Saya tidak bermaksud menakut-nakuti. Tidak. Tapi sejarah mengajarkan kita: tsunami besar, letusan hebat, guncangan dahsyat pernah melumat apa saja yang hidup di pantai Banten dan Lampung pada 1883. Saya yakin jika sejarah geologi dibuka lebih jauh, peristiwa bencana yang digolongkan sebagai salah satu yang terburuk pada masa modern itu pernah juga terjadi di masa sebelumnya. Para ahli geologi mungkin tahu berapa lama siklus Krakatau tumbuh, hancur oleh ledakan dan tumbuh lagi. Ia, gunung itu, seperti zombie yang tak pernah mati. Mungkin ia suatu waktu tidak terlihat karena berada dibawah permukaan laut. Tapi ia tumbuh 4 meter pertahun! Dan tsunami yang baru saja menerjang di Banten dan Lampung, merenggut lebih 370 nyawa, adalah peringatan untuk kita manusia yang mempunya akal.
Alam bukanlah kutukan. Camkan itu baik-baik. Jadi dungu kalau mengatakan setiap bencana terjadi lantas dibilang ini kutukan dan adzab Tuhan karena orang-orang banyak berdosa. Setelah gempa di Palu terjadi, beredar isu dungu yang menyebut itu terjadi karena pantai itu banyak dipakai pesta LGBT. Saya bisa pastikan sebentar lagi banyak beredar berita aneh-aneh di telepon selular anda tentang kenapa Banten dihajar tsunami. Saya pastikan bahwa itu orang konyol dan tolol yang buat.
Alam itu sesuatu yang bisa difahami dan dipelajari. Kalaupun kita tidak bisa memastikan kapan terjadi, ilmu pengetahuan modern cukup untuk kita mempersiapkan diri. Disitu solanya, maukah pemerintah dan kita semua serius mempersiapkan diri agar ketika bencana alam menerjang, kita siap mengecilkan resiko.
Saya punya kawan dari Chile, sesama mahasiswa PhD di UCLA. Beberapa hari setelah bencana di Palu, kami bertemu sambil menyeruput kopi di kantin Lu Velle, di samping Fakultas Hukum UCLA. Dia memberikan ucapan simpati pada saya dan pada bangsa Indonesia. Lantas obrolan kami mengalir begitu saja dan ia berceritera bahwa Chile, seperti Indonesia, adalah negara yang berada di punggung jalur gunung api. Chile, seperti Indonesia, adalah negara yang kerap dilanda gempa bumi dan tsunami. Memang mereka tak punya koleksi gunung api sebanyak Indonesia. Tak ada negara lain yang punya koleksi gunung api sebanyak Indonesia. Tak ada.
Pada 2015, gempa 8.8 Skala Richter mengguncang Chile. Itu sama dengan gempa yang menghajar Aceh yang dahsyat itu. Ingin tahu berapa orang yang meninggal di Chile akibat gempa itu? Ribuan? Puluhan ribu? Ratusan? Tidak, kawan. Gepa itu hanya merenggut 13 orang meninggal. Bandingkan dengan korban di Indonesia. Bangunan-bangunan di Santiago masih utuh. Mungkin banyak yang rusak atau retak-retak. Tapi bangunan-bangunan itu tidak berubah menjadi monster mematikan ketika digoyang gempa.
Kenapa bisa begitu? Kawan saya Ricardo menjawab: kemauan pemerintah menegakan aturan bahwa setiap bangunan harus memiliki sertifikat tahan gempa sampai 9.0 Skala Richter. Ia bilang bahwa mereka belajar dari kekeliruan masa lalu. Seperti Indonesia, Chile diguncang gempa berkali-kali. Tahun 1960 gempa membunuh lebih 5000 orang. Itulah titik balik pembelajaran. Dan setelah gempa 2010 membunuh lebih 500, aturan bangunan diperketat sampai ke tingkat distrik.
Pemerintah Indonesia sudah saatnya secara serius menerapkan aturan sertifikasi gempa. Tak ada negara yang lebih ringkih dan rapuh dari goncangan bumi, letusan gunung api dan terjangan tsunami dari Indonesia. Namun soalnya memori kita orang masih memori jangka pendek. Sebagai bangsa yang tumbuh, mestinya bangsa kita mulai memakai memori geologi, bukan lagi memori manusia yang fana. Untuk pertumbuhan geologi, 200 tahun tak lebih sekedip mata. Tsunami yang menerjang Aceh akan terulang kembali, lambat atau cepat. Memori itu harus dijaga. Letusan Krakatau akan terulang, cepat atau lambat. Memori itu hatus dijaga, diwariskan dan dilembagakan. Dan lebih dari itu, langkah-langkah pencegahan dan pengecilan resiko harus ditegakan. Kecuali kita mau terus menjadi bangsa dungu yang mengutuk dosa ketika bencana menerjang kita.
Selengkapnya, klik di sini