Meski Los Angeles Itu Jauh, Bukan Berarti Indonesia Tak Akan Tersambar Apinya

Meski Los Angeles Itu Jauh, Bukan Berarti Indonesia Tak Akan Tersambar Apinya

Kebakaran yang ada di Los Angeles pada awal tahun ini seharusnya menjadi pekiling bagi kita untuk bersiap-siap menghadapi kejadian yang serupa dan bisa saja terjadi di Indonesia.

Meski Los Angeles Itu Jauh, Bukan Berarti Indonesia Tak Akan Tersambar Apinya

Awal tahun 2025, kebakaran hebat melanda Los Angeles, Amerika Serikat. Ribuan hektare lahan terbakar, memaksa ribuan orang mengungsi, dan meninggalkan jejak kehancuran yang memilukan. Mungkin sebagian dari kita berpikir, “Itu kan jauh, tidak ada hubungannya dengan Indonesia.” Tapi benarkah demikian?

Indonesia, sebagai negara dengan hutan tropis yang luas, justru memiliki risiko kebakaran yang tidak kalah mengkhawatirkan. Setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi, terutama di daerah dengan ekosistem gambut yang rentan terbakar. Jika kita tidak belajar dari kejadian di Los Angeles, bukan tidak mungkin bencana serupa akan menimpa kita. Data dari Katadata menyebut bahwa luas kebakaran hutan di Indonesia melonjak 5 kali lipat pada 2023.

Kebakaran yang ada di Los Angeles pada awal tahun ini seharusnya menjadi pekiling bagi kita untuk bersiap-siap menghadapi kejadian yang serupa dan bisa saja terjadi di Indonesia. Kita tentu selalu ingat pepatah satu ini, “Sedia payung sebelum hujan.” Namun seharusnya kita tak perlu sedia payung, karena kita bisa jadi mencegah ‘hujan’nya jika kita sadar dan mau.

Berikut beberapa hal yang perlu kita siapkan agar kejadian di Los Angeles tak terjadi di Indonesia.

Pertama, percaya bahwa krisis iklim itu nyata. Sebagian orang masih menganggap krisis iklim hanya sekadar wacana. Padahal, data menunjukkan suhu bumi meningkat, musim kering semakin panjang, dan kebakaran hutan makin sering terjadi. Tanpa kesadaran akan perubahan iklim, upaya pencegahan kebakaran akan sulit dilakukan.

Begini saja, deh, zaman dahulu kita diajari di sekolah cara mengenal dan membedakan musim hujan dan musim kemarau di Indonesia. Jika sudah tiba bulan yang berakhiran ber-ber, berarti musim hujan tiba. Tapi buktinya sekarang, teori itu sepertinya tak berlaku. Artinya, krisis iklim memang benar-benar ada.

Kedua, melawan praktik perusakan lingkungan. Mungkin kita berpikir bahwa hutan yang terbakar jauh dari tempat tinggal kita. Tapi cepat atau lambat, dampaknya akan kita rasakan, entah dalam bentuk cuaca ekstrem, polusi udara, atau krisis air. Saatnya melawan praktik eksploitasi alam yang hanya menguntungkan segelintir orang tetapi merugikan generasi mendatang.

Ketiga, mencegah kebakaran di lahan gambut. Lahan gambut di Indonesia adalah penyimpan karbon alami yang jika terbakar, sulit dipadamkan. Sayangnya, praktik pembakaran lahan masih banyak terjadi demi membuka perkebunan dengan cara instan. Jika dibiarkan, ini bisa mempercepat kerusakan lingkungan dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Keempat, menambah wawasan seputar krisis iklim dan solusinya. Jika kita percaya dan sadar bahwa krisis iklim itu benar-benar ada, selanjutnya, kita perlu meningkatkan literasi kita seputar isu lingkungan, do and dont-nya. Isu lingkungan ini menjadi concern kita bersama. Jangan berharap hanya pada aktivis lingkungan, pemerintah atau orang lain. Mulailah dari diri sendiri, lingkungan dan keluarga.

Kelima, mengolah sampah dengan bijak. Di banyak daerah, sampah masih sering dibakar, menciptakan polusi udara dan meningkatkan risiko kebakaran. Kita bisa mulai dengan memilah dan mengolah sampah dengan benar agar tidak berkontribusi pada pencemaran lingkungan.

Keenam, mengurangi polusi udara. Asap dari pembakaran lahan dan emisi kendaraan memperburuk efek rumah kaca, yang memperparah perubahan iklim. Beralih ke transportasi umum, menggunakan energi ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil adalah langkah konkret yang bisa kita lakukan.

Ketujuh, menjaga ekosistem hutan. Hutan adalah benteng utama dalam melawan perubahan iklim dan mencegah kebakaran. Menghentikan deforestasi dan alih fungsi lahan yang tidak bertanggung jawab adalah langkah yang harus kita perjuangkan bersama.

PR Masyarakat sebagai Penyeimbang Pemerintah

Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar menteri kehutanan yang katanya hendak membuka 20 Juta Ha untuk ketahanan pangan.

“Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air,” ujar Raja Juli sebagaimana dikutip dari CNN.

Jika hal ini memang benar-benar akan dilakukan, kita perlu kritis dan melakukan pengawasan. 20 Juta Ha bukanlah luasan yang sedikit. Ini seluas 2 kali pulai Jawa dan 28 juta lapangan bola. Kita perlu mempertanyakan, bagaimana cara membuka lahannya, mau ditanami apa lahan itu, jangan-jangan dibakar? Siapa yang mengelola, jangan-jangan si korporat yang sudah terbiasa merusak lingkungan? dan untuk siapa hasil pengelolannya, jangan-jangan dikorupsi? Kita perlu memaklumkan “jangan-jangan” yang berkaitan dengan proyek besar pemerintah yang katanya dilakukan demi rakyat. Jika hal ini tidak diawasi dan dikritisi, dikhawatirkan akan jadi proyek gagal yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Bahkan kalau jadi pun bisa saja merusak dan merugikan.

Wallahu a’lam.