Kisah Pemimpin: Umar, Muawiyah dan Abdul Malik

Kisah Pemimpin: Umar, Muawiyah dan Abdul Malik

“Puji syukur kepada Allah yang tetap menyisakan di kalangan rakyat Umar orang-orang yang akan meluruskannya dengan pedangnya yang tajam.”

Kisah Pemimpin: Umar, Muawiyah dan Abdul Malik

Ini kisah tentang tiga pemimpin. Ketiganya dipisahkan oleh tiga fase: (1) fase Umar, periode gemilang al-Khulafa’ al-Rasyidun; (2) masa Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah; dan (3) Abdul Malik bin Marwan, khalifah Umayyah paling menonjol dan simbol keluarga Marwan yang menggantikan keluarga Sufyan setelah wafatnya Muawiyah bin Yazid, khalifah ketiga Umayyah. Simaklah perbedaan kata-kata yang disampaikan oleh ketiga pemimpin itu; kata-kata yang menggambarkan bagaimana corak pemerintahan khilafah yang “berubah”.

[ 1 ]

Pada tahun 20 H, Umar bin Khattab berkhutbah di mimbar Rasul di kota Madinah. Ketika itu, ia berbicara soal peranan masyarakat dalam lurusnya dan pelurusan seorang pemimpin. Ia lalu disanggah seorang Arab badui: “Demi Allah, kalau kami menemukan ada yang bengkok dalam kepemimpinanmu, kami akan meluruskannya dengan pedang!”

Mimik Umar tetap bersahaja mendengarkannya. Ia kemudian mengucap syukur kepada Allah sambil melontarkan ungkapannya yang sangat terkenal itu:

“Puji syukur kepada Allah yang  tetap menyisakan di kalangan rakyat Umar orang-orang yang akan meluruskannya dengan pedangnya yang tajam.”

[ 2 ]

Pada tahun 45 H, Ibnu ‘Auf mengisahkan bahwa seorang lelaki menegur Muawiyah: “Demi Allah, hendaknya engkau bertindak lurus terhadap kami wahai Muawiyah, atau justru kami yang akan meluruskanmu!” Muawiyah menanggapi: “Dengan apa engkau akan meluruskanku?!” “Dengan kayu,” sahut lelaki itu. Tanggapan Muawiyah:

“Kalau begitu, kita akan sama-sama meluruskan diri.”

[ 3 ]

Pada tahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan berpidato di atas mimbar Rasulullah di kota Madinah setelah terbunuhnya Abdullah bin al-Zubair. Abdul Malik bin Marwan menyatakan ancaman:

“Demi Allah, janganlah sekal-kali ada yang mengatakan kepadaku untuk bertakwa kepada Allah setelah pidatoku ini jika tidak ingin kutebas tengkuknya!”

****

Referensi: buku karya Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang, (terjemahan dari “Al-Haqiqah al-Ghaibah” oleh Novriantoni Kahar), halaman 91-92.