Benarkah Rohis Menjadi Pintu Masuk HTI?

Benarkah Rohis Menjadi Pintu Masuk HTI?

Apakah benar rohis menjadi ruang pembibitan gerakan transnasional Hizbut Tahrir Indonesia?

Benarkah Rohis Menjadi Pintu Masuk HTI?
Ilustrasi: foto Karim, Komunitas Royatul Islam yang disebut sebagai perwajahan baru HTI

Meskipun HTI sudah dibubarkan, namun penggunaan atributnya masih sering kita jumpai dalam momen-momen tertentu. Misalnya, pada saat apel Hari Santri Nasional (22/10/2018) di Garut seseorang dengan sengaja mengibarkan bendera kebesaran HTI yang kemudian dibakar oleh anggota Banser.

Pun demikian pada momen-momen yang biasanya mengatasnamakan “umat Islam” bahkan pada kampanye pilpres beberapa saat lalu.

Kasus yang paling mutakhir terjadi di MAN 1 Sukabumi. Seorang siswa anggota organisasi ekstrakurikuler, rohis, dalam sebuah kegiatan mengibarkan bendera yang sama. Tentu, aksi tersebut mengundang perhatian banyak pihak, terutama warga-net tidak terkecuali Mentri Agama, Lukman Hakim Saifuddin yang turut memberikan komentar dengan meminta pihak-pihak terkait untuk segera menyelidiki detail kejadiannya.

Setelah saya menelusuri informasi berkenaan hal di atas, siswa yang mengibarkan bendera mengaku tidak tahu-menahu bahwa tindakannya akan menimbulkan keresahan publik.

Siswa yang bersangkutan mengaku bahwa tindakannya tersebut semata-mata didasari atas keinginannya untuk caper kepada siswa lain agar mereka tertarik untuk bergabung dengan kegiatan ekstrakurikuler rohis.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa sudah menjadi pengetahuan umum jika rohis menjadi salah satu pintu masuknya paham intoleran di lingkungan sekolah. Melalui diskusi keagamaan, termasuk mentoring, secara perlahan siswa diajari paham agama yang eksklusif dan anti terhadap perbedaan.

Pengisi materi dan mentor umumnya merupakan guru agama atau mahasiswa yang kebanyakan adalah alumni sekolah terkait. Sebenarnya tidak ada hal yang salah dalam kegiatan ini, namun beda ceritanya jika melihat materi yang disampaikan berlawanan dengan semangat Islam sebagai agama rahmah dan ideologi negara.

Dalam banyak kasus, menurut saya, sejauh ini pihak sekolah terkesan kurang memberi perhatian terhadap materi yang diberikan. Bisa jadi, pihak sekolah justru cukup puas dan merasa senang dengan banyaknya kegiatan yang diadakan dan siswa menjadi aktif dalam berorganisasi.

Padahal, mereka seharusnya khawatir karena justru melalui kegiatan rohis ini, anak didiknya rawan terpapar oleh paham intoleran bahkan radikal.

Kasus yang terjadi di MAN 1 Sukabumi ini adalah contoh yang paling konkrit atas kurangnya perhatian dan kontrol pihak sekolah terhadap kegiatan siswanya. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga, tentu tidak hanya bagi satu sekolah saja, namun bagi semua sekolah pada umumnya, dan sekolah “plat merah” khususnya; juga bagi siapa pun yang bergelut dalam jalur pendidikan pada umumnya.

Pihak sekolah harus memberikan perhatian khusus terhadap kegiatan ekstrakurikuler keagamaan ini karena memang fakta nya, rohis telah menjadi gerbang masuknya paham intoleran. Harus ada keterlibatan langsung dalam menyusun materi kegiatan dan menentukan figur yang dilibatkan sebagai pemateri atau mentor. Figur tersebut harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni dalam bidang agama serta mempunyai semangat nasionalisme.

Sehingga, dalam penyampaiannya, mereka tidak sekadar memberikan materi keagamaan saja namun turut mengaitkannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi ciri khas masyarakat nusantara, dan juga wawasan kebangsaan.

Selain untuk mencegah menyusup-nya doktrin-doktrin eksklusif, dengan memberikan perhatian khusus pada rohis, saya berangan-angan kedepannya rohis justru mampu menjadi salah satu pilar penegak harmonisasi antar agama dan negara, minimal dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yakni sekolah.

Jika demikian, bukan tidak mungkin, kedepannya kita melihat mereka yang aktif dan bersemangat belajar agama melalui rohis dan kegiatan sejenisnya turut menjadi figur-figur yang dengan lantang menyuarakan persatuan dan semangat kebangsaan.

Karena pada dasarnya, mempelajari agama tidak seharusnya membuat seseorang kemudian menjadi anti terhadap perbedaan dan alergi dengan konsep negara bangsa. Menurut hemat saya, justru sebaliknya, semakin dalam ilmu agama seseorang, maka semakin terbuka untuk menerima perbedaan. Pun demikian, semakin tinggi pula rasa nasionalisme yang dimiliki.

Sebagaimana telah diteladankan oleh banyak ulama kita seperti, K.H. Hasyim Asya’ari dengan fatwa resolusi jihadnya. Begitu juga Habib Luthfi dalam banyak tausiyahnya selalu mengingatkan tentang pentingnya menjaga NKRI dari paham-paham Islam nyleneh yang mengancam keutuhan NKRI. Wallahu a’lam…

Ahmad Aminuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja dan Alumni CRCS UGM.