Islam mengajarkan kesadaran terhadap bencana alam, termasuk gempa bumi. Pemahaman fatalistik, pasrah, dan berserah diri tanpa mitigasi bencana sangat tidak dianjurkan dalam Islam.
Gempa bumi yang terjadi di Pantai Selatan Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021) mengakibatkan kerusakan puluhan rumah di banyak kawasan di Jawa Timur, mulai dari Malang, Tulungagung, Lumajang, dan sebagainya. Guncangan gempa berskala 6 SR itu bahkan mencapai Surabaya hingga Yogyakarta.
Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana, terang saja, gempa bumi nyaris selalu menimbulkan kepanikan. Padahal, jika menyadari bahwa Indonesia berada di wilayah Cincin Api, rumah geologis bagi gempa bumi dan letusan gunung berapi, maka kesiapsiagaan seharusnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Selain pemerintah, guru dan pemuka agama setempat dituntut memberikan pemahaman konstruktif terhadap bencana alam di wilayah masing-masing. Kesadaran mitigasi becana ini amat penting, apalagi menurut BNPB, sepanjang 2020, telah terjadi sekitar 2.925 becana alam. Untuk gempa bumi sendiri, tahun lalu, telah terjadi 16 kali gempa di Indonesia.
Jika tidak ada kesadaran mitigatif terhadap bencana, maka tidak heran gempa bumi akan menelan banyak korban. Lebih parah lagi, terdapat beberapa konsepsi fatalistik terhadap gempa bumi. Pemahaman Islam yang salah, kalau tidak ditafsirkan ulang, turut berkontribusi melanggengkan sikap pasif terhadap bencana alam.
Juliana Wijaya (2019) menyebutkan bahwa orang Indonesia sering kali hanya pasrah terhadap bencana alam. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, pasrah dimaknai sebagai sikap berserah diri kepada Allah. Mereka bertawakal dengan pemahaman yang keliru sehingga nyaris tidak melakukan mitigasi terhadap gempa bumi.
Berbeda dengan bencana-bencana alam lainnya, misalnya banjir. Dalam Islam, banjir dapat dikategorikan sebagai musibah. Definisi musibah sendiri adalah tragedi karena ulah manusia (QS. 42:30). Masyarakat sedikit banyak menyadari bahwa banjir disebabkan karena penggundulan hutan, hilangnya daya resap tanah, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Akan tetapi, gempa bumi adalah kasus lain. Dalam Islam, istilahnya adalah bala yang merupakan tragedi tanpa campur tangan manusia. Sebabnya adalah pergerakan lempeng bumi ataupun letusan gunung berapi. Sewaktu-waktu gempa dapat terjadi, belum ada cara untuk mencegahnya.
Karena itulah, Oman Fathurrahman, Guru Besar Filologi UIN Jakarta menyebutkan bahwa sering kali masyarakat tidak melakukan persiapan apa-apa menghadapi gempa bumi. Di Sunda sendiri, ujar Oman, ada istilah “kumaha engke“, yang maknanya tidak ada rencana ke depan (sebelum bencana terjadi). Usai bencana, barulah ada upaya pemulihan untuk mengevakuasi korban atau memperbaiki bangunan yang roboh karena gempa bumi.
Padahal, dalam mitigasi bencana, terdapat tiga fase yang harus dilakukan. Pertama, fase prabencana yang meliputi pencegahan, peringatan, dan persiapan. Kedua, fase respons terhadap bencana yang meliputi sikap tanggap terhadap keadaan darurat yang terjadi. Ketiga, fase pascabencana yang meliputi pemulihan hingga penyembuhan korban karena trauma. Ketimpangan salah satu dari ketiga fase di atas mengakibatkan kerugian materiel dan morel yang tak terhingga.
Dalam bencana gempa bumi, kendati belum bisa dicegah, namun risiko bencana tersebut dapat diminimalisasi melalui serangkaian upaya persiapan dan peringatan sebelum gempa bumi terjadi.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Furqan I. Aksa (2020) bahwa Islam sendiri sudah mengatur mengenai kesadaran terhadap bencana melalui tiga konsep, yaitu pengetahuan (Al-ilmu), ikhtiar, dan tawakal.
Pertama, Islam mewajibkan umatnya untuk mencari pengetahuan (menuntut ilmu). Dalam hal kebencanaan, bagi orang yang tinggal di kawasan rawan bencana, mengetahui konsep mitigasi gempa bumi adalah suatu keharusan. Hal ini berkaitan dengan hidup-matinya individu bersangkutan (survival).
Melihat prevalensi bencana alam di Indonesia, seharusnya sudah ada integrasi pendidikan kebencanaan di kurikulum pendidikan Indonesia. Selain itu, sudah ada lagu mitigasi gempa bumi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang digubah oleh Eko Yulianto untuk anak-anak. Namun, sangat sedikit sekali sekolah atau guru yang mengajarkan lagu tersebut.
Kedua, seorang muslim harus berikhtiar dan berusaha dalam segala kondisi (QS. 13:11), termasuk dalam mitigasi gempa bumi. Teladan mitigasi bencana ini bisa dilihat dari kisah Nabi Nuh yang melakukan persiapan penuh sebelum bencana terjadi.
Kesiapsiagaan gempa bumi dapat dilakukan dengan membangun jalur evakuasi jika sewaktu-waktu terjadi gempa. Selain itu, penting untuk mengedukasi anak-anak agar sadar bencana. Berbeda dengan orang dewasa yang mudah melarikan diri, anak-anak sering kali kurang paham terhadap bencana sehingga rentan menjadi korban bencana alam.
Ketiga, tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha apa-apa, melainkan menyerahkan hasil dan dampaknya kepada Allah Swt, seiring dengan usaha maksimal untuk mengurangi risiko gempa bumi tersebut.
Lebih penting lagi, kesadaran terhadap mitigasi bencana di atas, terkhusus gempa bumi, harus dipahami oleh pemangku kebijakan. Bagaimanapun juga, mereka yang memiliki anggaran dan program kerja resmi untuk mengatur kasus kebencanaan di Indonesia.
Masalahnya, menurut Hammam Riza, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), alokasi anggaran untuk mitigasi bencana atau pencegahan dan persiapan mengurangi risiko gempa bumi tergolong minim. Sebaliknya, anggaran yang digelontorkan ketika gempa bumi sudah terjadi tercatat lebih besar.
Pemerintah menitikfokuskan pada upaya pemulihan dan restorasi sumber daya terdampak gempa bumi, alih-alih melakukan prevensi sebelum bencana terjadi. Mirisnya, ketika dilakukan pemulihan (rehabilitasi) usai gempa bumi, tak jarang tragedi itu justru dipolitisasi, mulai dari sorotan berlebih pada bantuan partai atau tokoh tententu, hingga isu karena pemimpin yang tak taat syariat.