Bahlul: Sufi yang Dituduh Melakukan Pembunuhan (Bag. I)

Bahlul: Sufi yang Dituduh Melakukan Pembunuhan (Bag. I)

Bahlul: Sufi yang Dituduh Melakukan Pembunuhan (Bag. I)

Selama hari-hari musim panas di Baghdad, tak ada kejadian apapun yang menarik perhatian anak-anak di sana. Oleh karenanya, anak-anak yang memiliki banyak akal dan sedikit nakal mencari-cari hiburan baru untuk mengisi waktu kosong mereka. Salah satunya adalah dengan mengganggu para pedagang di pasar dengan mencuri barang dagangan mereka –buah apel di sebelah sini, perhiasan kecil di sebelah sana. Para pedagang yang diusili oleh anak-anak pun berlari menyusuri gang-gang keci di kota itu sambil mengejar anak-anak nakal itu.

Namun, musim panas kali ini sedikit berbeda. Anak-anak yang sedikit dan banyak akal ini menemukan mainan baru untuk “hiburan” mereka. Tersebutlah seorang aneh singgah di kota Baghdad yang tidak sama dengan siapapun dari yang pernah mereka kenal, demikian kata salah seorang dari mereka.

Bahlul, demikian nama panggilan orang aneh itu. Dan memang ia kelihatan benar-benar berbeda dari orang lain. Bahlul tidak tahu sopan-santun dan tatakrama di tempat dan zamannya. Bajunya compang-camping bahkan tidak sama dengan baju pengemis di kota itu. Ia hanya memakai sehelai kain wol kasar –yang biasa disebut shuf (sebuah istilah yang kemudian banyak para sufi menyandarkan asal usul nama sufi dan tasawuf). Sosoknya yang kurus ini menimbulkan kesan tengkorak yang mengenakan pakaian mirip hantu. Namun, tak ada yang menakutkan pada si Bahlul ini. Oleh karenanya, anak-anak kota Baghdad justru menjadikan si Bahlul sebagai “mainan” baru.

Selain balutan pakaiannya yang compang-camping ini, wajah si Bahlul terkesan misterius. Rambutnya hitam, gimbal dan panjang, yang menunjukkan seperti tidak pernah dirawat selama bertahun-tahun. Jenggotnya, yang tidak pernah dicukur, menjuntai ke bawah. Di balik jenggotnya, yang bisa dipandang hanyalah sepasang mata dan hidung. Akan tetapi, sorot matanya bercerita banyak tentang segala sesuatu yang ada dalam dirinya.

Hari sudah tengah malam ketika Bahlul tiba di pintu gerbang kota. Namun, pintu gerbang kota sudah tertutup. Namun, pintu belakang kota sudah tertutup, karena peraturan mengharuskan agar dikunci setiap hari menjelang malam hari. Bahlul lapar, haus, dan lelah. Sambil berjalan ke sana kemari dan mencoba memutuskan apa yang mesti dia lakukan, ia melihat sesosok orang yang terbungkus dengan selimut berbaring dekat salah satu pintu gerbang kota. “Aku bisa beristirahat di samping orang ini dan berlindung pada tubuh dari dinginnya malam hari,” pikir si Bahlul. Ia pun berbarng di samping orang itu dan tidur, serta merasa puas dengan apa yang diberikan oleh Allah.

Di saat fajar pagi menyingsing, ketika Bahlul baru saja menutup matanya sesudah salat Subuh, ia merasa ada benda tajam menusuk di bahunya. Ia membuka matanya da melihat sekelompok serdadu mengelilinginya. Meski setengah mengantuk, ia mulai sadar bahwa tubuh yang berada di sampingnya itu berlumuran darah. Bahlul tidur di samping mayat seseorang yang tampaknya dibunuh, dan gelapnya malam membuat dirinya tak mengetahui hal itu. Sambil meliha ke bawah, ia melihat bahwa bajunya sendiri berlumuran darah yang tentu saja berasal dari korban pembunuhan itu.

Singkat cerita, Bahlul dijebloskan ke penjara, sebab pengakuannya bahwa ia tidak bersalah tampaknya tak bisa dipahami dan sama sekali tak masuk akal. Sipir penjara mengirimkan laporan kepada hakim atau gubernur di kota itu, yang juga menjabat sebagai ketua hakim dan memintanya untuk mengadili kasus tersebut.

Hakim segera mengambil keputusan. Bahlul dianggap bersalah dan harus digantung di depan umum sebagai pelajaran bagi masyarakat luas. Eksekusi dilakukan secepat mungkin. Sang algojo diperintah untuk segera melakukan eksekusi terhadap Bahlul. Namun, Bahlul berbicara dan bertanya apakah ia diberi kesempatan untuk memenuhi permintaan terakhir –berdoa untuk jiwanya. Sipir penjara menyetujuinya, dan suasana hening menyelimuti alun-alun itu. Sambil menengadahkan kepalanya ke atas, ia memandang cakrawala dan membisikkan sesuatu dengan sangat pelan. Kemudian ia memandang kerumunan orang di sekitarnya, tersenyum kepada mereka, dan, bahkan tanpa melihat sipir penjara, memberi isyarat kepada algojo, bahwa ia sudah siap dieksekusi.

Sang algojo pun mengalungkan tali ke leher Bahlul yang kecil itu. Beberapa saat sesudah itu menarik tali itu kuat-kuat, tiba-tiba terdengar teriakan keras di tengah kerumunan orang itu. “Hentikan! Mohon hentikan, demi Allah! Jangan lakukan sedang itu! Orang-orang pun minggir. Seseorang, yang tampak betul sedang bingung dan ketakutan, mendekati tempat eksekusi. “Anda melakukan kesalahan besar. Orang ini tidak bersalah,” teriaknya. [Bersambung]