Kisah sebelumnya :
Setelah mendengarkan kesaksian si pembunuh, hakim akhirnya memutuskan untuk menghukum si pembunuh dan membebaskan Bahlul. Bahkan sang hakim menebus kesalahannya atas tuduhannya terhadap Bahlul memberikan kompensasi kepada Bahlul untuk tinggal di istana selama ia mau.
“Akan tetapi, yang mulia,” Bahlul menyela, “Allah Yang Maha Kuasa tak lain hanyalah Dzat yang Maha Pecinta. Dia mencintai mereka yang memberi ampunan dan mencintai orang lain. Dia adalah Yang Paling Baik dari Yang Baik, dan mencintai mereka yang memperlakukan hamba-Nya dengan kebaikan dan kasih sayang. Karena itu, adalah suatu tindakan yang Ilahi jika yang mulia membebaskan orang ini dan mengampuni kesalahannya. Sebab, ia telah mengaku dan menyesali kejahatannya.”
Sang hakim pun diam sejenak dan kemudian berkata, “Kawan, bukankah Allah yang Maha Kuasa mengangkat kita sebagai khalifah atau wakil-Nya di muka bumi untuk mencegah manusia melakukan kezaliman kepada yang lain dan melaksanakan kehendak-Nya?”
“Memang benar. Tapi barangkali kita tidak tahu betul apa kehendak itu. Hanya Dia sendiri yang mengetahui segenap hati dan bisa menerangi orang-orang bersalah dan yang tak berdosa. Dalam pandangan Allah, seseorang yang menurut kita adalah pembunuh boleh jadi tidak bersalah, dan seorang saleh boleh jadi adalah seorang pendosa. Hanya Allah sajalah yang mengetahui segalanya.”
Sang hakim tidak bisa menyembunyikan senyum kekagumannya kepada Bahlul. “Aku merasa tidak sanggung berbicara di hadapanmu. Karena mengeksekusi pelaku pembunuhan ini tidak akan menghidupkan orang yang sudah mati, dan karena ia sudah mengakui kesalahannya dengan penuh penyesalah, maka aku membebaskannya, dengan syarat bahwa keluarga korban setuju menerima tebusan yang dibayarkan orang ini sesuai dengan ketentuan hukum Islam.”
Setelah semuanya sudah beres dan sang hakim serta Bahlul tinggal berdua, keduanya berjalan-jalan di taman hakim. Mereka diam untuk beberapa lama. Kemudian hakim memecahkan kesunyian dengan melontarkan pertanyaan yang mengusik pikirannya, “Jika engkau sudi mempercayaiku, katakana sesuatu padaku, kawan. Kudengar bahwa engka sangat tenang saat menghadapi eksekusi. Apa yang membuatmu yakin bahwa engkau tidak bakal dibunuh?”
“Ketenangan hamba,” Jawab Bahlul sambil menatap mata sang hakim, “bukanlah karena merasa yakin bahwa hamba tidak akan digantung. Hamba yakin bahwa apapun yang telah ditetapkan Allah adalah yang terbaik, dan memang demikian seharusnya. Jadi, hamba benar-benar tunduk dan pasrah pada kehendak-Nya. Pada gilirannya, hal ini membuat hamba demikian damai dan tenang.”
Sekalipun sudah memperoleh jawaban yang cukup jelas, sang hakim justru kian penasaran dengan orang aneh ini dan ingin tahu lebih banyak lagi. “Katakan kepadaku, kawan, apa yang engkau ucapkan dalam doa terakhirmu sebelum tali gantungan dikalungkan ke lehermu? Aku diberitahu bahwa tak ada seorang pun sebelumnya yang sanggung berbuat demikian.”
“Hamba tidak berdoa sebagaimana yang mulia maksudkan. Sebab, seorang yang percaya sepenuhnya kepada Allah tahu bahwa sang Pencipta segala sesuatu maha mengetahui apa yang dilakukan-Nya. Bukan urusan kita memohon kepada-Nya untuk mengubah berbagai peristiwa yang telah ditetapkan-Nya. Bagi seorang pecinta Allah, apapun yang terjadi adalah yang terbaik.” Bahlul berhenti sejenak sambil mengusap jenggotnya, dan melanjutkan jawabannya, “Sesungguhnya, yang hamba lakukan adalah berbicara kepada-Nya. Hamba katakana kepada-Nya bahwa Dia tahu betul kalau hamba mencintai-Nya dan bahwa tak ada sesuatu pun yang dilakukan-Nya yang baal mengubah cinta hamba kepada-Nya, kecuali bila Dia memang menghendaki demikian. Jika dia memilih memberi hamba racun pahit dan mematikan, maka hamba akan menerimanya sebagai gula manis dan anugerah dari-Nya.”
Itulah kisah si Bahlul, Sufi yang dituduh melakukan pembunuhan. Ketegaran dan ketabahannya dalam menghadapi masalah didasarkan atas dasar husnudzan (berprasangka baik) terhadap takdir Tuhan. Bagaimana dengan kita? Renungkanlah!
(Disarikan dari Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, Tales from the Land of the Sufis; Pent, M.S Nasrullah, Jakarta: Penerbit Lentera, 2000, cet III)