Belenggu Struktural dan Kultural Kebebasan Beragama Umat Kristen di Indonesia

Belenggu Struktural dan Kultural Kebebasan Beragama Umat Kristen di Indonesia

Kebebasan beragama umat Kristen di Indonesia masih belum terjamin sepenuhnya. Terbaru, jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Bogor dan Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Lampung mengalami peristiwa pembubaran ibadah.

Belenggu Struktural dan Kultural Kebebasan Beragama Umat Kristen di Indonesia
Setiap pemeluk agama harus dijamin kebebasan beragamanya.

Tahun baru, semangat baru, namun isu yang sama, adalah slogan yang tepat bagi jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Bogor dan Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Lampung. Mereka harus dihantam batu sandungan struktural dan kultural dalam mengekspresikan ajaran agama mereka. Bukti bahwa kebebasan beragama umat Kristen belum terjamin sepenuhnya.

Pada Minggu 5 Februari 2023, terjadi pembubaran kegiatan ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Pembubaran kegiatan ibadah itu dilakukan dengan alasan tak memiliki izin.

Tak hanya di Jawa, pembubaran ibadah juga terjadi pada hari yang sama terhadap Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Jemaat Filadelfia Bandar Lampung. Berdasarkan keterangan jemaat, Pdt. Mardi Utomo,S,Th, pelarangan ibadah sudah 3 kali terjadi, juga karena alasan yang sama.

Secara legal, tempat umum yang tidak berizin memang seharusnya belum bisa digunakan oleh publik. Tidak harus gereja, masjid pun jika tidak memiliki surat IMB juga tidak bisa digunakan untuk sholat berjamaah. Aneh memang membayangkan masjid tidak berizin. Ngurus IMB masjid di Indonesia sama dengan membangun warung kopi di Jogja, gampang banget.

Artinya, di satu sisi masyarakat tidak bisa disalahkan atas pembubaran itu. Namun di sisi lain, mengurus izin pendirian gereja dirasa sangat sulit bagi penganut Kristen. Pengurusan IMB untuk gereja cenderung dihadapkan dengan hambatan-hambatan kultural dan struktural. Alasan yang disebut terakhir, misalnya, adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. SKB ini bagi banyak pihak dinilai menjadi akar dari pelanggaran kebebasan beribadah di Indonesia.

Problem Struktural Kebebasan Beragama

Dalam perumusannya, Peraturan Bersama itu tentu merujuk kepada Undang-undang Dasar 1945 khususnya dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Sekilas, nampak bahwa kebebasan beragama setiap pemeluk agama, termasuk umat Kristen, telah dijamin oleh negara. Namun dalam implementasinya, jaminan itu tampak disandera oleh kelompok dominan tertentu di suatu wilayah. Misalnya, dalam Pasal 13 Ayat 2, dikatakan:

“Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.”

Secara keseluruhan, Pasal 13 sebenarnya hendak menjelaskan bahwa pendirian rumah ibadah mestilah atas dasar keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk. Pasal 13 ayat (1) secara ekplisit menginginkan adanya keseimbangan antara jumlah penduduk dengan rumah ibadat ril yang diinginkan. Sehingga antara penduduk dan masyarakat penganut betul-betul seimbang secara proporsional.

Akan tetapi, jika kita perhatikan dengan cermat, frase “mengganggu ketentraman dan ketertiban umum” tampak sangat tendensius. Mengapa demikian? Karena “ketertiban umum” pada umumnya akan merujuk pada masyarakat dominan yang ada di daerah itu. Dalam bahasa lain, masyarakat dominan akan menjadi rujukan pertama untuk mendefinisikan kondisi “tentram” dan “tertib” itu dan segala hal yang bisa mengancam keduanya.

Misalnya, dalam kasus masjid Ahmadiyah. Jika publik di situ menilai bahwa hal itu akan mengganggu “ketertiban” mereka, maka jangan harap IMB masjid Ahmadiyah akan turun. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hambatan struktural di tingkat elit menjadi jauh lebih rumit dibanding hambatan kultural yang ada di akar rumput.

Pasal problematis lain adalah Pasal 14 Ayat 2 yang mengatakan,

“Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: (a) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). (b) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. (c) Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.”

Unsur 60 dan 90 itu bagi agama mayoritas tentu tidak menjadi masalah. Namun, bagi umat Kristen yang minoritas seperti di Bogor dan Lampung, unsur itu menjadi hambatan yang cukup signifikan. Celakanya, pemerintah seakan hanya melepas peraturan itu ke masyarakat sipil, tanpa adanya upaya penguatan kehidupan plural yang toleran.

Usulan dari Komnas HAM

Banyak wacana muncul untuk mengevaluasi Peraturan Bersama ini. Contohnya, kajian dari Komnas HAM terkait atas Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah.

Dilansir situs resmi Komnas HAM, Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, menyampaikan bahwa kajian tersebut berangkat dari catatan Komnas HAM RI dalam beberapa tahun terakhir. Catatan yang dimaksud adalah terjadinya peningkatan kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, terutama yang menimpa umat Kristen.

Beberapa aduan yang diterima berhubungan dengan izin mendirikan rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, serta penghentian dan penolakan kegiatan ibadah di sejumlah daerah. Berbagai aduan terkait berbagai pelanggaran itu justru banyak yang masuk setelah Peraturan Bersama itu diterbitkan.

Komnas HAM RI menilai, jika tidak ada tindakan yang jelas dan tegas dari pemerintah terkait PBM tersebut, maka wajah perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia akan terus mengalami permasalahan. Komnas HAM RI mencatat implementasi PBM tersebut apabila ditinjau dari perspektif hak asasi manusia masih perlu diperbaiki. PBM yang mengatur tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah justru membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sendiri.

Evaluasi Peraturan Bersama itu mungkin perlu dilakukan di ranah birokrat. Selain Komnas HAM, Presiden Jokowi juga sudah berkali-kali menyinggung soal pelanggaran kebebasan beribadah ini. Salah satunya dalam Rapat Koordinasi Nasional di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor pada 17 Januari 2023.

Dalam kesempatan itu, Presiden mengingatkan kepala daerah untuk tidak melarang pembangunan rumah ibadah. Presiden juga pernah mengkritik soal masih adanya larangan mendirikan rumah ibadah di sejumlah daerah di Indonesia. Dia mencontohkan ada rapat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang bersepakat untuk tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah.

Namun, mengedukasi soal kehidupan plural di akar rumput justru jauh lebih penting. Menurut saya, jika masyarakat sudah paham tentang konsekuensi kehidupan plural, mereka tidak akan keberatan memfasilitasi pemeluk agama apapun untuk mengekspresikan ajaran yang diyakininya. Kesadaran akan kebebasan beragama harus ditumbuhkan, baik di kalangan umat Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya.

Masalahnya, aral yang seringkali melintang adalah sikap beragama yang kaku dan eksklusif. Dalam kerangka negara demokrasi, hal ini tentu haram terjadi. Sebagai umat Muslim yang baik, tentu pelanggaran KBB itu sangat disayangkan. Untuk meminimalisir hal itu, kita bisa mulai menyebarkan ajaran Islam yang merangkul dan toleran.

Dalam konteks ini, peran tokoh-tokoh agama setempat menjadi krusial dalam menanamkan sikap keagamaan yang terbuka dan toleran. Misalnya, jika komunitas Kristen di daerah kesulitan mengurus izin gereja, mereka tidak segan-segan menawarkan bantuan untuk membantu mengurusnya. Kita seharusnya menjadi agen perdamaian yang mengusung semangat penghargaan terhadap keragaman dan penghormatan terhadap umat agama lain. [NH]