Goenawan Mohamad pada paragraf pembuka catatan pinggir di bawah judul “Indonesia “, secara keliru menyebut bahwa nama Indonesia adalah hasil kreasi dari Adolf Bastian, seorang etnolog berkebangsaan Jerman. Adalah benar, melalui karya magnum opusnya di bidang etnologi berjudul Indonesien oder de inseln des Malaysichen Archipel, yang terbit tahun 1884, Bastian menjadikan nama Indonesia populer, tapi ia bukan penemu nama itu.
Jauh hari, 34 tahun sebelum Adolf Bastian mempublikasikan karyanya, James Ricardson Logan telah terlebih dahulu menabalkan nama Indonesia sebagai kajian akademik untuk menggantikan nama Hindia-Belanda.
Dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV, Logan melakukan silang pendapat dengan George Samuel Windsor Earl. Earl lebih suka memberi nama Malayunesia ketimbang Indunesia. Kemudian, dengan membuang huruf “u” dan menggantinya menjadi “o”, Logan lebih setuju dengan nama Indonesia.
Logan menyebut bahwa Indonesia merupakan akronim dari “India” dan “nesos “, yang berarti kepulauan India, sebagai pembeda dengan India daratan yang berada di bawah jajahan Inggris.
Sejak itulah term Indonesia populer di dunia akademik di Eropa. Bastian mengambil nama Indonesia ini, hasil temuan Logan, yang secara keliru (mungkin lupa) disebut Jordan oleh Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.
Ramai menjadi perbincangan akademik, Suwardi Suryaningrat mencomotnya sebagai nama biro pers yang ia dirikan, Indonesische Pers Bureu, Biro Pers Indonesia.
Baca juga: Apa Jadinya Jika Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Tidak Jadi Dihapus?
Namun, yang memberi “isi” Indonesia menjadi idiom politik adalah Bung Hatta, bukan Suwardi Suryaningrat yang belakangan berganti nama Ki Hajar Dewantara itu.
Bung Hatta dan mahasiswa segenerasinya yang kuliah di Belanda mengubah nama perkumpulan mahasiswa Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging. Perkumpulan mahasiswa yang sebelumnya hanya berisi dansa-dansi bertransformasi menjadi gerakan untuk mewujudkan cita kemerdekaan.
Bung Hatta mempromosikan nama Indonesia di level Internasional, termasuk saat Bung Hatta menghadiri pertemuan di Brussel, awal Pebruari 1927.
Dalam forum itu, Bung Hatta menegaskan bahwa pengganti nama Hindia-Belanda adalah Indonesia. Penegasan ini diulang oleh Hatta saat ia berpidato di depan mahasiswa Indologi universitas Utrecht di tahun 1930.
Di tangan Hatta, Indonesia bertransformasi dari sebuah idiom akademik menjadi idiom politik. Di tangan Hatta, Indonesia menjadi kredo sebuah cita kemerdekaan.
Namun, cerita belum selesai. Di tanah air, muncul seorang anak muda revolusioner bernama Semaun. Ia bersama Darsono (dan didorong oleh Sneevliet) membentuk Partij der Kommunisten in Indonesische (PKI) di tahun 1924.
Inilah partai politik pertama yang bernama Indonesia, sebelum kelak diikuti Partai Nasional Indonesia (PNI). Dan, dalam anggaran dasar PKI terpatri tujuan untuk merebut cita kemerdekaan.
PKI memang telah menjadi catatan pinggir dalam narasi besar Indonesia hari ini, namun sejarah mencatat bahwa PKI adalah partai politik pertama yang lahir dari rahim ibu pertiwi dan menyatakan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Di luar itu, PKI adalah “perkawinan ” antara ISDV dan Syarikat Islam.
Jelas, Indonesia adalah sebuah proyek Intelektual yang berevolusi melalui tiga tahap, yakni tahap akademik, tahap politik identitas, dan terakhir tahap politik praktis.
Indonesia bergerak sedemikian rupa dari sebuah karya akademik menjadi gerakan politik praktis. Ki Hajar Dewantara, Hatta, dan Semaun berjasa besar untuk memberi “isi ” nama Indonesia.
Indonesia tidak hanya menjadi teks yang mati, tetapi sebuah teks yang hidup. Indonesia tidak hanya tertulis dalam jurnal ilmiah tetapi juga terpatri dalam sanubari anak bangsa.
Indonesia menjadi pandu sumpah pemuda. Dan, dari sinilah gagasan “merdeka ” menemukan lampu yang menerangi.