Asma binti Umais, Perempuan Mulia yang Dua Kali Berhijrah

Asma binti Umais, Perempuan Mulia yang Dua Kali Berhijrah

Asma binti Umais, Perempuan Mulia yang Dua Kali Berhijrah
Ilustrasi hijrah muslimah

Asma binti Umais bin Ma’bad bin al-Harits al-Khats’amiyah adalah perempuan dari kalangan Muhajirin yang masuk Islam di awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebelum Rasulullah SAW membuka majelis pertama di rumah Arqam.

Saat umat muslim mengalami berbagai siksaan dari musyrikin Makkah, Rasulullah SAW memerintahkan sekelompok sahabat untuk hijrah ke Etophia atau  Habasyah pada tahun ke-7 nubuwah.

Asma binti Umais bersama suaminya, Ja’far bin Abi Thalib turut serta dalam rombongan tersebut. Ini merupakan hijrah pertama yang dilakukan umat Islam. Meskipun mengalami berbagai penderitaan selama perjalanan, mereka tetap yakin untuk berhijrah ke Habasyah, sebagai bentuk ketaatan kepada Rasulullah Saw.

Di negeri yang dipimpin oleh Najasyi itu, Asma binti Umais dan Ja’far bin Abi Thalib dikaruniai tiga orang putra, yakni Aun, Abdullah dan Muhammad.

Dzatu hijratain

Setelah menetap beberapa tahun di Habasyah, saudari Salma binti Umais ini memutuskan untuk kembali berhijrah, bersama suaminya dan rombongan umat muslim. Kali ini mereka bertolak ke Madinah, menyusul Rasulullah Saw yang telah menciptakan peradaban di negeri yang dahulu disebut Yatsrib tersebut.

Euforia penaklukan Khaibar masih begitu terasa saat rombongan dari Habasyah ini sampai di Madinah. Melihat kedatangan mereka, sejumlah sahabat yang bersama Nabi berkata “Kami lebih istimewa daripada kalian karena hijrah.” Maksudnya, mereka menganggap diri mereka lebih utama karena sudah lebih dahulu hijrah ke Madinah dibandingkan rombongan ini.

Asma binti Umais kemudian berkunjung ke kediaman Hafshah binti Umar, istri Rasulullah SAW. Tiba-tiba Umar bin Khattab datang, tatkala melihat Asma, ayahanda Hafshah itu bertanya “Siapa ini?”

“Aku Asma binti Umais,”

“Kamu yang ikut berhijrah ke Habasyah? Kamu yang mengarungi lautan itu?” tanya Umar lagi.

“Benar,” jawab perempuan yang dijuluki Ummu Abdillah ini.

Umar kemudian berkata “Kami lebih dahulu hijrah daripada kalian, kami lah yang lebih berhak terhadap Rasulullah daripada kalian.”

Mendengar ucapan Umar, Asma tak bisa menahan emosinya dan langsung berujar:

“Itu tidak benar wahai Umar. Tidak, demi Allah, kalian memang bersama Rasulullah SAW sehingga beliau bisa memberi makan orang yang lapar dan menasihati yang jahil. Sementara kami di sebuah negeri atau di bumi yang jauh dan gersang di Ethiopia, dan itu semua semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah aku tidak akan makan dan minum apapun sampai aku mengadukan apa yang kau ucapkan kepada Rasulullah Saw.”

“Kami disakiti dan diteror, dan semuanya itu akan kulaporkan kepada Nabi SAW. Demi Allah, saya akan bertanya kepada beliau, saya tidak akan berdusta, tidak akan meninggalkan kebenaran, dan tidak akan menambah-nambahi!” ucap Asma begitu tegas.

Ketika Nabi Saw datang, Asma binti Umais segera menyampaikan keluh kesahnya, tentang apa yang diucapkan Umar.

Mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah SAW bersabda “Dia, Umar, tidak lebih berhak terhadapku daripada kalian. Dia dan para sahabatnya hanya mempunyai satu hijrah, sementara kalian para penumpang perahu mempunyai dua hijrah.”

Setelah kejadian itu, Abu Musa dan para sahabat yang menumpang perahu (yang hijrah ke Habasyah) susul menyusul menemui Asma untuk menanyakan perihal ucapan Rasulullah SAW. Mereka begitu bahagia, hingga tak ada satupun harta duniawi yang bisa menandingi kebahagiaan mendengar sabda Nabi tentang mereka itu. (Disarikan dari hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Demikianlah, Asma binti Umais kemudian diberi gelar dzatu hijratain (pemilik dua hijrah).

Menikah dengan tiga sahabat mulia

Barulah setahun Asma dan suaminya menetap di Madinah, pada 8 H Rasulullah SAW memerintahkan umat muslim untuk berjihad di Mu’tah. Beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan dan berpesan:

“Jika Zaid syahid, maka angkatlah Ja’far bin Abi Thalib sebagai panglima. Jika ia juga syahid, maka angkatlah Abdullah bin Rawahah sebagai panglima. Jika ia juga syahid, maka terserah kaum muslim mengangkat siapa komandan yang mereka kehendaki.”

Di pertempuran tersebut, Zaid bin Haitsah gugur, maka majulah Ja’far bin Abi Thalib sebagai panglima. Namun sepupu Rasulullah SAW itu pun syahid. Kedua tangannya putus dipotong musuh dan di tubuhnya terdapat puluhan bekas luka.

Gugurnya Ja’far bin Abi Thalib di medan Mu’tah membuat Asma binti Umais menjanda. Hingga kemudian, di awal tahun 10 H, putri Umais bin Ma’bad ini menikah dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq RA.

Asma binti Umais tak hanya dikenal sebagai perempuan kritis dan tegas, ia juga merupakan sahabat yang memiliki semangat tinggi dalam beribadah. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa saudari seibu Maimunah binti al-Harits ini ikut berhaji wada bersama Rasulullah SAW dan suaminya, Abu Bakr. Padahal kala itu Asma sedang hamil tua, ia bahkan melahirkan putranya, Muhammad bin Abu Bakr di tengah pelaksanaan ihram.

Barulah beberapa tahun membina rumah tangga dengan Abu Bakr, khalifah Rasulullah SAW itu jatuh sakit dan wafat pada tahun 12 H. Asma sendirilah yang memandikan jenazah suaminya itu.

Pasca kematian Abu Bakr, Asma sempat menjanda beberapa lama. Hingga kemudian Ali bin Abi Thalib meminangnya, sebelum lelaki berjulukan babul ilm itu menjadi khalifah keempat.

Dari pernikahannya dengan adik Ja’far bin Abi Thalib ini, Asma dikaruniai dua anak, Yahya bin Ali dan Aun bin Ali. Namun Yahya menutup usia saat masih bayi.

Dalam Tahdzib at-Tahdzib disebutkan, setelah putranya, Muhammad bin Abu Bakr wafat, Asma binti Umais menghabiskan hari-harinya di tempat salatnya. Ia menahan amarahnya hingga dua payuranya mengeluarkan darah.

Ada dua riwayat yang mencatat tahun wafat Asma binti Umais, yakni 38 H dan setelah 60 H. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia masih hidup setelah suami ketiganya, Ali bin Abi Thalib wafat (40 H).