Mengenalkan agama kepada anak serta mengajarkan mereka pemahaman agama yang baik adalah sebuah keharusan, tapi hanya sebatas mengenalkan dan mengajarkan pokok-pokok agama, seperti tauhid dan ubudiyah.
Dengan kondisi psikis yang unreflectif, verbalis-ritualis dan imitatif, anak-anak masih belum mampu untuk diajarkan ke arah kritis, menyalahkan orang lain, apalagi sampai membenci orang lain yang berbeda.
Sampai saat ini, penulis masih belum menemukan hadis khusus yang memerintahkan seseorang untuk mengajarkan kepada anaknya berperang, atau hadis khusus yang disampaikan secara langsung oleh Rasulullah kepada anak-anak agar membela Islam dan ikut berperang.
Yang penulis temukan malahan tentang larangan Nabi kepada seseorang yang akat ikut berperang. Ia dilarang karena masih memiliki orang tua dan menyarankan untuk berbakti kepadanya daripada ikut berperang.
Anak-anak memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal itu tentu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Jangan sampai rasa ingin tahu yang dimilikinya terputus begitu saja karena paksaan dan indoktrinasi dari orang tua. Salah satu cara memanfaatkan rasa keingintahuan tersebut adalah memberikan pengetahuan yang sebanyak-banyaknya kepada sang anak.
Tentu kita sama-sama pernah mendengar cerita anak kecil bernama Abdurrahman ad-Dakhil (nama kecil Gus Dur) yang masa kecilnya ia habiskan dengan berbagai bacaan buku. Mulai berbahasa Indonesia hingga bahasa-bahasa lain.
Bacaan-bacaan yang menggupal di otaknya telah menjelma menjadi berbagai gagasan brilian ketika ia dewasa, walaupun ada beberapa tindakannya yang tidak bisa difahami dengan mudah. Tapi begitulah seharusnya mengajarkan agama kepada anak. Yakni dengan belajar sebanyak-banyaknya dan sematang-matangnya.
Dengan berbagai varian bacaan yang dilahapnya, seorang anak akan mampu mereduksi fanatisme dalam dirinya dan berusaha seimbang serta bersikap moderat. Biasanya fanatisme buta seringkali menjangkit otak-otak manusia yang kurang baca namun merasa paling pintar sendiri.
Tidak perlu diajarkan untuk menyalahkan orang lain atau membenci orang lain. Saat dia dewasa nanti, anak itu akan mengerti tindakan apa yang akan dia lakukan jika dia adalah seorang pembelajar yang baik.
Memang bagi orang tua, anak adalah harta yang paling berharga. Setiap orang tua tidak akan mau menyia-nyiakan masa depan anaknya. Namun yang harus selalu ditekankan adalah jangan sampai anak itu menjadi cobaan atau menjadi musibah bagi orang tuanya. Jauh-jauh hari al-Qur’an telah mengingatkan hal itu:
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 14- 15).
Wallahu A’lam