Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memberikan peluang sekaligus tantangan bagi agama. Sayangnya, peluang dan tantangan ini menyentuh ‘sisi’ yang berbeda dari agama. Hal ini tidak lepas dari sifat teknologi yang ambivalen: manfaat ataupun kejelekannya tergantung penggunaannya. Peluang TIK cenderung menyentuh aspek seremonial agama, sedangkan tantangan TIK cenderung menampilkan konsekuensi yang patut diperhitungkan soal esensi dalam beragama.
TIK dapat melipat ruang dan waktu, sehingga sebagian ibadah (khususnya ibadah hasil kreasi sosial seperti tahlilan ataupun pengajian) dapat diselenggarakan lebih fleksibel. Orang-orang, misalnya, dapat berdzikir sambil melaju di Tol Cipali. Meskipun ini sebuah peluang yang sangat fleksibel, namun pada titik kemajuan tertentu, mungkin suatu saat kita akan ditodong oleh pertanyaan: bagaimana hukum berhaji menggunakan virtual reality?
Atau, bagaimana jika nanti seorang jenazah akan di-talqin oleh sebuah layar yang terhubung dengan webcam si penalqin? Atau, bagaimana jika nanti pemahaman kita tentang ‘ruang’ telah berubah, dari yang: “panjang x lebar x tinggi” menjadi “ruang sebagai konstruk mental”? Apakah mungkin jika nanti sholat berjamaah dapat dilaksanakan sebagaimana pengajian daring? Orang bisa sholat di rumah dengan kamera terkoneksi ke layar di masjid.
Meskipun belum terjadi, dan belum banyak diulas oleh fiqh, tapi ada satu hal yang dapat ditarik, yakni: bahkan pada taraf kemajuan tertentu, peluang TIK dalam hal fleksibilitas ritual agama dapat mempengaruhi esensi beragama. Meskipun fleksibilitas seremoni sudah terjadi hari ini, namun taraf kemajuan yang telah dilustrasikan di atas sepertinya masih terlalu jauh terjadi.
Agak sedikit berbeda dengan peluang TIK, tantangan TIK sangat dekat sekaligus telah terjadi sejak awal kita memasuki era digital. Kemunculan TIK awalnya dianggap dapat membawa kebebasan informasi. Orang dapat terpapar informasi yang berbeda-beda sehingga mendorong terjadinya proses demokratisasi dan kedewasaan pandangan dalam beragama. Harapannya seperti itu. Namun kenyataannya tidak terjadi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa ini tidak terjadi, begini:
Pertama, faktor ekologi digital. Ekologi digital menyortir konten yang akan disuguhkan ke kita lewat jejak like & dislike yang dihitung oleh algoritma. Konsekuensinya, demokratisasi dan pendewasaan cara pandang lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan semakin terpupuknya kepercayaan primordial dan terpakani-nya emosi. Yang senang dengan dengan X akan semakin senang, yang marah akan semakin marah, yang benci akan semakin terbelah.
Di samping masalah sistem penyuguhan konten, ekologi digital juga memunculkan ‘gegar’ di kita dalam menyikapi antara representasi digital dan kenyataan (khususnya representasi dan kenyataan beragama).
Dulu, di sekitar awal era postmodern (1900-an ke atas), ada gelitikan pertanyaan seperti ini: “andai saja penyaliban Yesus dapat difoto, dan fotonya dapat direproduksi secara massal, apakah foto cetakan industri itu masih sama-sama memuat nilai sakral dan nilai religius yang sepadan dengan penyaliban Yesus yang asli?”
Gelitikan pertanyaan itu berevolusi di era digital dalam bentuk tidak sedikitnya fenomena bagaimana orang tenggelam atau terpantik di kolom komentar sebuah konten visual religius. Fanatisme ataupun kemarahan di kolom komentar seringkali diyakini punya ganjaran (balasan) yang sama religiusnya dengan tindakan di dunia nyata. Pada lingkup yang lebih luas, maka kenal-lah kita dengan munculnya tradisi cyber-troops, tradisi yang lahir dari keyakinan sepadannya dunia digital dan dunia nyata.
Namun sejauh apa keyakinan itu dapat diuji jika pada dasarnya watak utama konten visual adalah selalu memberikan ‘konteks’ palsu. Jadi, salah satu alasan kenapa bermain media sosial sangat menguras perasaan adalah karena kita sedang menaiki roller-coaster emosi yang naik-turun dan rotasinya ditentukan oleh untaian wahana yang tersusun dari konteks-konteks palsu. Orang bisa tiba-tiba merasakan panasnya (rekaan) hari kiamat meskipun sambil rebahan di bawah pendingin 16°C.
Ringkasnya, (1) teknologi digital dapat meretas psikologi kita, dan (2) ketidak-kebalan terhadap konten visual dapat mendorong kita untuk melangkahi kebenaran.
Apa yang tampil di layar sering digunakan sebagai portal instan menuju kebenaran ilahiyah tanpa memperhitungkan dunia nyata. Ulama zaman dulu hanya menghadapi dua alam (nyata dan ilahi). Mereka sangat skeptis terhadap kenyataan dunia nyata, maka dirumuskanlah rupa-rupa piranti mulai dari filsafat, tafsir, ilmu bahasa dan lainnya agar tidak ‘melangkahi’ kebenaran.
Namun saat ini kita menghadapi sedikitnya tiga alam (digital, nyata dan ilahi). Sayangnya, skeptisisme bukanlah suatu tradisi yang umum ditemukan di masyarakat era informasi. Sehingga, memintas kebenaran ilahiyah lewat portal digital kadang dianggap baik-baik saja meskipun ternyata melangkahi kebenaran yang sebenarnya, dan dilakukan tanpa tau hal-hal mendasar seperti: apa itu digital, bagaimana konsekuensi kebudayaannya, apa implikasinya, dan apa bedanya dengan yang dialami oleh Ulama terdahulu.
Sementara itu, faktor yang kedua adalah sumber daya manusia (baik itu pendakwah ataupun umat). Di kondisi ekologi digital yang demikian kompleks, setiap orang bebas berbicara. Rumusnya: “kredibilitas seseorang bisa ditambal atau digantikan oleh estetika atau apapun itu (termasuk juga kontroversi) yang memiliki daya tarik perhatian dan memupuk emosi.”
Rumus ini bisa mujarab karena―sebagaimana yang dilaporkan di banyak literatur―digitalisasi berperan besar terhadap penumpulan pikiran yang terjadi di masyarakat informasi. Ada slentingan begini: “berpikir butuh waktu gabut, sedangkan gabut belum tentu butuh berpikir. Malah sering kali kegabutan berakhir di hiburan.”
Akibatnya, politisi bertopeng agama pun bertebaran, konten yang eksploitatif jadi melimpah ruah, dan di saat yang sama kita sulit mengidentifikasi mereka, serta sulit pula untuk tidak tenggelam di jebakan emosi yang mereka buat. Hasilnya adalah religious hatred, kebencian beragama. Urusan hasil ini akan dikemanakan adalah tergantung pelakunya. Kadang bisa diarahkan untuk politik, kadang bisa untuk menggapai romantisme masa lalu, dan bisa juga sekedar untuk penegasan partisan.
Celakanya, ada sebagian pelaku yang memiliki sayap berupa bot dan akun fanpage. Pelaku yang memiliki sayap dapat mengamplifikasi konten mereka dan menggapai viralitas. Bagi sebagian orang, yang viral adalah yang nyata, meskipun pada kenyataannya belum tentu nyata. Karena bot dan fanpage adalah corong amplifikasi untuk mendapatkan viralitas yang tidak alami.
Jika ingin mendapat viralitas yang alami sekaligus cepat, bisa gunakan teknik trolling: unggah-lah konten bermuatan sindiran-sindiran atau ledekan yang tipis tapi tajam, yang secara literal terlihat baik-baik saja, tapi jika diintonasikan tidak baik-baik saja. Trolling sering kali digunakan untuk mempererat ikatan intra kelompok tapi juga sekaligus mempertajam antagonisme antar kelompok. Mereka yang menjadi bagian kelompok dan mereka yang bukan bagian dari kelompok akan tersortir trolling. Dan masing-masing kelompok akan berdiri di atas pendirian kebenarannya masing-masing.
Ketika sistem psikologi kita berubah, cara pandang dunia kita pun berubah, dan cara komunikasi kita akan ikut berubah. Maka, perlu dijelajahi lebih jauh tentang tantangan dan praktik agama seperti apa yang kita inginkan di era digital?
Mungkinkah islamisasi app Tik-Tok atau islamisasi konten Youtube, umpamanya, dapat disepadankan dengan islamisasi wayang a la Sunan Kalijaga? Mungkinkah pengajaran agama daring punya kualitas yang sepadan dengan pengajaran luring?
Atau, mungkinkah nanti, ‘Ulama’ adalah mereka yang membuat vlog dan bukan mereka yang menulis kitab? Apakah semua ini dapat dilakukan tanpa ada konsekuensi kebudayaan? Dan, ‘iman’ seperti apa yang tumbuh dari manipulasi psikologi dan demagogi partisan juga perlu ditinjau ulang. (AK)