Filsafat merupakan sistem pengetahuan yang mengandalkan kebebasan berpikir secara kritis, alih-alih terpaku kepada teks. Itulah mengapa sulit untuk berpikir bahwa kajian hadis mampu bekerja sama dengan filsafat dalam menghasilkan hadis-hadis yang otentik. Mengapa sulit? Karena hadis merupakan kajian tekstual, dan filsafat adalah kajian nalar tak terbatas. Namun faktanya, Imam Bukhori berhasil mengawinkan antara filsafat dan kajian hadis. Mengapa bisa demikian? Mungkin sebagian kita tidak sadar bahwa sebagian dari ushul fiqh yang kita miliki selama ini sebenarnya adalah produk akal dan pikiran, dan tidak ada masalah dengan hal itu karena memang al-Qur’an sendiri mengharuskan manusia berpikir dalam beragama.
Bahkan ditegaskan langsung dalam QS. al-Baqarah: 164 bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci khusus untuk orang-orang yang mau berpikir saja. Kemudian, jika kita sudah mampu berpikir mengikuti alur-alur yang benar maka itulah yang disebut dengan filsafat. Imam Bukhori merupakan imam ahli hadis yang paling banyak menggunakan filsafat dalam kajian hadisnya. Maka kajian hadis Imam Bukhori yang menggunakan kerangka metodologi dan gagasan-gagasan filsafat itulah yang akhirnya memunculkan sebuah ilmu, yaitu ilmu kritik hadis.
Jika hendak kembali sejenak, Imam Bukhori, dalam menerapkan ilmu kritik hadisnya sebenarnya berangkat dari rumusan-rumusan ilmu kritik hadis yang digagas Imam Syafi’i. Berbeda dengan zaman Imam Bukhori, kajian kritik hadis sebelumnya hanya mengandalkan ingatan dan hafalan teks.
Imam Syafi’i kemudian didaulat sebagai tokoh yang berjasa dalam perumusan kaedah ilmu kritik hadis tersebut dan direkam dalam kitabnya, al-Risalah dan al-Umm. Maka, kemudian Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari periode mutaqaddimin memperjelas benih-benih rumusan tersebut dengan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Itulah mengapa Imam Bukhori bisa dikatakan sebagai pelaku pertama dan utama gagasan filosofis dalam ilmu kritik hadis.
Kajian ilmu kritik hadis Bukhori ini kemudian bisa dipahami sebagai bagian kecil dari proses berfilsafat dan bermetodologi ilmiah. Salah satu gagasan yang menjadi fondasi Imam Bukhori dalam kajian kritis hadis adalah skpetisisme. Skeptisisme berarti keraguan, atau tidak langsung percaya. Dalam termin lain, lebih baik tidak mempercayai suatu berita daripada mempercayainya tanpa bukti sama sekali.
Imam Bukhori dalam menyeleksi hadis selalu mengutamakan sikap skeptis terlebih dahulu. Ketika ia mendapatkan suatu hadis, ia langsung berkata bahwa ia tidak mempercayai hadis tersebut hingga ia tahu mana orang yang mengatakannya, siapakah ia, apakah ia benar-benar pernah hidup dan kredibel. Imam Bukhori menelusurinya sedemikian rupa hingga kemudian bisa diverifikasi dan dikonfimasi bahwa hadis tersebut shohih. Penelusuran kritisnya bahkan dibagi menjadi dua kategori, yaitu verifikasi keshahihan sanad, dan verifikasi keshahihan matan. Dalam penelitian sanad misalnya, jika dalam sebuah transmisi hadis terdapat satu orang perowi saja yang diketahui pernah berbohong dengan sengaja, maka status keshahihan hadis tersebut bisa gugur bahkan tertolak.
Proses tersebut berangkat dari sikap skeptis, dan skeptis merupakan jiwa seorang filosof, tidak percaya sebelum menemukan bukti. Itulah alasan meski Imam Bukhori hafal ratusan ribu hadis, namun yang ia nyatakan shahih hanya 7000 saja, sedangkan ¾ lainnya merupakan pengulangan. Artinya bahwa beriman kepada hadis shahih itu adalah sebuah keharusan. Tapi untuk menyebut bahwa ini hadis shahih, ini dhaif, ini maudhu’ dan sebagainya itu adalah ijtihad dan hasil “penelitian” dari para ulama, artinya menggunakan akal pikiran, bukan dalil.
Jika kita ambil pelajaran dari Imam Bukhori ke zaman sekarang, banyak konten-konten informatif yang tersebar di berbagai platform digital, baik Youtube, Telegram, Line, Instagram dan sebagainya. Jika hendak mengambilnya langsung sebagai konsumsi hiburan, maka tidak masalah. Jika informasi yang kita terima merupakan info ilmiah atau bahkan ajaran agama, alangkah baiknya jika pelajaran Imam Bukhori tersebut kita terapkan, yaitu skeptis. Kita telusuri kebenarannya hingga bisa diverifikasi.
Orang berilmu bukanlah orang yang sekedar memiliki banyak pengetahuan saja, namun pengetahuannya harus benar-benar teruji dan terkonfirmasi kebenarannya, bukan pengetahuan abal-abal. Maka sikap skeptis menjadi salah satu fondasi orang dalam menuntut ilmu, fungsinya untuk memunculkan keterujian, atau dalam bahasa filsafat disebut empirisme.
Misalnya di era sekarang muncul ajaran yang mengatakan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga, rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat. Pembagian itu dikatakan sebagai terminologi untuk memudahkan memahami tauhid, padahal dalam urusan aqidah, tidak seharusnya ada kata-kata menyulitkan atau memudahkan. Kita perlu untuk mencari tau siapa orang yang pertama kali menyuarakan ajaran itu, kita temukan dia, dan kita uji dia. Jika yang mengatakannya tidak pernah diketahui atau tidak jelas validitasnya, maka jangan diikuti. Itulah prinsip beragama ala Imam Bukhari.
Memang tidak semua orang punya kapasitas untuk menguji sebuah informasi, namun justru di sinilah filsafat Imam Bukhori bekerja: bahwa setiap informasi yang datang secara sangat massif ini janganlah diterima dan ditelan secara cuma-cuma. Bersikap ragu atau skeptisisme justru terkadang lebih baik dari pada menelan mentah-mentah semua berita yang datang kepada kita. Bukankah di era sekarang pecah belah di masyarakat justru dimulai dari akses berita yang tak terbendung. Dengan menahan diri melalui sikap keragu-raguan ala Imam Bukhari ini, kita mampu membendung atau mengurangi fenomena orang-orang yang suka mempertentangkan pendapat, mengklaim kebenaran sepihak, dan memaksakan kehendak. Untuk apa Tuhan menciptakan pikiran jika semua informasi hanya masuk melalui telinga dan secara tergesa-gesa langsung dikeluarkan lewat mulut tanpa diproses melalui akal terlebih dahulu?