Tidak sedikit umat Islam yang menganggap Rasulullah Muhammad pernah sesat sebelum dilantik sebagai Nabi dan Rasul. Untuk menguatkan anggapan itu, mereka menunjuk dalil ayat Al-Qur’an surat Ad-Dluha:
(وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ)
[Surat Adh-Dhuhaa 7]
Dan Dia mendapati engkau dalam keadaan bingung lalu Dia memberi petunjuk.
Kata ” ضَالًّا ” di situ oleh sebagian orang diartikan sesat karena berasal dari kata ضل – يضل – ضلالة yang maknanya adalah sesat.
Tapi, apakah benar Rasulullah pernah sesat dan apakah benar makna ضَالًّا dan juga ضلال di dalam Al-Qur’an maknanya adalah sesat secara ajeg?
Di dalam Al-Qur’an, kata ضلال digunakan di banyak tempat dan juga dalam banyak makna. Dalam konteks keimanan, kata ضلال maknanya benar “sesat”. Tapi, dalam konteks yang lain makna ضلال adalah keliru. Ini misalnya dapat dibaca pada kisah Nabi Ya’qub yang disebut oleh saudara-saudara Nabi Yusuf dengan sebutan ضلال:
(إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَىٰ أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ)
[Surat Yusuf 8]
Ketika mereka berkata, “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.
Kata dholal di situ diartikan sebagai kekeliruan, bukan kesesatan. Walaupun makna keliru dan sesat itu saling berdekatan tapi keliru belum tentu sama dengan sesat. Perbedaannya terletak kepada intensi. Orang yang keliru bisa jadi akan mengoreksi sendiri kekeliruannya jika ia menyadari. Berbeda dengan orang yang sesat.
Di dalam kamus Arab- Arab kata ضلال maknanya adalah:
الغياب tidak diketahui
الهلاك kehancuran
Kembali kepada permasalahan awal, apakah benar Nabi Muhammad pernah sesat hanya karena ada petunjuk ayatnya?
Sebelum sampai kepada jawaban yang dinanti, perlu dipahami bahwa ayat Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan atas ayat yang turun sebelumnya. Ayat ke-7 surat Ad-Dhuha itu ada kaitannya dengan ayat di dalam surat Yunus ini:
(فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ)
[Surat Yunus 94]
Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sungguh, telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu.
Dilihat dari waktu turunnya surat Addluha ayat 7 dan surat Yunus ayat 94 dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama diturunkan sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Dari aspek kronologinya, surat Yunus ayat 94 diturunkan lebih dahulu dari surat Addluha.
Penguat dari asumsi itu adalah keterangan dari Aisyah radhiyallahu anha, sebagaimana di dalam riwayat al-Bukhari, yang menceritakan kisah turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah. Di situ disebutkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani dan paman dari Khadijah. Di dalam kisah itu jawaban dari Waraqah menenangkan hati Rasulullah setelah mengetahui bahwa dirinya adalah Nabi utusan Allah.
Saya kira di sinilah relevansi makna kata dhollan yang maknanya bingung dengan ayat 94 surat Yunus di atas. Allah memberi petunjuk melalui pengakuan Waraqah yang dikenal tulus dan jujur, kepada Nabi Muhammad bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul.
Lalu, apakah sebelum mendapat wahyu Al-Qur’an Nabi Muhammad dalam keadaan sesat? Pertanyaan ini menurut hemat saya searah dengan pertanyaan sejak kapan Rasulullah ditetapkan sebagai Nabi dan Rasul?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya tampilkan dua ayat tentang Nabi Yahya dan Nabi Isa berikut ini:
(يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا)
Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak.
[Surat Maryam 12]
Hikmah di sini adalah pengetahuan kenabian.
(قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا)
Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.
[Surat Maryam 30]
Ayat ini mengisahkan jawaban Nabi Isa yang masih dalam gendongan mengaku dirinya adalah seorang Nabi dan Rasul.
Dari kedua ayat itu diketahui bahwa pangkat kenabian sudah Allah berikan sejak para nabi itu masih kanak-kanak.
Lalu, bagaimana dengan Rasulullah Muhammad? Sejak kapan beliau menjadi Nabi? Berikut ayat-ayatnya:
(وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَٰذَا سِحْرٌ مُبِينٌ)
Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.”
[Surat Ash-Shaf 6]
Di sini Nabi Isa memberitakan kedatangan seorang Rasul yang namanya sang terpuji (ahmad). Itu artinya sejak zaman Nabi Isa, nama Rasulullah Muhammad sudah diketahui.
(وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ)
Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar. (Qs 2:89)
Syaikh Abdullah bin Nashir Assa’dy menulis bahwa orang-orang Yahudi pada masa lalu senantiasa menyebut nama Rasulullah ketika mereka berperang melawan kaum paganis Arab.
Hadits riwayat Ahmad sebagaimana dinukil al-Hafidz Ibnu Rajab di dalam Lathaiful Ma’arif:
aku adalah nabi terakhir yang tertulis di Lauh Mahfudz sedangkan Adam masih berupa tanah.
Dari dalil-dalil itu, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad sudah menjadi nabi sebelum ia dilahirkan. Ia terlahir sebagai seorang nabi dan tidak pernah mengalami kesesatan sebagaimana dituduhkan banyak orang.
Memperingati maulid Nabi artinya memperingati kelahiran seorang Nabi. Bahkan Syaikh Yusuf al-Qardlawy menyebutnya sebagai memperingati kelahiran risalah.
shollu alan Nabi…