Seperti apa wajah Indonesia di usia 100 tahun (2045)? Sangat sulit dibayangkan, mengingat tidak ada patok yang jelas dan berkelanjutan tentang seperti apa konsep ‘manusia Indonesia’ hingga saat ini.
Di tahun 1980-an, misalnya, ada wartawan sekaligus sastrawan, Mochtar Lubis, yang dengan lugas menguraikan tentang karakter-karakter manusia Indonesia yang, menurutnya, hipokrit, bermental feodal dan lain-lain. Sayang, kritiknya ditinggal oleh zaman. Substansinya tetap relevan, namun tidak dikembangkan atau bahkan tidak populer oleh dan bagi publik.
Padahal, kita tau bahwa setelah jatuhnya Orde Baru di tahun 1998, banyak gerakan-gerakan Islam bersemi, sementara Gerakan kiri tidak. Salah satu alasannya adalah, Soeharto berhasil menanam hantu menakutkan bernama PKI dan komunisme, baik di pikiran masyarakat ataupun rezim setelahnya. Hasilnya, sebagaimana yang dapat disaksikan, konservatisme hari ini semerbak di mana-mana, sementara gerakan emansipatoris sulit tumbuh. Khususnya: di kalangan anak-anak muda; di lokus-lokus urban; dan di kampus-kampus mentereng.
Di saat yang sama, di tengah gamangnya komitmen kita tentang seperti apa ‘manusia Indonesia’ sejak puluhan tahun silam, digitalisasi telah berhasil mempersuasi rezim masa kini untuk merumuskan definisi ‘manusia Indonesia’ berdasarkan semangat zaman yang ada. Dari sudut jalan hingga forum-forum seminar, mudah ditemukan bukti-bukti semantik seperti penekanan kata millennial, digital, ekonomi kreatif, media sosial, dan beberapa kata kunci lain yang saling bertautan.
Bukti-bukti semantik itu berhubungan erat tentang bagaimana kita bersikap terhadap ruang-ruang serius seperti agama, politik atau bahkan pendidikan. Dalam dua tahun terakhir ini misalnya, mulai bermunculan lomba Tik-Tok yang diselenggarakan oleh fakultas ilmu sosial/humaniora/politik untuk mewadahi mahasiswa-mahasiswa baru saat masa orientasi.
Di beberapa akun-akun hijrah, anda akan melihat bagaimana agama saat ini ditampilkan lekat dengan proses pembuatan video, desain grafis, dan teknologi (kamera, tripod, dll), dan anak muda tentunya. Bukan lekat dengan proses pemaknaan, debat, perbandingan antar kitab atau pemikir, uraian liguistik-historis, dan sejenisnya.
Sebagian orang mungkin akan mengutip hadist Nabi yang mengatakan “bebicaralah (berdakwahlah) sesuai dengan kapasitas kemampuan lawan bicara” untuk menyanggah kenyataan itu. Namun sanggahan itu terburu-buru kiranya kalau menyampingkan bahwa kenyataan di atas adalah gejala perecehan (trivial-pursuit) yang semakin mewujud. Mengapa ketajaman kita dalam belajar agama dan belajar apapun sangat kontras dengan orang terdahulu?
Bagaimana kita menyongsong masa depan kalau cara pandang yang dominan adalah konservatisme agama dan teknofilia? Konservatisme agama umumnya berporos pada moral yang hitam putih, gaya berpikir yang tautologis, dan sulit menerima pendapat ataupun kebenaran yang bertentangan dengan iman versinya, romantik dan gemar mengumbar reward and punishment. Sementara, teknofilia menganggap bahwa teknologi adalah simbol kemajuan yang selalu memudahkan dan mensejahterakan.
Konservatisme agama tidak piawai dalam menarik insight dari keterhubungan antara fakta, data dan realita. Dan itu artinya, tidak piawai dalam meneropong visi dan probabilitas tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan. Karena, visi dan probabilitas adalah dua hal yang dibangun dari serangkaian insight yang seseorang dapatkan. Konservatisme agama lebih suka memotret masa kini dan menerawang masa depan dengan teropong tautologis yang sering kali tidak menyentuh realita sama sekali, atau bahkan mengingkari, meski sering kali dikemas dengan nuansa kekinian.
Sedangkan teknofilia percaya bahwa segalanya akan menjadi aman selama ada teknologi. Teknofilia sering kali meninggalkan dampak berupa sikap abai terhadap aspek non-teknis, seperti; kemajuan teknologi digital dipandang sebagai gerbang kemajuan ekonomi, namun mengabaikan bahwa sekaligus kemajuan kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism); vaksin dipandang sebagai bahtera yang menyelamatkan, namun mengabaikan bahwa scientific attitude jauh lebih menyelamatkan; dan masih banyak contoh lain di berbagai level, baik individu, kolektif, ataupun institusional, yang tak dapat disebutkan satu-satu.
Dua cara pandang ini punya potensi besar menjadi cara pandang dominan masyarakat Indonesia di kemudian masa. Konservatisme agama memikat, karena Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim dan memuaskan untuk dipeluk bagi masyarakat urban yang punya kecemasan duniawi. Sedangkan teknofilia dapat merasuk ke siapapun karena cara pandang ini tak berasal dari sumber primordial tertentu, namun semata berasal dari kenikmatan teknis yang ditawarkannya.
Di kemudian hari, dua cara pandang itu dapat saling tercampur atau terpisah, dan sedikit-banyaknya ditentukan oleh bagaimana dua cara pandang itu tereproduksi pada kalangan anak muda masa kini dan mapan di kemudian hari. Hal ini tentu tidak bisa dianggap ringan karena ada banyak masalah saat ini yang harus ditangani dengan pikiran jernih, di samping pandemi yang membuatnya semakin parah.
Jumlah populasi anak muda yang membludak, dan jumlah sebagian usia produktif yang terdampak pandemi kini membayangi Indonesia dengan bencana demografi. Pun, kalau menilik tren ekonomi, kemiskinan naik, dan prospek lapangan kerja bagi kelas menengah-bawah menjadi tanda tanya. Belum lagi wajah politik Indonesia yang akhir-akhir ini banyak menunjukkan inkonsistensi kebijakan dan terkesan punya standar scientific attitude yang dipertanyakan.
Dengan kata lain, situasi masa kini punya potensi laten untuk menyalakan afek depresif yang lebih besar di masa depan. Afek depresif dan kecemasan sosial-ekonomi adalah dua komposisi subur bagi populisme, teori konspirasi, mobilisasi massa atau apapun yang membuat berpaling dari kenyataan menjadi hal nyaman (meski semu). Kita semua telah tau bahwa megahnya 212 kemarin ditopang oleh perasaan tantrumnya umat islam terhadap status-quo yang konon jauh dari nafas islam. Tantrum serupa dapat terjadi kalau potensi laten dari afek depresif hari ini dibiarkan liar.
Di tengah situasi krisis, butuh lebih dari sekedar patok ‘manusia Indonesia’ yang melek teknologi, jago bertransaksi, saleh, dan digital oriented. Krisis multi-dimensi tidak bisa diselesaikan dengan semangat tautologis dan teknikalisasi masalah. Krisis membutuhkan kualitas manusia yang punya komitmen terhadap masalah, berani menerima kenyataan, dan jeli dalam melihat sesuatu. Kebutuhan semacam ini jelas bertentangan dengan apa yang saat ini sedang tumbuh subur (konservatisme agama dan teknofilia).
Harusnya, seiring dengan berjalannya masa, standar beragama kita semakin meningkat. Di tengah majunya zaman, mengapa ruang publik kita justru masih diramaikan oleh agamawan yang kualitasnya jauh lebih rendah dibanding agamawan seribu tahun lalu dengan zaman yang lebih analog? hal lain seperti literasi sains, literasi media, dan cara pandang etnografis harus disertakan sebagai standar yang sama pentingnya sebagaimana iman dan takwa.
Interaksi, krisis, dan tantangan di masa kini sangat kompleks. Tidak cukup bila hanya mengandalkan iman dan takwa sebagai piranti satu-satunya untuk memilah-milih situasi dan sikap.
Demikianlah pentingnya menentukan siapa dan bagaimana karakter ‘manusia Indonesia’, agar bursa definisinya tidak diecer seenaknya oleh siapapun, baik dari kelompok agama tertentu ataupun teknokrat. Karakter itu harus dirumuskan berdasarkan komitmen menjunjung kebaikan Bersama. Bukan kebaikan partisan ataupun kapital.