Menurut Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, Teknologi, sosiokultural, dan lingkungan akan mengalami perubahan sehingga akan berdampak pada masa depan pendidikan. Pada aspek Teknologi; artificial Intelegent dan Big data yang akan ditopang oleh 5G telah mengubah cara kerja pabrik. Contohnya pencapaian percetakan tiga dimensi (3D) tanpa bantuan tangan manusia secara langsung.
Pada aspek Sosiokultural, demografi dan perpindahan penduduk (imigrasi, urbanisasi dan pertumbuhan kelas menengah) membuat cara kerja lebih fleksibel, mobile dan meningkatnya kepedulian konsumen kepada etika, privasi dan kesehatan. Hal ini berarti sosiokultural dilihat dari logika konsumsi.
Pada aspek lingkungan, seperti pernah disinggung dalam Kurikulum 2013, diperlukan peningkatan kesadaran lingkungan dan perhatian terhadap energi alternatif serta isu-isu lingkungan lainnya.
Dari ketiga aspek tersebut, model yang dipakai untuk capaian pendidikan 2035 adalah OECD Learning Compasss 2030. Kerangka dalam kompas pembelajaran ini terdiri dari empat aspek, yaitu 1) kesejahteraan, 2) siswa dan co-agen, 3) kompetensi inti dan 4) Siklus Antisipasi-Aksi-Refleksi (AAR). Istilah yang tergolong baru, adalah 2) Student agency dan Co-agen.
Menurut OECD (2019), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi Student Agency, karena istilah ini dimaknai berbeda di setiap negara seperti Korea Selatan, Jepang, China dan Afrika Selatan. Selain itu Co-agency lebih dimaknai sebagai proses pembelajaran ‘kolaboratif dan ‘kerjasama’ antara siswa, sebaya, guru, orang tua dan komunitas. Aspek co-agensi sebenarnya telah berjalan melalui program komunitas, sekolah dan guru penggerak yang diusung Kemdikbud beberapa bulan belakangan. Hal tersebut dimaksudkan peningkatan kompetensi bagi guru dan lingkungan belajar.
SDM yang diharapkan dari peta jalan pendidikan ini adalah kompetensi global. Meskipun yang disebut ‘kompetensi global’ adalah kemampuan yang bisa diklaim berbagai negara dengan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Menjadi kompeten secara global tidak bisa hanya dengan meniru standar yang ditetapkan oleh lembaga internasional tertentu yang jelas-jelas bertujuan menopang perekonomian negara-negara maju. Indikator-indikator khusus justru lebih menentukan kompetensi seseorang di level global.
Hal ini karena situasi global sesungguhnya sangat relatif. Kesalahan Nokia memilih Windows, Korea Utara yang mulai justru membuka diri, reformasi kebijakan Arab Saudi, keberhasilan Huawei mencapai 5G, dan keuntungan berkali-lipat yang didapatkan amazon dan zoom adalah beberapa situasi relatif global. Tentu saja termasuk sebaran wabah yang dimulai di Wuhan, namun menewaskan lebih banyak orang di Bergamo (Italia), Qom (Iran) dan New York dan justru, kembali ke Tiongkok (Wuhan) negara yang pertama kali berhasil mengatasinya. Tidak ada yang bisa memprediksi hal tersebut karena situasi global lebih relatif dari yang bisa dibayangkan.
Selain itu, satu dari empat perbaikan yang akan dilakukan dalam konsep Merdeka Belajar yakni kolaborasi dan pembinaan antara lokal dan global. Boleh jadi yang dimaksud hampir mirip dengan istilah Glokalisasi, yakni menghadapi globalisasi dengan nilai-nilai material lokal. Penjelasan ini minus ruang lingkup nasional. Dalam strategi utamanya di level nasional, konsep Merdeka Belajar diharapkan dapat mempererat hubungan dengan industri dan kemitraan global dengan maksud membentuk pendidikan tinggi kelas dunia.
Namun ungkapan Glokalisasi juga mengandung ancaman. Artinya relasi dan kebudayaan dominan dalam ruang lingkup global boleh jadi merupakan upaya kreatif mereproduksi nilai-nilai dan produk lokal menjadi primadona global. Kemudian ketika nilai lokal tersebut berhasil diserap, dimediasi dan mendominasi kebudayaan dibelahan dunia lainnya, jadilah trend global. K-pop adalah contoh paling nyata bagaimana remaja di seluruh dunia terhipnotis oleh budaya pop Korea dan secara bertahap mulai mempelajari sejarah dan kebudayaan negeri gingseng. Kemudian K-pop dinobatkan menjadi trend global.
Trend global tersebut bukan titik berangkat yang stabil. Trend Global menjadi relatif karena karena siapa saja bisa mendominasi. Kemudian kecepatan transaksi dan pertukaran barang, jasa dan manusia menambah ketidakstabilan dominasi dengan demikian membuat situasi semakin relatif.
Artinya apabila peta pendidikan diarahkan pada trend Global, kita akan terombang ambing dalam ‘mengejar’ suatu kemajuan yang sifatnya sementara. Pengejaran terhadap ‘Trend Global’ yang berjalan dari satu lokalitas ke lokalitas tertentu, justru menjauhkan kita dari upaya kongkrit untuk menjadi dominan dalam persaingan global. Masalah utamanya, pengejaran trend global membuat kita sibuk mengejar, dan lupa menempa nilai-nilai lokal yang seharusnya dilindungi oleh kebijakan nasional. Karena strategi utama dalam membentuk peta pendidikan tidak hanya berhasil memetakan masa depan, namun menggariskan konsep pendidikan sesuai dengan kepribadian bangsa yang hendak dipertahankan.
Di sinilah aspek kecepatan dalam pengejaran pada trend global cukup berbahaya dan akan menghempaskan bangsa mana saja yang lupa membangun akar yang kokoh. Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 telah memberikan jalan menuju persaingan global, tanpa perbekalan yang cukup, mendorong generasi baru terhempas lebih cepat.