Di Kabul, orang yahudi cuma tinggal satu-satunya. Ia tinggal di sebuah sinagog, bersama seorang muslim.
HATI Zebulon Simentov terasa sepi. Baru saja Ishaq Levin, kawan Yahudi satu-satunya, beristirahat untuk selamanya. Levin meninggal di usia 80 tahun, 28 Januari lalu. Dan kini, Simentov sendirilah yang harus merawat sinagog di Flower Street, Kabul, Afganistan itu. Lama mereka berdua tinggal bersama di sana—satu-satunya tempat ibadah Yahudi di Kabul yang masih berfungsi.
Tapi, Simentov tak mau berlama-lama larut dalam kesepian. Lelaki 45 tahun ini berniat akan mengajak kawan muslimnya, Muhammed Amir, untuk mendiami sinagog itu berdua.
Simentov mulai mengenang. Simentov dan Levin sama-sama berasal dari Herat, kota di kawasan barat Afganistan. Di sini memang tinggal sejumlah komunitas Yahudi. Pada 1948, mereka tidak hijrah ke Israel, meski saat itu negeri suci kaum Yahudi itu telah didirikan. Simentov mengenal Levin sejak kecil.
“Sejak usia 13, saya tahu dia. Rumah kami saling berhadapan,” kata Simentov yang mengenakan jubah dan kippa—peci khas umat yahudi.
Simentov meninggalkan Herat ketika kaum milisi Mujahidin mulai mengganggunya. Ia menjual toko berikut isinya: karpet, kain, pakaian tradisional, dan perhiasan. Hasil penjualan itu oleh Simentov dipakai buat pindah ke Kabul. Ishaq Levin juga hijrah.
Di Kabul, sepanjang pendudukan Soviet antara 1979-1989, ada sekitar 40 keluarga Yahudi. Perang sipil antar faksi-faksi Mujahidin, yang berakhir dengan kemenangan rezim Taliban, membuat orang-orang Yahudi terusir. Keluarga Simentov dan Levin hijrah ke Israel. Tapi keduanya tetap tinggal. Saat itu, Simentov mengajak Levin turut pergi. “Saya katakan ke Levin, ‘mari kita pergi ke Israel, aku akan bantu kau’. Dia bilang, ‘tidak, aku tetap di sini saja’.”
Sejak itu, cuma mereka berdualah Yahudi yang masih ada di Kabul. Sinagog yang ada di Flower Street itu mereka diami bersama. Meski tinggal bersama, Simentov dan Levin sebenarnya sulit akur.
“Dia orang jahat yang mau bunuh saya,” kata Simentov. Simentov ingat ketika kitab Taurat milik sinagog dirampas rezim Taliban. Padahal kitab itu sangat berharga buatnya. Simentov menuding, biangnya adalah Levin, dan Levin mau menjual kitab suci itu ke luar negeri.
Sementara bagi Levin, Simentovlah yang jadi masalah. Sebelum meninggal, Levin sempat mengatakan, Simentov telah menuduh dirinya pindah agama ke Islam. Ini dilakukan Simentov, menurut Levin, agar dia bisa menguasai sinagog.
Kadang-kadang, keduanya memang bersaing untuk menjadi penguasa sinagog. Tapi ada jalinan yang aneh antar keduanya. Suatu ketika, misalnya, Levin mengatakan, “Saya harap dia (Simentov) tidak jadi musuh saya. Sebab jika saya besok meninggal, siapa yang bakal memakamkan saya dengan tradisi Yahudi.”
*
KINI Ishaq Levin telah tiada. Dan luar biasa, jenazahnya tak hanya dikuburkan dengan cara Yahudi, tapi diistirahatkan di pemakaman Yahudi paling terhormat di Yerusalem, Mt. of Olives. Dan Levin tak sendiri. Di hari Rabu itu, jenazah Levin dikelilingi istri, anak-anak, cucu-cucu, dan saudara-saudara kandungnya.
Sebelumnya, keluarga Levin mendengar kabar meninggalnya Levin dari kerabat Simentov di Israel. Mereka lalu segera mengontak Palang Merah untuk membawa terbang jenazah Levin ke Israel. Butuh waktu dua minggu.
Di upacara pemakaman itu, kepala rabbi Yahudi-Sephardic hadir dan membacakan doa-doa sebagaimana mestinya. Istri Levin tersedu saat peti jenazah diturunkan ke dalam kubur, seiring angin dingin yang menyapu pelan perbukitan Yerusalem itu. Istri Levin menyobek ujung bajunya, diikuti para keluarga. Ini merupakan tradisi duka cita umat yahudi.
Mungkin di alam sana, Levin begitu bahagia. “Dia telah dimakamkan secara terhormat, di tanah umat yahudi. Saya gembira, dia disemayamkan di sini,” kata Avraham, 74 tahun, adik Levin. Rivka Hakmon, sang kemenakan, mengenang Levin sebagai orang yang ceria. “Dia orang yang selalu bahagia. Dia suka tertawa.”
Sepeninggal Levin, di Kabul, Simentov menjadi penguasa sinagog. Tentu karena dia satu-satunya orang yahudi di sana. “Saya orang yahudi sendiri di sini. Saya bos sekarang,” kata Simentov. Dan Simentov sama sekali tak berniat meninggalkan Kabul, meski keluarganya ada di Israel.
“Saya sudah biasa dengan tempat ini. Tak ada pilihan.” Simentov yakin, jika situasi membaik, orang-orang yahudi lainnya pasti bakal berdatangan. Simentov hanya sedih, bagaimanapun, ia kehilangan teman dekat, Levin. Ia mengibaratkan, keduanya sudah seperti otot dan tulang, saling membutuhkan, tak terpisahkan.
Ya, Simentov punya teman baru sekarang, Mohammed Amir, 25 tahun. Amir, yang mengenakan jubah hitam dan peci khas muslim, pun tak keberatan. Mereka akan tinggal bersama di sinagog itu. “Saya sudah tahu mereka berdua selama 20 tahun. Tidak ada masalah dengan Islam,” kata Amir. “Saya seorang muslim, sebenar-benar muslim. Buat Simentov, ya, agama dia. Buat saya agama saya.”
Tulisan ini pertama kali dimuat di Syir’ah, dimuat ulang dengan izin redaksi