Polarisasi masyarakat akibat persaingan politik di Indonesia kian hari kian tidak sehat. Kedua kubu yang semakin terbelah itu, sama-sama terhanyut dalam pesta pora kebencian. Rasa permusuhan antar kelompok menyusup begitu dalam hingga ke tulang, membuat pertengkaran tidak hanya sebatas dalam arena wacana dan ideologi, melainkan meluber hingga ke wilayah personal.
Maka serangan-serangan tidak lagi hanya diarahkan kepada sasaran yang semestinya, yaitu pandangan dan kebijakan pihak lawan, melainkan juga kepada pribadinya. Dan senjata yang paling mudah diraih untuk menggebuk musuh adalah faktor-faktor bawaan lahir, sesuatu yang manusia tidak bisa memilihnya: ras; warna kulit, bentuk mata, hidung, rambut, dan sejenisnya. Senjata itulah yang diayunkan untuk menghantam—setidaknya di dunia medsos— pihak yang berseberangan.
Pelecehan rasial merupakan sesuatu yang sangat purba dan tercela. Namun justru itulah yang hari-hari ini sering terjadi, dan banyak orang melakukannya dengan ringan, seolah-olah itu bukan sebuah kekerasan verbal terhadap kemanusiaan dan kebangsaan. Berbagai kosa kota yang mengandung rasisme bermunculan mengiringi perayaan kefanatikan politik itu: Aseng, 9 Naga, Antek Yaman, Berdarah Gurun, Cina PKI, etnis pendatang, etnis penumpang, non-pribumi, dll.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah muncul sejak 2014 saat masa kampanye pilpres antara pasangan Jokowi – Jusuf Kalla dan Prabowo – Hatta Rajasa. Apa yang waktu itu dikenal sebagai kampanye hitam, menyasar Jokowi. Para tokoh dan figur yang terlibat dalam persaingan politik dipukul dengan palu SARA.
Yang paling menonjol adalah Obor Rakyat yang menulis bahwa Jokowi merupakan seorang keturunan Cina. Sebelumnya, dalam kasus-kasus yang lain, oleh kubu yang berseberangan, Rizieq Shihab juga dihajar dari sisi etnisitasnya dengan olok-olok yang berkaitan dengan keturunan Arab.
Rasisme kian mengental saat Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 dan terus berlanjut hingga hari ini dalam sebuah lingkaran setan. Kubu yang satu menganggap perilaku rasis terhadap etnis tertentu adalah wajar sebagai sebuah reaksi perlawanan, dan demikian pula anggapan kubu yang lainnya.
Kekalahan Ahok yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa dan kemenangan Anies yang berasal dari etnis keturunan Arab pada Pilkada DKI (dan berlanjut dengan kemungkinan pencalonan dirinya dalam Pilpres 2024 kelak) seolah mendorong kedua suku minoritas “non-pribumi” itu, ke tengah gelanggang perbincangan publik politik nasional.
Namun tentu saja persoalan etnisitas itu hanya terjadi di tingkat akar rumput, bukan di tingkat elit politisi kedua etnis tersebut. Etnisitas keturunan Tionghoa dan keturunan Arab itu, seperti terseret secara tidak semestinya menjadi salah satu isu dalam percakapan sengit antar kubu publik politik.
Pendukung kubu yang satu menolak rasisme terhadap etnis keturunan Arab namun mereka rasis terhadap etnis keturunan Tionghoa, sementara pendukung kubu yang lainnya menentang rasisme terhadap etnis keturunan Tionghoa tapi mereka rasis terhadap etnis keturunan Arab.
Akibatnya, hampir semua figur politik yang berasal dari kedua etnis itu, secara bergantian menjadi korban ujaran kebencian rasial, baik yang dilakukan oleh netizen mapun oleh tokoh politik, public figure, dan pegiat medsos.
Ahok, Grace Natalie, Anies Baswedan, dan Tsamara Amany, adalah sekadar contoh nama-nama yang mengalami bullying rasial. Pelaku perisakan rasial itu bisa dari nobody nun di kota kecil Sidoarjo sana, maupun dari somebody di Ibu Kota Jakarta.
Argumentum Ad Hominem
Dalam konteks rivalitas politik, sampai ukuran tertentu, semua serangan rasial itu bisa digolongkan dalam Argumentum ad Hominem. Sebab, pengertian luas prinsip itu adalah argumen yang dibangun berdasarkan pada hal-hal pribadi—di luar konteks wacana dan kebijakan politik—yang melekat pada seseorang, dengan tujuan untuk menjatuhkan atau mengalahkan sang penyandang.
Hal-hal pribadi yang melekat pada seseorang itu mencakup juga ciri-ciri fisik dan etnis. Ciri-ciri fisik dan etnis yang berbeda dari mayoritas akan dianggap sebagai titik lemah, dan itulah yang dimanfaatkan sebagai bagian dari argumen untuk mematahkan keabsahan premis dan menyempitkan ruang aktualisasi lawan.
Sebagai sebuah logical fallacy, meluasnya penggunaan cara-cara seperti itu akan menggiring masyarakat ke dalam kubangan irasionalitas. Publik bakal kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan analogis lantaran dibiasakan untuk melihat siapa ketimbang apa.
Obyektifitas menjadi sesuatu yang terlampau jauh untuk bisa diamati dan diraih, tertutupi awan gelap kebencian personal yang terbentuk dari fanatisme komunal. Etika sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan, tersisih oleh nafsu ideologis yang over dosis.
Sebagai ilustrasi dari kondisi itu, figur-figur seperti Habib Kribo, Geiz Chalifah, dan Raja Juli Antoni, dan kaitan mereka dengan Anies Baswedan, bisa diketengahkan untuk mengidentifikasi persoalan Argumentum ad Hominem ini.
Meski berbeda secara kategori atribusi kelembagaan dan peran, namun ketiganya terhubung dalam relasi pro dan kontra Anies Baswedan; Habib Kribo dan Raja Juli Antoni dikenal anti-Anies Baswedan, sementara Geisz Chalifah sebaliknya.
Kita melihat bagaimana Habib Kribo yang dielu-elukan oleh sebagian orang setelah pada awal kemunculannya ia mencaci maki suku Indonesia keturunan Arab dan menghina mereka dengan sebutan etnis pendatang dan penumpang, belum lama ini menyerang etnisitas Anies Baswedan, yaitu etnis keturunan Arab non-habib.
Habib Kribo mengatakan bahwa janji Anies Baswedan untuk bersikap tegas terhadap kelompok radikal tidak akan terealisasi lantaran secara kultural, etnisitas Anies Baswedan (keturunan Arab non-habib) berpaham Wahabi.
Tentu saja ini sebuah argumen yang mudah dipatahkan. Hanya dengan menengok ke seorang Nadiem Makarim (Makarim adalah marga keturunan Arab non-habib sebagaimana Baswedan) kita bisa mafhum bahwa kewahabian tidak terkait dengan etnisitas. Dan faktanya banyak suku lain di Indonesia yang berpaham Wahabi.
Sementara itu, Geisz Chalifah (Chalifah adalah marga keturunan Arab non-habib) yang dikenal sebagai pembela Anies Baswedan paling militan, sebelumnya juga menyerang Habib Kribo dengan Argumentum ad Hominem.
Ia mengungkit persoalan pribadi Habib Kribo, bahwa pada masa lalu pegiat medsos itu pernah berusaha meminta bantuan kepadanya untuk dipertemukan dengan Anies Baswedan terkait perkuliahan anaknya. Padahal itu satu peristiwa yang terjadi saat Anies Baswedan masih menjabat rektor Paramadina, yang artinya Anies belum bersekutu dengan ormas Islam garis keras FPI dkk.
Dengan kata lain, kala itu Anies Baswedan masih satu kubu dengan Habib Kribo dan mereka saling kenal. Maka tentu saja tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Habib Kribo itu. Namun Geisz Chalifah tampaknya dengan sengaja melakukan pengaburkan informasi dengan tidak menjelaskan bantuan apa yang diminta Habib Kribo dan kapan kejadiannya.
Dengan demikian, bisa dikatakan Geisz Chalifah telah dengan sengaja memelintir fakta itu dengan tujuan untuk mencemarkan integritas Habib Kribo di mata publik.
Di sini kita bisa melihat bagaimana kegandrungan berlebih-lebihan pada kelompok politik bisa membelakangi etika, menggeser persoalan pertengkaran wacana menjadi kebencian personal, bahkan dengan cara-cara yang tidak pantas. Geisz Chalifah memang tersohor sebagai sahabat dan pendukung Anies Baswedan garda terdepan. Tampaknya kefanatikan itulah yang pada akhirnya membuat komisaris PT Ancol Jaya itu tak mampu mempertahankan etika politiknya.
Dalam cuitannya menanggapi peristiwa pengeroyokan Ade Armando, Geisz Chalifah menunjukkan tingkat kebenciannya kepada Ade Armando. Alih-alih mengecam aksi biadab itu, Geisz Chalifah justru terksesan—meski tak terang-terangan—mensyukuri.
Ade Armando memang pengkritik Anies Baswedan yang lantang, namun bukankah semua itu ia lakukan dalam konteks kebijakan politik, bukan personal? Sebagai orang dekat Anies Baswedan (publik tak tahu bagaimana sikap Anies Baswedan dalam kasus pengeroyokan Ade Armando lantaran ia tidak memberikan komentar), semestinya Geisz Chalifah bisa melihat Ade Armando dalam perspektif itu, sehingga mampu melihat persoalan secara proporsional.
Sebenci apa pun Geisz Chalifah kepada Ade Armando, sebagai seorang yang berpendidikan seharusnya ia tetap memperlihatkan empati, tetap mengecam aksi pengeroyokan yang barbar itu. Namun sayang tidak demikian faktanya, tampak sekali permusuhan politiknya sudah menjadi kebencian personal pada tingkat yang maksimal.
Dalam kasus yang lain dan kadar yang berbeda, begitu pula dengan tingkat kebencian Habib Kribo kepada Geisz Chalifah. Lewat unggahan video, Habib Kribo membalas serangan Geisz Chalifah terhadap pribadinya, dengan balas menyerang pribadi Geisz Chalifah. Kali ini lewat sisi etnisitasnya.
Habib Kribo memainkan jurus andalannya yaitu sentimen rasial—bahkan bernuansa adu domba antar sesama suku bangsa Indonesia—sebagai senjata untuk memukul Geisz Chalifah dengan mengatakan bahwa orang Indonesia dari suku Melayu lebih hebat ketimbang orang Indonesia dari sukunya Geisz Chalifah, yaitu keturunan Arab. Narasi ini bisa dimaknai sebagai ikhtiar Habib Kribo untuk merangkul suku mayoritas agar mendukung dirinya dalam perselisihannya dengan Geisz Chalifah.
Ujaran yang bisa dinilai sebagai upaya pembenturan antar sesama suku bangsa Indonesia seperti itu, yaitu dengan cara memuji suku etnis yang satu sembari menghina suku etnis yang lain (baik itu sukunya sendiri maupun suku orang lain), mencerminkan betapa Argumentum ad Hominem dalam berbagai bentuk, tingkat, varian, dan sasaran, telah dipertontonkan secara telanjang oleh Habib Kribo, Geiz Chalifah, dan sejumlah public figure lainnnya dari kedua belah pihak.
Jejak digital telah mencatat bahwa beberapa ujaran Rizieq Shihab, Abdul Somad, Abu Janda, Gus Nuril, Kristia Budhiyarti (Kang Dede), Sutiyoso, dll, berada dalam nada yang sama dengan Geisz Chalifah dan Habib Kribo, yaitu Argumentum ad Hominem, wabil khusus dalam bentuk rasisme.
Adab Politik Raja Juli Antoni
Di tengah-tengah fakta yang memprihatinkan itu, Raja Juli Antoni menunjukkan adab politik yang terpuji. Menanggapi sebuah video viral berisi seorang pemuda yang menghujat baliho Anies Baswedan di Sidoarjo (sambil meneriaki Anies Baswedan sebagai orang Yaman) beberapa waktu lalu, Raja Juli Antoni dengan sigap dan tegas mengatakan bahwa Anies Baswedan, sebagaimana Ahok, adalah orang Indonesia.
Raja Juli Antoni secara konsisten menolak rasisme oleh dan terhadap siapa pun, baik kawan maupun lawan. Anies Baswedan memang musuh politiknya, namun ia tidak bisa menerima ketika sang musuh mengalami serangan rasial. Bagi Sekretaris Dewan Pertimbangan DPP PSI itu, rasisme bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan, siapa pun pelaku dan korbannya.
Tulisan ini tidak sedang menyanjung haluan politik Raja Juli Antoni dan partainya (PSI), melainkan mengungkapkan bagaimana politisi muda itu telah menegakkan etika dalam berpolitik, dan mencampakkan pola Argumentum ad Hominem.
Sebagian orang boleh saja menganggap sikap Raja Juli Antoni dan partainya terhadap Anies Baswedan selama ini, serupa dengan sikap kubu anti-Jokowi terhadap sang presiden, yaitu tidak obyektif dan selalu menyalahkan apa pun yang dikerjakan kedua tokoh itu.
Raja Juli Antoni dkk juga dinilai tebang pilih dalam menentang politisasi agama; mengecam Anies di satu sisi, namun—karena pertimbangan pragmatis realitas politik, meskipun dengan risiko mengabaikan suara sebagian pendukung setia Ahok yang kecewa—tidak lagi mempermasalahkan peran penting Ma’ruf Amin dalam Pilkada DKI 2017 yang dipenuhi drama politik bernuansa SARA itu, di sisi lainnya.
Keputusan Jokowi merangkul Prabowo Subianto yang memiliki catatan tebal sebagai pelaku politisasi agama di mana ia bergandengan tangan erat dengan Rizieq Shihab, Abdul Somad, Adi Hidayat dll selama masa kampanye Pilpres 2019, juga relatif aman dari kecaman.
Namun pendapat-pendapat semacam itu merupakan perkara yang berada di luar topik tulisan ini, dan juga tak terkait dengan pujian terhadap Raja Juli Antoni. Sebab, acungan jempol untuk Raja Juli Antoni di sini tidak ditujukan pada arah politik, melainkan pada adab politik.
Yang ditentang selama ini oleh Raja Juli Antoni adalah cara-cara dan kebijakan politik Anies Baswedan, bukan pribadinya. Ia berseberangan dengan Anies Baswedan sebagai sebuah entitas politik, bukan Anies Baswedan sebagai person.
Dengan demikian, Raja Juli Antoni bisa menjadi salah satu contoh tokoh yang berhasil menjunjung etika dalam aktifitas politiknya. Ia bukan tipe orang yang lantaran terbakar api amarah, lalu tanpa rasa malu menggunakan cara Argumentum ad Hominem—terutama dalam bentuk rasisme—untuk mencakar dan menggigit lawan.[]