Ketika Teknologi Bertemu Agama, Apakah Selalu Berdampak Negatif?

Ketika Teknologi Bertemu Agama, Apakah Selalu Berdampak Negatif?

Media sosial cenderung menghadirkan banalitas, sehingga sisi spiritualitas yang selama ini dijaga lewat cara dan otoritas tradisional telah mendapatkan “tantangan” dari beragam ekspresi dan relasi baru.

Ketika Teknologi Bertemu Agama, Apakah Selalu Berdampak Negatif?

Laporan LITBANG Kompas yang dirilis awal minggu lalu (17/04), mengulik soal tradisi mudik di masyarakat Indonesia. Menariknya, teknologi media beberapa kali disebut beririsan dengan tradisi mudik, termasuk di salah satu opini yang ditulis oleh Bahrul Amsal, akademisi dari Universitas Negeri Makassar.

Dalam opini berjudul “Spiritualitas Digital,” beliau menyebutkan perjumpaan teknologi, khususnya media sosial dan internet, dengan agama cenderung berdampak “buruk,” atau paling tidak bisa disebut negatif. Spiritualisme yang ada di agama-agama rentan sekali mengalami “kekeringan,” yang merujuk pada anggapan bahwa agama tidak lagi dapat menyirami ruhani manusia.

Amsal menyebutkan bahwa keberagamaan Homo Digitalis tidak lagi sejalan spiritualitas agama, yang merindukan dan merahasiakan hubungannya dengan Tuhan melalui peribadatan. Homo Digitalis, menurut Amsal, adalah pribadi yang telah dilucuti identitas kemanusiaannya, dan digantikan dengan data-data virtual untuk berbalik menentukan perilakunya saat terkoneksi dengan internet.

Agama hanya akan menjadi identitas diri belaka, bukan menjadi panduan dalam kehidupan seseorang. Dulu kita mengenal istilah “Islam KTP” untuk menyebut mereka yang tidak menjalankan ajaran agama, padahal identitas mereka adalah Muslim.

Selain itu, Amsal juga menyebutkan salah satu faktor dalam agama yang terpengaruh adalah posisi otoritas. Menurutnya, otoritas akan mengalami apa yang digambarkan oleh Tom Nichols dalam buku yang terkenal, Matinya Kepakaran. Kondisi yang digambarkan oleh Nichols adalah otoritas, termasuk otoritas agama, telah kalah saing dengan “masyarakat serba tahu” yang mengandalkan pengetahuannya pada internet.

Sehingga, semakin banyak masyarakat Muslim meninggalkan otoritas tradisional. Dengan kata lain, kita tidak lagi tergantung dengan kehadiran ulama, kyai, atau ustaz dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pengetahuan agama. Posisi mereka sudah mulai tergantikan oleh para pendakwah populer atau informasi-informasi agama yang diperoleh di media sosial atau beragam laman di internet.

Benarkah demikian? Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran yang berbeda dengan apa yang dihadirkan oleh Amsal dalam artikelnya. Sebab, spiritualitas agama yang disebut telah menghilang dari kehidupan kita hari ini bisa jadi hanya bertransformasi atau berubah wajah dari apa yang kita hadapi selama ini.

Beberapa waktu lalu saya mengikuti peringatan Haul seorang ulama di kota Banjarmasin. Haul adalah peringatan satu tahun meninggal seseorang, kebanyakan para ulama atau wali. Sebab, peringatan Haul biasanya dilaksanakan para jemaah dari sang otoritas agama atau wali.

Salah satu faktor paling menarik perhatian saya adalah perjumpaan antara teknologi media dan peringatan Haul tersebut cukup massif, bahkan cenderung dirayakan. Kehadiran teknologi media telah dimulai jauh sebelum peringatan Haul. Panitia dan relawan, yang sebagian besar diisi anak muda, berkomunikasi dengan para jemaah Haul lebih banyak dilakukan lewat media sosial.

Beragam informasi terkait peringatan Haul disebarluaskan dan dikonsumsi masyarakat luas lewat layanan jejaring sosial, seperti kapan pelaksanaan, aneka himbauan, beragam persiapan, hingga kondisi terakhir sebelum pelaksaan. Bahkan, jika ditelisik lebih dalam, media sosial hadir di hampir seluruh peringatan Haul, dari siaran langsung, video atau foto para jemaah yang sedang memperingati Haul ulama, hingga beragam rekaman kehidupan sang ulama yang dibagikan.

Media sosial pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peringatan Haul. Media sosial memang banyak menggantikan medium keberagamaan tradisional, yang selama ini telah menjadi bagian dari keberagamaan kita. Manuel Castell, akademisi asal Spanyol, pernah menyebutkan, “Protokol komunikasi (hari ini) tidak didasarkan pada berbagi budaya tetapi pada budaya berbagi.”

Kata-kata Castell di atas melihat internet dan situs media sosial telah memungkinkan akses eksponensial terhadap komunikasi yang beragam, digital, dan terbuka bagi lebih banyak individu. Laman pencarian dan media sosial dibangun di atas budaya berbagi yang telah membuat orang tidak terlalu bergantung pada media terpusat. Sehingga, informasi didemokrasi dengan tidak lagi ada yang bisa benar-benar mengklaimnya.

Spiritualitas Islam, khususnya di kalangan Sunni, telah lama dibangun dan dijaga lewat tradisi, seperti ritual atau pengetahuan agama yang jalur pengetahuannya dijaga lewat jalur sanad atau ijazah. Hari ini, model spiritualitas ini mendapatkan tantangan baru lewat internet yang memungkinkan orang untuk berbagi pengalaman spiritualnya masing-masing, entah siapapun dia.

Jika dulu, pengalaman spiritual ini dihadirkan lewat tokoh-tokoh ulama dan wali, hari ini semua orang dimungkinkan atau bisa saja membagikan pengalamannya masing-masing. Kondisi inilah yang nanti dikenal dengan Banalitas.

Namun, apakah ini akan benar-benar menghilangkan sisi spiritualitas? Rasanya tidak. Sebab, dari apa yang saya amati kemarin di peringatan Haul ulama kemarin malah sebaliknya, diantaranya media sosial telah memungkinkan para jemaah Haul memunculkan relasi-relasi baru dengan ulama yang mereka peringati hari meninggalnya.

Memang, anggapan negatif terkait kehadiran media sosial memang tidak bisa diabaikan sepenuhnya. Sebab, kekhawatiran akan dampak negatif media sosial pada agama bisa saja terjadi, bahkan mungkin sudah kita rasakan. Namun, sebagaimana banyak hal dalam kehidupan manusia, media sosial menghadirkan hal-hal baru di ranah agama.

Hampir seluruh manusia akan berhati-hati setiap berhadapan dengan hal-hal baru, termasuk apa-apa yang dihadirkan oleh media sosial. Oleh sebab itu, kemungkinan besar anggapan negatif tumbuh subur di antaranya didorong karena sikap kehati-hatian kita terhadap hal baru. Apalagi, media sosial seringkali memunculkan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi terlihat oleh kebanyakan manusia.

Saya pernah punya guyonan, “media sosial itu seperti posisi Kapitalisme di era perang dingin, yakni menang mutlak.” Hari ini kita melihat, merasakan, dan hidup bersama media sosial di dalamnya, hampir seluruh aspek kehidupan kita telah beririsan dengan teknologi tersebut. Maka, ruang, ekspresi, hingga relasi yang hadir lewat media sosial seakan telah menjadi takdir kita sebagai manusia, sehingga kita cenderung “dipaksa” beradaptasi dengan kehadirannya.

Sebagaimana disebutkan di atas, internet, termasuk media sosial, memang cenderung menghadirkan banalitas. Sehingga, sisi spiritualitas yang selama ini dijaga lewat cara dan otoritas tradisional telah mendapatkan “tantangan” dari beragam ekspresi dan relasi baru yang dihadirkan dan dimungkinkan oleh media sosial. Inilah yang sebenarnya terjadi.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin