eleng Pati” sejak beberapa tahun ini mengadakan Istighotsah Akbar dan Doa Bersama bersama Pelajar jelang UN di masjid-masijd besar berbagai daerah.
Harapan beliau untuk anak-anak muda, diistilahkan: meskipun suporter maniak bola, tapi tetap semangat belajar atau bekerja, memegang ajaran agama dan menaati orang tua.
Salah satu acara besar yang juga diminati warga Malang Raya adalah Renungan Suci Malam Tahun Baru. Acara ini konon dirintis KH. Ahmad Suyuthi Dahlan, ayah Gus Ali, sejak akhir dekade 90-an. Setiap tahun acara ini dipadati muda-mudi dan masyarakat umum. Dibuka dengan pembacaan tahlil dan istighotsah, kemudian wejangan dari tamu undangan, lantas ditutup dengan doa bersama bersama Gus Ali.
Salah satu sosok yang pernah diundang dalam forum tersebut adalah mendiang Lucky Acub Zaenal, salah satu pendiri klub sepak bola Arema Malang. Terakhir, pada peringatan tahun baru 2018 lalu, acara Renungan Suci ini mengundang Kapten CPM. KH. Ali Imron dari Mojokerto dalam tajuk “Hubbul Wathon Minal Iman”.
Gus Ali bersama jamaah hingga hari ini tetap konsisten membina para preman, serta turut andil dalam bimbingan spiritual untuk pemuda dan pelajar di Kota Malang. Model istighotsah yang dikembangkannya itu, diakui diajarkan oleh seorang guru spiritual di Jawa Timur dan hasil perenungan dari kehidupan. Ketika diundang dalam majelis, beliau mengaku tak sedang berceramah. “Le, kalau diundang orang-orang saya kan tidak ceramah. Saya hanya berbagi motivasi dan ilmu kehidupan,” ujarnya.
Pesan penting yang sering disampaikan Gus Ali, sebagaimana motivasi ayah beliau saat merintis Majelis Gubug Bambu,
“Orang yang kehidupannya tampak kurang benar itu,” kata Gus Ali, kepada saya, masih di tenda warung makan di depan salah satu hotel Serpong itu, “hanyalah keliru jalan. Ia masih bisa diarahkan. Jangan sampai berprasangka buruk kepada Tuhan, seakan-akan Dia tak menerima taubat,”. Dan demikianlah juga yang sering disampaikan pula kepada santri-santrinya di Pondok Nurul Ulum, Malang.