Dulu sejak zaman-zaman sekolah Menengah, saat pelajaran Sejarah Islam jika membahas Khalifah Utsman bin Affan kita selalu mengidentikannya sebagai seorang yang nepotis. Karena bacaan belum banyak, pikiran yang belum kritis serta rasa sungkan dan malu untuk bertanya kepada guru, maka penjelasan guru yang menyatakan Khalifah Utsman nepotis itupun kita telan mentah-mentah. Akhirnya berimplikasi pada pemahaman kita terhadap sosok Khalifah Utsman sampai sekarang.
Pro dan kontra soal Khalifah Utsman bin Affan apakah seorang nepotis atau bukan, masih menjadi tanda tanya bagi para sejarawan, ahli (kenangan) masa lampau serta ahli-ahli pikir modern pun masih berbeda pendapat mengenai masalah ini. Abul A’la al Maududi dan Sayyid Quthub termasuk yang menyatakan bahkwa Khalifah Utsman bin Affan telah melakukan nepotisme pada saat memerintah.
Yusuf al Qardhawi dalam kitabnya Tarikhuna al Muftara ‘Alaihi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Meluruskan Sejarah Islam, mengutip pendapat Abul A’la al Maududi dalam kitabnya al Khilafah wa Al Mulk menulis bahwa dalam kekuasaannya, Utsman bin Affan sangat berbeda dengan Umar bin Khattab, terutama dalam mengangkat keluarga dan kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan Utsman.
Utsman memberi kebebasan kepada kerabat-kerabatnya dan mendahulukan mereka dari pada sahabat yang lebih senior, baik kaum Muhajirin ataupun Anshar seperti Sa’ad bin abi Waqqash. Bahkan, sebagian yang diangkat oleh Utsman, termasuk orang-orang yang dibenci pada saat Rasulullah Saw masih hidup. Akan tetapi pada zaman Utsman lah mereka mendapatkan kedudukan dan mereka pulalah yang menjadi pemimpin umat Islam.
Senada dengan al Maududi, Sayyid Quthub menulis di antara karakter Utsman yang menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa yang banyak ditentang oleh para sahabat dan menyebabkan terjadinya berbagai fitnah yang merundung umat Islam adalah karena beliau terlalu memerhatikan kerabatnya.
Alasan para sejarawan menilai bahwa Khalifah Utsman bin Affan itu nepotis. Pertama, karena mengangkat Muawiyah bin Abi Sufyan yang merupakan kerabat dekatnya menjadi seorang Gubernur, Abdullah bin Amir, walid bin Uqbah, Sa’id bin ‘Ash dan Abdullah ibn Sa’ad. Kedua, menyalahgunakan uang negara yang diberikan kepada keluarga.
Menurut Prof. Dr. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Muawiyah bin Abi Sufyan adalah seorang kepala daerah yang diangkat oleh Umar bin Khattab atas kecakapan dan kemampuannya dan berhasil membawa kejayaan bagi Islam dalam beberapa pertempuran, termasuk melawan tentara Bizantium.
Nah, pada masa pemerintahannya, Khalifah Utsman kembali mengangkat Muawiyah sebagai pejabat, tentu dengan alasan kecakapan dan kemampuan yang dimilikinya. Kalaupun alasan karena kedekatan keluarga, menurut penulis itu merupakan alasan kesekian, bukan alasan pokok mengangkat Muawiyah sebagai pejabat.
Kemudian Abdullah bin Amir menjadi pejabat di Basrah yang semula dipegang oleh Abu Musa al-Asy’ari. Al-Asy’ari diganti karena sudah tidak lagi disukai rakyatnya, sebab “apa yang disampaikan berbeda dengan apa yang dikerjakannya.”
Nah, suatu waktu al-Asy’ari memimpin pasukan dan menata tentara untuk suatu pertempuran, sebelum pemberangkatan, beliau berpidato: kita harus hemat dan tidak boleh boros dalam menghadapi musuh di medan tempur. Ternyata Al-Asy’ari pada saat ia memimpin perang, ia mengenakan jubah yang mahal dan kuda yang ditunggaginya pun dibeli dengan harga yang mahal.
Sedangkan Walid bin Uqbah adalah saudara tiri, ada juga yang mengatakan saudara sesusuan Khalifah, namun sikap Walid seorang peminum khamar dan juga keras dan kasar membuat rakyat banyak mengeluhkan kelakuannya. Akhirnya Khalifah mengambil langkah untuk mengembalikan jabatan Khalifah itu kepada kedaulatan rakyat, rakyat bebas memilih pemimpin sesuai kriterianya, namun hanya bertahan beberapa bulan akhirnya gagal pula, kira-kita begitulah Prof. Karim menjelaskan dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Akhirnya Khalifah menunjuk lagi Sa’id bin Ash, yang masih keluarga dekat dengan Khalifah, yakni keponakan dari Khalid bin Walid. Sa’id bin Ash adalah seorang yang cakap dan berprestasi dalam menaklukan Persia Utara dan Azerbaizan. Namun, dia juga seorang peminum khamar dan tidak sabar, akhirnya ada kelompok yang menentang sang gubernur ini.
Masih dalam buku Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Abdullah bin Sa’ad awalnya adalah seorang ‘amil (semacam Dirjen Pajak) sekarang. Gubernurnya adalah Amr bin Ash. Namun dalam laporan keuangannya Amr bin Ash dan Abdullah bin Sa’ad terjadi ketimpangan.
Khalifah masih menginginkan kedua orang ini untuk menjadi pejabat di Mesir, namun Amr bin Ash memprotes dengan suara keras yang tidak sopan, padahal dia bawahan Khalifah. Karena sebelumnya Amr dinilai gagal dalam mengumpulkan pajak sedangkan Abdullah dua kali lipat dari kiriman Amr. Akhirnya Amr bin Ash dipecat dan Khalifah menggantikannya dengan Abdullah bin Sa’ad.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Khalifah tidaklah melakukan nepotisme. Khalifah mengangkat pejabat sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya. Terkait dengan penyalahgunaan uang negara oleh Khalifah, disebut sebagai sebuah fitnah. Hal ini karena sebelum menjadi Khalifah, Utsman adalah orang yang kaya raya lagi dermawan, dan dalam pengakuannya bahwa uang yang diberikan kepada keluarganya adalah uang pribadinya bukan uang yang berasal dari kas negara.
Wallahu a’lam.