Fakta di Balik Saudi-Wahhabi Berkuasa dan Jejaknya (Bagian 1)

Fakta di Balik Saudi-Wahhabi Berkuasa dan Jejaknya (Bagian 1)

Bagaimana fakta di balik lahirnya Wahabi-Saudi?

Fakta di Balik Saudi-Wahhabi Berkuasa dan Jejaknya (Bagian 1)

Bagaimana sejarah kongkalikong Saudi-Wahhabi hingga menjadi ‘pusat’ Islam di dunia modern sekarang ini? Pertanyaan itu tampaknya yang mengusik dalam buku baru bertajuk Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah, dan Pergulatannya (Nur Khalik Ridwan, 2020).  Buku setebal 833 halaman ini tampaknya bakal menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami Wahhabi sebagai salah satu madzhab keagamaan (kalau boleh dibilang seperti itu) yang menyita banyak perhatian umat Islam, termasuk peneliti dan akademisi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya.

Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud untuk meresensi apalagi melakukan kritik atas karya luar biasa ini, tetapi sekadar menuliskan kesan sebagai bentuk apresiasi dan berbagi pengalaman saya dalam membaca fenomena Wahhabi dan keterkaitannya dengan kehidupan umat Islam Indonesia belakangan ini.

Buku babon ini, kalau boleh dibilang begitu, hadir di saat yang tepat. Karya ini hadir sebagai panduan untuk memahami Wahhabi sebagai akar Islamisme maupun di level tertentu radikalisme keagamaan kontemporer. Sebagai rujukan agar kita lebih waspada terhadap bahaya laten dari paham keagamaan ini. Bersebab kajian kritisnya, saya kira, tidak semua penerbit di Indonesia berani menerbitkan karya ini.

Jika sudah dikonsumsi publik lebih luas, terutama kalangan Wahhabi, saya meyakini karya ini akan menuai kontroversi dan tentu saja perdebatan-perdebatan dalam diskursus keIslaman kontemporer.

Kita, Mekah, dan Wahhabi

Globalisasi dan revolusi industri 4.0 memudahkan kita untuk menjelajah dunia dan mendekatkan kita pada situ-situs suci. Melalui media sosial, Ka’bah dan kota suci Mekah seakan sudah melekat dalam keseharian kita. Kemegahan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi beserta gedung-gedung menjulang yang mengelilinginya, termasuk Abraj al Bait, menara waktu terbesar di dunia mengalahkan Big Ben di London, menyihir umat Islam sedunia untuk segera berkunjung ke sana.

Para artis dan selebgram yang mengunggah gambar di media sosial saat berada di kedua kota suci itu semakin meneguhkan pesona Saudi Arabia dengan peninggalan Nabi Ibrahim ini. Bahkan, mengunjungi Ka’bah dalam rangka melaksanakan ibadah umroh kini telah menjadi bagian dari gaya hidup Muslim kelas menengah.

Ya, semua kemegahan itu dibangun dengan pondasi kekayaan Kerajaan Saudi Arabia sebagai negeri petro dolar dan didukung oleh madzhab Wahhabi yang memungkinkan penghancuran situs-situs bersejarah kedua kota suci itu. Sejarah Arab Saudi, sebagaimana termaktub dalam esai Gunawan Muhammad (2012), telah meruntuhkan kubah di makam Al-Baqi’ di Madinah pada 1925, menutup beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi, dan menghancurkan makam Siti Khadijjah, dan menjadikan petilasan rumahnya sebagai kakus umum. Wahhabi berdalih bahwa penghancuran itu sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat).

Nur Khalik Ridwan dalam karyanya juga mengupas secara detail bagaimana kolaborasi Dinasti Saud dan Wahhabi menggunakan kekuatan militer atas nama jihad melakukan serangkaian peristiwa berdarah dalam mendirikan kerajaan Saudi.

kerajaan Saudi didirikan di atas darah dan keringat panas kaum Wahhabi,  hujatan-hujatan para Wahhabi atas Muslim lain, dan darah-darah kaum Muslim yang dibunuh atas tuduhan bid’ah, kafir, dan tidak sudi tunduk pada Dinasti  Saudi ketika mereka mencoba untuk mendirikan kerajaan yang bisa menguasai   jazirah Arab (hlm. 29).

Fakta inilah yang disajikan oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku ini, yang tentu saja kehadirannya bukan  dalam rangka menebar kebencian. Justru buku ini karya ilmiah yang disusun dengan data-data tentang Wahhabisme, termasuk menyuguhkan argumentasi baik dari kalangan pembela maupun pengkritik Wahhabi.

Sebagai karya ilmiah, buku ini seolah menyerukan tantangan kepada siapa saja yang tidak setuju dan mengkritisinya untuk membangun dialektika pemikiran Islam sebagai bagian dari khazanah ilmu pengetahuan di negeri ini.

Hal ini akan terjadi jika seruan buku ini direspons dengan hadirnya karya serupa, bukan dengan ujaran kebencian, kutukan berlabel sesat, Syiah, Liberal, komunis, Kafir, dan lainnya yang sudah jenuh kita saksikan belakangan ini.