Pandangan bahwa musibah bencana alam akibat dari dosa dan perbuatan syirik mengingatkanku pada peristiwa lebih dari sepuluh tahun lalu.
Tahun 2007, saya berkunjung ke sebuah daerah untuk memonitor sebuah program kesenian. Saya berkeliling selama kurang lebih 3 hari tiga malam. Ini salah satu perjalanan dan kegiatan yang sangat menyenangkan, terutama karena teman-teman yang menemani sangat baik dan hangat.
Hanya kehangatan ini agak terganggu oleh seorang lelaki setengah baya, seorang yang sangat hangat sebenarnya tapi sekaligus bersemangat. Ia bergabung dalam lingkaran karena terutama banyak membantu pekerjaan teknis. Tahu saya dari Yogya, ia sering mengajak ngobrol.
Ia bertanya apakah waktu gempa di yogya kemarin, rumah saya aman? Saya menjawab seperlunya. Ia kemudian mengatakan bahwa gempa terjadi karena banyak maksiat dan perbuatan syirik. Pernyataan ini ia lampiri dengan berbagai penegasan dan penjelasan.
Saya lebih senang mendengarkan saja dan malas mendebat. Tetapi ia selalu mengungkit2 bhw dosalah yang mengakibatkan terjadinya gempa seperti yang mnimpa di Yogya. Saya menimpali sesekali, misal waktu gempa kemarin, kawasan pantai samas, tempat pelacuran, justru tidak mengalami kerusakan sama sekali. Jadi bgm bisa, padahal katanya karena maksiat.
Tetapi si bapak tampaknya tidak peduli. Demikian juga ketika saya katakan bagaimana dengan Aceh Yang nogabene merupakan serambi Mekah. Tetapi ia tak mau lagi berpikir jauh dan sudah menggenggam kesimpulannya dengan kuat.
Ia bahkan menambahkan daftar maksiat orang di yogya, Yaitu syirik. Saya sering dengar kalau orang di Yogya masih sering menghaturkan sesajen ke kuburan, pohon-pohon besar, dan lain-lain. Keraton bukan melarang, malah menjadi penganjur kegiatan syirik seperti ini. Akibatnya terjadilah gempa tersebut.
Perkataan bapak ini betul-benar intimidatif dan sangat mengganggu sekali. Banyak paradoks dan fakta yang bisa dibeberkan untuk menggugat pandangan ini. Namun karena malas berdebat tadi saya memilih mendengarkan saja.
Ketika berpisah kami bertukar nomer hape. Ketika bertukar ia kembali menyinggung soal dosa dan syirik tersebut. Asem tenan kan!
Seminggu setelah itu, ketika menonton TV saya terkejut mendengarkan breaking news bhw telah terjadi gempa di kota tersebut. Laporan lanjutan mengatakan bahwa banyak bangunan yang roboh dan korban jiwa. Saya jadi ingat teman-teman. Tapi yang paling ingat lagi tentu saja si bapak itu.
Saya segera ambil Hape menulis pesan SMS ke teman-teman menghaturkan duka dan menanyakan kabar mereka. Tetapi khusus untuk si bapak saya menulis pesan yg berbeda, yang kira+kira bunyinya begini: “Apa kabar bapak? Kira-kira dosa dan tindakan syirik APA yang dilakukan kota bapak sehingga terjadi gempa?” Maksudku tentu saja ingin mengembalikan APA yg telah ia katakan.
Hanya dalam hitungan detik saya akan kirim pesan SMS itu dengan menekan tombol ‘sent.’ Tetapi itu urung saya lakukan.
Bagaimana pun setelah berpikir saya akhirnya menghapus pesan itu dan menggantinya dengan pernyataan duka, simpati dan doa semoga ia sekeluarga akan baik-baik saja.
Beberapa lama kemudian, si bapak menjawab SMS saya. Ia mengucapkan terima kasih, tetapi tidak menceritakan keadaan keluarganya, serta satu hal yang penting, pernyataan maaf atas perbincangan yang lalu. Rupanya dia msh ingat pernyataannya itu, meski saya tidak menggugat balik.
Demikianlah, sekadar catatan. Saya percaya Tuhan, dengan segala kekuasaanNya, tetapi mengembalikan peristiwa bencana sebagai suatu hukuman akibat dosa-dosa yang dilakukan terlalu menyederhanakan masalah. Ia lebij menunjukkan orang yang putus asa daripada optimis. Ia lebih memperlihatkan orang yang malas berpikir dan lalai merenung, kekurangan perspektif maupun perbandingan.
Bencana bukan hukuman. Tapi bahwa dengan bencana kita perlu ingat, muhasabah, tentang banyak hal, itu yang penting.