Setidaknya hingga Jum’at dini hari (28/02) mendiang Presiden Ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), masih dan akan selalu berkibar dalam memori. Bertempat di Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta, serangkaian acara haul memperingati satu dekade berpulangnya Gus Dur oleh komunitas Santri Gus Dur Jogja purna digelar.
Malam itu, saya kebetulan berada di tengah-tengah sedikitnya 4000-an jamaah dan para santri yang memadati Hall al-Jauharoh Pesantren setempat, Kamis (27/02). Mengusung tema “Menggerakan Kebudayaan, Meneguhkan Kemanusiaan,” Haul Gus Dur menjadi semakin relevan, lebih-lebih di era disrupsi seperti kiwari.
Bagi saya, Haul Gus Dur ini kalau dalam istilah jawanya adalah ora umum (unusual). Lha gimana, Gus Dur itu mangkat di penghujung Desember 2009, namun peringatan wafatnya bisa berantai-rantai, tidak peduli tanggal berapa dan membersamai momentum apa.
Plus, ia bisa melibatkan lintas generasi, lintas etnis, lintas agama, lintas kelas sosial, dan lintas-lintas lainnya.
Pak @MoazzamTMalik, all the things you noted about Islam in Indonesia are here in #HaulGusDur Yogyakarta in pesantren Pandanaran. Nyai Muflihah gave speech representing pesantren. Grup Wayang Orang is playing. The Catholic Bishop & other religious leaders are here. Indonesia! pic.twitter.com/NNVxxBglL3
— Alissa Wahid (@AlissaWahid) February 27, 2020
Malahan, sehari sebelum acara di Pesantren Pandanaran, Haul cucunda Hadhlratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini juga menggelora di bilangan Kebumen, Jawa Tengah. Ini menunjukkan betapa sosoknya laksana magnet yang mampu menarik massa, sekalipun telah wafat. Mengapa bisa demikian?
Dalam sebuah ceramah keagamaan di Pondok Pesantren Ngalah, Gus Dur pernah bilang, “kalau kita terus-terusan mencari perbedaan, ya tidak akan ada habisnya.” Anda bisa cek sendiri ceramah ini di Youtube.
Seorang Sunda, umpamanya, sedang mengantre di toilet umum sebuah stasiun kereta. Ia, demikian Gus Dur bercerita, telah mengantre cukup lama. Hampir putus-asa menunggu, dari dalam toilet sayup-sayup terdengar guyur air, petanda bahwa biasanya yang buang hajat telah purna.
Benar saja, seseorang lalu membuka pintu toilet dan keluar sambil membenarkan sabuknya. Sembari bergegas merangsek masuk toilet, si Sunda yang terkenal ramah menyapa, “atos, kang?” (sudah, Mas?)
Ternyata, yang baru saja buang hajat adalah seorang Jawa. Sontak, si Jawa pun menimpali, “atos?? Mencret!!”
Begitulah, ke-salah-pahaman rentan terjadi di tengah perbedaan. Maka dari itu, yang diperlukan adalah dialog. Dengan dialog, perbedaan antara dua pihak akan melebur. Yang sedianya berbeda pun akan saling mengenal. Ini selaras dengan, misalnya, petuah al-Quran dalam menyikapi hetrogenitas, yakni supaya li ta’arafu (saling mengenal).
Sayangnya, ada saja pihak-pihak yang justru memandang perbedaan sebagai ancaman. Mereka ini selalu merasa terusik dengan kehadiran pihak lain (the others). Lebih sial lagi, jika hal ini kawin dengan logika kapitalis. Akibatnya, berdirilah bangunan-bangunan setamsil hunian khusus muslim, atau larangan mendirikan Gereja di daerah yang mayoritas muslim, dan segudang laku ironi mayoritarianisme lainnya.
Beruntunglah, para pendiri bangsa Indonesia tidak demikian. Mereka sejak awal telah menyadari kalau perbedaan itu merupakan fitrah Tuhan YME, dan di atas itu semua adalah sebuah kekayaan. Inilah yang selalu diperjuangkan Gus Dur dalam setiap derap langkahnya: persatuan di tengah perbedaan.
Tanpa persatuan, boleh jadi bangsa Indonesia tidak semegah hari ini. Tanpa persatuan, besar kemungkinan tidak akan ada moda transportasi darat antar-kota antar-provinsi. Sebab, semuanya menjadi rumit dan serba administratif.
Persatuan itu berbeda dengan penyeragaman. Persatuan mengandaikan adanya saling pengertian, saling menanggung, dan saling kerjasama. Sementara “seragam” mengandung makna tersirat: tidak peduli, pokoknya, atau terkesan otoriter-militeristik.
Maka, tepat sekali jika Ir. Soekarno mendasarkan asas pendirian bangsa ini di atas tikar persatuan, sewaktu menyampaikan pidato pada 1 Juni 1945. Ia sangat sadar bahwa tanpa semangat persatuan, kemerdekaan Indonesia hanyalah amsyong, sia-sia belaka.
Indonesia, demikian menurut Bung Karno, adalah suatu nationale staat, sebuah negara merdeka untuk mewadahi kelompok-kelompok yang diikat oleh apa yang disebut Ernest Renan sebagai “kehendak untuk bersatu” (le desir d’Être ensemble).
Lebih jauh, kebangsaan Indonesia yang dibayangkan Bung Karno adalah yang kebangsaan bulat: bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, bukan kebangsaan Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang, bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat!!
Namun, nasionalisme dalam bayangan Bung Karno itu sendiri juga tidak sebanal yang kita bayangkan. Nasionalisme tidak sekedar teriak “NKRI Harga Mati”, dan setelah itu membubarkan organisasi tertentu. Nasionalisme juga bukan sekadar memaksakan tafsir Pancasila, untuk menggebuk mereka yang punya tafsir berbeda.
Nasionalisme, dengan demikian, memiliki efek samping bisa menjebak orang ke dalam pandangan sempit yang hanya memikirkan diri sendiri. Dan, inilah yang paling dihindari Bung Karno. Itulah mengapa dalam dasar kedua, nasionalisme tersebut harus dihujamkan dalam rangka perikemanusiaan yang universal (humanisme), dan lalu dikelola menurut dasar ketiga, yakni perwakilan, permusyawaratan, sehingga mencapai satu mufakat (demokrasi).
Adapun ketiga dasar tersebut semata dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jika prinsip-prinsip dasar itu telah kita amalkan dengan sebaik-baiknya, barulah kita pantas mengaku sebagai bangsa yang berketuhanan.
Dengan kata lain, Bung Karno sebetulnya meletakan satu satire di dalam Pancasila: jangan mengaku bertuhan kalau Anda tidak bisa mencintai bangsa sendiri, tidak bisa memanusiakan manusia, tidak bisa belaku adil, dan tidak bisa hidup bersama dengan perbedaan. Barangkali, inilah mengapa asas ketuhanan diletakan paling ujung, yakni untuk mengunci, alih-alih menista.
Lagi pula, prinsip ketuhanan yang dibayangkan oleh Bung Karno itu, sekali lagi, harus diletakkan dalam konteks “kehendak untuk bersatu”. Dalam bahasanya yang sangat revolusioner, prinsip itu menegaskan bahwa, “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!”
Ya, bertuhan secara kebudayaan ini mengandaikan keadaban sikap yang mampu menghormati agama-agama lain. Tanpa sikap ini, umat hanya akan terjerembab dalam jurang baku-hantam, dan menang-menangan.
Maka sewaktu (diuji) menjadi Presiden, Gus Dur tetap terlihat jarang sekali atau bahkan tidak pernah melakukan pemaksaan-pemaksaan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Bahkan, menyikapi impeachment terhadap dirinya saja, Gus Dur tetap santai, alih-alih mempertahankan kekuasaan dengan pertumpahan darah.
“Lha wong, saya maju aja di dorong, masak di suruh mundur”, begitu kelakar Gus Dur.
Dan, ya, di era Presiden Gus Dur-lah umat Konghucu dilegalkan kembali untuk mengekspresikan keyakinannya. Mengapa?
Tentu saja karena Gus Dur memandang dan menyikapi manusia dengan kacamata manusia, bukan dengan kacamata kuda yang kaku-searah. Ini barangkali merupakan alasan mengapa Gus Dur hingga hari ini masih dan akan selalu mendapat tempat di dalam sanubari setiap kita yang memiliki perhatian terhadap Indonesia sebagai rumah bersama, dan bukan milik golongan tertentu saja.