Sebuah tulisan lama dari Karen Amstrong nampaknya pantas untuk membantu kita untuk memahami fenomena Islamophobia, khususnya di kalangan masyarakat Barat saat ini. Satu bab berjudul Muhammad Sang Musuh dalam bukunya Muhammad, A Biography of the Prophet (diterjemahkan dengan judul Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis oleh Sirikit Syah, 2001) disajikan Armstrong sebagai pengawal kisah bagi riwayat kehidupan Nabi Muhammad berupa penentangan kepada mindset Barat yang penuh kebencian berlandaskan ketakutan terhadap Nabi dan agama yang dibawanya.
Dalam satu bab tersebut Armstrong seakan ingin mengatakan, “kita orang-orang Barat kesulitan memahami mengapa orang-orang Islam begitu bereaksi terhadap kehadiran kita di dunia mereka, sementara sejarah mencatat bahwa kalian punya reaksi yang sama terhadap kehadiran Islam.” Lugasnya, kita pernah bereaksi terhadap orang-orang Islam seperti mereka bereaksi kita saat ini”, karena itu orang Barat harus memandang Islam secara objektif tanpa melibatkan tendensi emosional, sesuatu yang sebenarnya sudah coba dilakukan oleh Barat mulai dari kaum intelektual hingga para sastarawannya, walaupun kebencian dan ketakutan masih terasa dalam tulisan-tulisan dan karya-karya mereka.
Meski demikian, kesimpulan lain bisa ditarik ketika anda membaca keseluruhan bab tersebut. Rentetan detil-detil yang disampaikan Armstrong menunjukkan bahwa gejala-gejala Islamophobia di Eropa dan Amerika saat ini yang konon muncul gara-gara aksi terorisme Islam sebenarnya sudah mengakar kuat dalam sejarah dan mitos-mitos Barat. Hal ini pun disinggung beberapa kali dalam bab tersebut, meski penekanannya lebih kepada soal cara pandang Barat terhadap Islam. Karena sudah ada akar sejarahnya, Islamophobia seakan bara api yang perlu sedikit pemantik untuk menyala kembali.
Kebencian Barat terhadap Islam dimulai sejak Abad Pertengahan Eropa yang ketika itu pemerintahan Islam menancapkan kekuasaannya di Eropa, khususnya Eropa Selatan. Di bawah kekuasaan pemerintahan Arab-Islam masyarakat Barat sakit hati akibat merasa akar-akar budaya dan nilai-nilai identitas mereka tercerabut. Kebencian kemudian melahirkan mitos-mitos dan fantasi-fantasi yang buruk tentang Nabi Muhammad dan Islam. Muhammad disebut-sebut sebagai penyihir, penyembah berhala, pesulap, penipu, penggila kekuasaan dan penggila seks, dan ia memaksa pengikutnya untuk mempercayai ajarannya yang penuh dengan khayalan itu. Narasi semacam ini memenuhi karya-karya intelektual dan sastra Barat.
Pola pandang yang mengakar-bikar itu teraplikasikan dalam bentuk sebuah pengorbanan berbentuk kekerasan dan pembunuhan citra yang melahirkan martir-martir. Mereka adalah “prajurit-prajurit Tuhan” yang rela mengorbankan nyawa untuk berperang, menghasut, menghina, merusak citra Islam. Selain membunuh, seringkali mereka dengan sengaja membuat provokasi agresif terhadap pemerintah agar dan rela dihukum mati karena provokasi itu, sehingga menegaskan imaji kekejaman kaum muslimin. Para martir ini memuja kecatatan tubuh sebagai simbol kekerasan kaum Mohammadan dan menginspirasi rekan-rekan Barat mereka untuk berperang melawan kaum muslimin.
Selain menciptakan para martir, mitos-mitos yang diciptakan itu menapaki tingkatan yang lebih tinggi tatkala kebencian dibalut dengan kecurigaan. Nabi Muhammad yang populer disebut “Mahound” atau “Mahomet” dan kaum muslimin yang populer disebut “Mohammadan” dianggap sebagai sesuatu yang salah dalam kekristenan. Islam tak lebih dari versi sesat dari kristen yang murni. Lebih parah lagi, Islam bahkan dianggap sebagai musuh dalam selimut. Para pemuka Katolik menuduh Islam sebagai salah satu kelompok Protestan yang ingin menggoyang kepausan. Begitu pula sebaliknya, para pemuka Protestan menuduh Islam sebagai sebuah kesalahan Gereja Barat yang harus dilawan lewat gerakan reformasi. Islam menjadi pesakitan bagi konflik-konflik internal di dunia kristen Barat.
Pada intinya, Karen Armstrong ingin menyadarkan Barat akan sejarahnya yang penuh kebencian terhadap Islam. Bab yang juga membantu menjelaskan gejala Islamophobia yang mengemuka di dunia Barat saat ini, yang ternyata berurat-akar dari sejarah Barat itu sendiri, bisa kita baca lebih jauh lagi.
Ada semacam pola pertumbuhan kebencian terhadap kelompok lain hingga mencapai ekstrimisme, bahkan terorisme, sebab kita boleh percaya atau tidak, melihatnya atau tidak, pola yang dialami Barat itu juga terlihat dalam eksklusifisme Islam saat ini. Berawal dari perasaan tercerabutnya akar budaya lalu lahirlah kebencian dan phobia terhadap Barat dan golongan-golongan lain (seperti Cina, komunis, liberalisme dan lain-lain) yang dianggap mengancam “sang diri”. Kebencian itu melahirkan mitos-mitos dan fantasi-fantasi tentang keburukan “yang lain”. Hinaan dan penistaan terhadap yang lain tak dapat terhindarkan karena rasa benci dan takut. Tak jarang kita mendengar olok-olokan tentang Yesus dan para pastur atau pendeta, para bikkhu, para pemuka Hindu, meski tidak terdengar dilakukan secara terang-terangan.
Kebencian itu pun melahirkan kecurigaan terhadap sesama kelompok yang dianggap menyimpang, musuh dalam selimut. Sebutan “kafir” dan “murtad” adalah stempel-stempel yang dikenakan bagi “Islam yang salah” dan dicurigai sebagai agen musuh yang ingin menghancurkan Islam dari dalam.
Jika mitos-mitos kebencian itu sudah begitu memuncak, tindakan fisik pun menyusul. Mulai dari persekusi terhadap perkumpulan-perkumpulan dan basis-basis kelompok keagamaan yang dianggap menyimpang dan diskusi-diskusi ilmiah hingga yang sangat sederhana, teror terhadap pelari wanita berpakaian minim. Implementasi kebencian dan phobia yang paling besar dan jelas adalah kehadiran martir-martir sebagai tentara Tuhan (jundullah) yang berjihad memerangi dan menumpahkan darah para kafir.
Dengan ini, maka benarlah kiranya apa yang ditegaskan Karen Amstrong dalam satu bab pada bukunya di atas dalam sudut pandang berbeda: “Barat menanggung beberapa ukuran tanggungjawab atas berkembangnya bentuk Islam radikal yang baru, yang hampir menyerupai fantasi-fantasi kuno kita.” Dari sudut pandang kaum muslimin, kita bisa mengatakan: “Saat ini kita membenci Barat seperti Barat membenci kita, sehingga secara tak sadar kita sebenarnya menyerupai mereka.” Jika berbalas-balasan seperti ini, dunia macam apa yang kita bayangkan di hari esok?