Hadis-hadis tentang masa depan tidaklah sedikit, di antaranya adalah hadis tentang keberkahan Negeri Syam. Terdapat sebuah hadis yang mengistimewakan Negeri Syam, sebagai medan pertempuran akhir zaman. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Darda’, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ فُسْطَاطَ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَ الْمَلْحَمَةِ بِالْغُوطَةِ إِلَى جَانِبِ مَدِينَةٍ يُقَالُ لَهَا دِمَشْقُ مِنْ خَيْرِ مَدَائِنِ الشَّامِ
“Sesungguhnya barak kaum muslimin di hari perang besar terjadi berada di Ghauthah (nama sebuah daerah di Syam), sampai ke sisi sebuah kota yang dinamakan Damaskus, kota terbaik dari kota-kota yang ada di Syam.”
Maksud dari hadis ini adalah bahwa ketika terjadinya perang besar (maqtalah udzma), benteng terakhir umat Islam saat itu adalah kawasan Ghauthah, nama sebuah tempat di Syam. Tempat tersebut penuh dengan air dan pepohonan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa perang besar yang dimaksud adalah perang besar yang terjadi antara umat Islam dan tentara Salibis.
Hadis di atas dapat dijumpai dalam Sunan Abu Dawud. Dari segi keshahihan hadisnya, hadis ini dianggap shahih oleh al-Albani, begitupun dengan Yahya bin Ma’in yang pernah mengatakan bahwa tidak ada hadis-hadis yang berbicara terkait negeri Syam yang paling shahih selain hadis tentang perang besar ini.Pendapat berbeda diutarakan olehSyekh al-Idlibi dalam karyanya Ahadits Fadhail al-Syam: Dirasah Naqdiyyah (Hadis-Hadis Keutamaan Syam: Studi Kritis), Menurutnya hadis ini dhaif. Hal ini disimpulkan setelah mengkaji seluruh jalur periwayatannya.
Hadis ini sendiri diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya adalah Abu Darda’, ‘Auf bin Malik, Mu’adz bin Jabal, dan beberapa sahabat Nabi SAW lainnya. Hadis ini memiliki syahid (jalur pendukung lain) yang bersumber dari Abu Hurairah dan dari riwayat mursal Abu Zahirah dan ‘Ali Zainal ‘Abidin.
Hadis yang bersumber dari Abu Darda’ pada dasarnya shahih, sayangnya setelah ditelusuri terdapat riwayat lain yang menyebutkan bahwa Abu Darda’ dalam riwayat tersebut tidak ada dan hanya sampai ke tabi’in yang bernama Jubair bin Nufail, dengan begitu riwayat kedua ini mursal. Fakta ini membuat riwayat Abu Darda’ memiliki ‘illat dan tidak lagi dianggap shahih, namun dhaif.
Hadis selanjutnya adalah hadis dari ‘Auf bin Malik yang setelah ditelurusi juga termasuk hadis yang dhaif, demikian pula hadis yang bersumber dari Mu’ad bin Jabal di dalam riwayatnya terdapat seorang rawi yang dituduh sebagai seorang pendusta atau dalam studi hadis dikatakan sebagai muttaham bil kadzb. Adapun beberapa riwayat pendukung dari Abu Hurairah ternyata jalur periwayatannya sangat lemah atau dhaif jiddan.
Dan riwayat Abu Zahirah dan ‘Ali Zainal Abidin keduanya adalah riwayat mursal, artinya hanya sampai kepada tingkat tabi’in. Oleh sebab itu riwayat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hadis yang bersumber dari Nabi SAW, melainkan dikatakan sebagai atsar atau khabar semata.
Syam sepanjang sejarah pernah mengalamai tiga perang besar, pertama adalah perang Yarmuk, kedua adalah perang ‘Ain Jaluth, selanjutnya adalah perang Haththin. Perang Yarmuk terjadi antara umat Islam dan kekaisaran Bizantium, dalam perang tersebut umat Islam berhasil mengalahkan Bizantium. Selanjutnya adalah perang ‘Ain Jalut yang dimenangkan umat Islam atas bangsa Tartar atau Barbar, dan menghentikan ekspansi mereka ke negeri-negeri Islam lainnya. Dan yang terakhir adalah perang Haththin antara umat Islam dan tentara salibis yang juga dimenangkan oleh umat Islam.
Jika yang dimaksud dalam hadis prediktif di atas adalah tiga perang besar di atas, maka periode prediksi hanya akan berakhir pada tiga perang tersebut dan tidak lagi bisa ditarik ulur ke belakang. Apalagi ditafsirkan secara sembarang dan digunakan untuk melegitimasi kekacauan yang tengah terjadi di wilayah bekas Syam saat ini, atau yang secara khusus terjadi di Suriah.
Sama halnya dengan hadis-hadis prediksi lainnya, ketika yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad adalah suatu hal yang khusus, maka ketika hal itu telah berakhir, maka berakhirlah periode prediksi tersebut. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai matahari terbit dari barat.”
Hadis di atas secara eksplisit menjelaskan tentang fenomena yang akan terjadi di akhir zaman, bahwa akan terjadi suatu fenomena di mana matahari yang secara hukum alam biasanya terbit dari timur ke barat, ia akan berubah dari barat ke arah timur. Ketika peristiwa ini belum terjadi, maka hadis prediktif tersebut masih tetap akan berlaku, dan akan berakhir ketika ia telah terjadi.
Beberapa penulis tentang keberkahan negeri Syam, mendakwa bahwa hadis-hadis semacam ini adalah hadis-hadis terkait keutamaan yang dimiliki oleh negeri Syam, yang khusus dan tidak dimiliki oleh negeri-negeri yang lain. Hal ini seperti yang ditulis oleh Syekh al-Munajjid dalam karyanya Thuba al-Syam. Jika memang demikian, penting untuk dilihat, apakah benar perang atau apapun yang terjadi dalam setiap peperangan adalah keberkahan bukan malapetaka.
Perang dalam sejarah manusia adalah suatu hal yang paling ditakuti, akan banyak nyawa manusia melayang, harta benda, dan semuanya akan binasa. Jika demikian, apa benar kemudian dikatakan bahwa perang adalah kelebihan atau keutamaan yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Bukankah negeri yang damai yang tidak mengalami konflik berkepanjangan adalah negeri yang justru memiliki keberkahannya?
Beberapa kalangan beranggapan bahwa hadis di atas hanya akan benar-benar terwujud ketika kiamat akan terjadi, lantas pertanyaannya adalah kapan itu akan terjadi? Bukankah sejak zaman Rasulullah SAW pun beliau telah mengatakan bahwa hari kiamat sudah sangat dekat? Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ
“Antara aku dan hari kiamat ketika aku diutus seperti dua hal ini.”
Yang dimaksud dengan dua hal ini adalah antara jari tengah dan jari telunjuk, dua hal yang sangat dekat dan tak terpisahkan. Itu artinya periode diutusnya Rasulullah SAW sampai dengan kiamat terjadi sudah sangat dekat, demikian dengan tiga perang besar tersebut terjadi, merupakan salah satu dari prediksi Nabi SAW yang juga telah terjadi.
Oleh karenanya penting untuk memaknai setiap yang bersumber dari Rasulullah SAW sesuai dengan konteksnya, dan tidak menafsirkannya secara politis dan tendensius atau karena hasrat keimanan yang menggebu-gebu sehingga salah mengartikannya