Begini Cara Mengatasi Rasa Inferior dalam Diri

Begini Cara Mengatasi Rasa Inferior dalam Diri

Rasa inferior bisa terjadi karena kita tidak fokus dengan apa yang relevan dengan diri kita sendiri, dan justru terfokus pada hal-hal di luar diri kita, termasuk pencapaian orang-orang di sekitar kita.

Begini Cara Mengatasi Rasa Inferior dalam Diri
(foto: wonderpolis)

Jika ada yang mengatakan bahwa bersyukur adalah harta yang paling istimewa dalam hidup, maka ungkapan itu tidaklah salah. Namun, terkadang praktiknya sulit sekali. Kehidupan seseorang pasti akan terpengaruh dengan orang-orang di sekitarnya. Iya, betul, sedikit sekali. Banyak dari kita yang seringkali merasa orang lain lebih superior dibanding kita, mereka lebih pintar, lebih hebat, lebih tampan, dan kelebihan-kelebihan lain yang menggelisahkan kita. Kenapa bisa demikian? Kenapa kita selalu merasa inferior dari orang lain?

Nah, biasanya akar dari semua permasalahan ini adalah perasaan inferior dan ketidakamanan (inferiority and insecurity) dalam diri kita masing-masing. Inferior yang berarti perasaan yang cenderung menganggap diri kita rendah dan insecurity yaitu perasaan tidak percaya diri dengan diri dan cenderung minder. Hal ini juga bisa terjadi karena kita tidak fokus dengan apa yang relevan dengan diri kita sendiri, dan justru terfokus serta terpengaruh oleh hal-hal di luar diri kita, termasuk pencapaian orang-orang di sekitar kita.

Kabar gembiranya, Allah memberikan bekal sempurna kepada manusia untuk mengatasi segala masalahnya di dunia, termasuk mengatasi keresahan-keresahan akibat perasaan inferior di atas. Yang pertama adalah kita harus meningkatkan self awareness kita. Artinya, kita mula-mula harus mempunyai pemahaman yang baik tentang diri kita, bagaimana kita mempersepsikan diri kita, bagaimana orang lain melihat kita, dan bagaimana kita menentukan peran kita di masyarakat. Salah satu filsuf kenamaan klasik, Socrates, berkata, “know yourself!

Dalam QS. Fusshilat (41): 53, dijelaskan,

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ghazali menjelaskan bahwa pengenalan diri yang tersirat dalam ayat tersebut lebih dari sekedar pengenalan diri secara lahiriyah seperti bagaimana anatomi kita, bagaimana status sosial kita, bagaimana rupa kita, bukan seperti itu. Lebih dalam, pengenalan diri yang dimaksud adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti,

Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?

Cara kedua adalah stop too much caring atau bahasa gampangnya “bodo amat”. Nah di sinilah seni untuk bersikap bodo amat diuji.  Bodoamatlah ketika IPK orang lain lebih tinggi dari kita, bodoamatlah ketika muka orang lain lebih ganteng dari kita, bodoamatlah ketika dia pernah menang ini itu dan kita belum pernah sama sekali.

Kita memang seharusnya tidak peduli dengan pencapaian orang lain karena tidak akan berpengaruh pada kehidupan kita. Jika orang lain tidak seberhasil itu, apakah kehidupan kita menjadi terasa lebih baik? Tidak juga bukan? Hidup kita ditentukan oleh seberapa paham kita dalam menguasai diri sendiri, bukan karena orang lain lebih baik dari pada kita.

Selanjutnya, ketiga, adalah berhenti membandingkan kita dengan orang lain. Dalam hal ini, Allah saja tidak membanding-banding sesama makhluknya. Allah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.  (QS. al-Hujurat (49): 13)

Sebelum Allah menegaskan bahwa yang paling mulia dan tinggi derajatnya di antara manusia adalah mereka yang paling bertaqwa, Allah hendak menyamakan sisi manusia sebagai hamba di dunia yang terlahir dari laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama diberi anugerah lingkungan dan masyarakat sebagai alat untuk belajar satu sama lain, bukan malah saling menunjukkan superioritas. Allah menyuruh kita untuk saling mengenal agar kita bisa saling memahami. Jika Allah pada akhirnya mengunggulkan orang yang paling bertaqwa, maka artinya ada satu level sebelumnya di mana manusia mempunyai kesamaan satu sama lain. Di level inilah kita membangun relasi yang baik, relasi antar manusia, relasi hablum minannas.

Jika kita menghina diri sendiri dengan memulai membandingkan diri dengan orang lain, maka secara tidak langsung kita sudah memproklamirkan kekalahan diri kita terhadap kehidupan selamanya.

Membandingkan diri dengan tujuan tertentu bisa diterima. Misalnya, ketika kita melihat kesuksesan orang lain sebagai media pengembangan diri untuk menjadi lebih baik dan berusaha untuk paling tidak menyamai prestasi orang tersebut. Semua harus dilandasi dengan motif yang positif tentunya. Pertanyaannya, apakah kebanyakan dari kita berpikir seperti itu? Atau malah sebaliknya?

Kita tentu juga harus menyadari bahwa setiap orang lahir dengan genetik berbeda, setiap orang lahir di lingkungan yang berbeda, setiap orang telah menjalankan langkah kaki yang berbeda sejak kelahirannya hingga detik ini, dan yang paling penting value, passion, pilihan hidup, IQ, SQ, dan EQ setiap orang sangat berbeda-beda.

Maka, cara yang paling ideal untuk menyikapi hal ini adalah menerima bahwa setiap orang itu berbeda, punya fase yang berbeda, tujuan yang berbeda, kemampuan yang berbeda. Artinya kita sangat boleh mempunyai jalan dan pilihan hidup yang berbeda dengan orang lain, tapi itu juga artinya bahwa orang lain juga tentu boleh memiliki jalan dan pilihan hidup yang berbeda dengan kita. Apabila kita menyikapi ketertinggalan kita dengan mengkritik suatu hal di kehidupan orang lain yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka itu adalah pola pikir yang salah dan menyalahi kodrat.

Jika berbicara dunia, sebetulnya tidak ada standar moral atau patokan waktu tertentu dalam mencapai apapun. Tidak ada patokan kita bakal nikah umur berapa, tidak ada ukuran kita harus kuliah setinggi apa, tidak ada standar kita harus menikah kapan, punya anak berapa dan bekerja apa, dan masih banyak standar lain di masyarakat yang sebenarnya tidak ada dasarnya. Hidup orang lain adalah hidup mereka, hidup kita adalah hidup kita sendiri, bukan punya siapa-siapa.

Jika demikian, maka tidak ada yang namanya ketinggalan dari orang lain, semua ada waktunya masing-masing. Yang kita mau bisa jadi beda dengan yang dia mau, kecepatan kita beda dengan kecepatan dia. Jadi, kenapa harus merasa inferior?

Wallahu a’lam bisshawab.

Baca juga: Melalui Surah An-Nas, Begini Caraku Berlindung dari Depresi dan Anxiety