Ada setidaknya empat teori tentang asal orang-orang yang paling banyak berkontribusi dalam membawa Islam ke Nusantara, yaitu Gujarat-India, Persia, Arab, Champa-Cina. Tiap teori mengajukan dasar dan bukti; masing-masing dengan kekuatan argumen dan kelemahannya, yang sudah dijelaskan di buku-buku terkait. Kebanyakan dari penjelasan itu membahas soal bukti fisik (artefak, nisan), tradisi (peringatan kematian, seremoni di bulan-bulan tertentu, gelar para raja), genealogi ulama (silsilah Wali Sanga, hubungan diplomatik kerajaan-kerajaan, ide-ide seperti wahdatul-wujud), jalur perdagangan dunia abad pertengahan (komoditi, juga catatan perjalanan seperti tulisannya Ibnu Bathuthah), hingga istilah-istilah serapan. Namun ada satu hal yang rasa-rasanya kurang banyak disorot, yaitu kuliner.
Soal kuliner ini barangkali tak sekuat bukti fisik atau catatan perjalanan dalam segi argumentasi. Karena makanan tidak berkaitan langsung dengan agama. Tapi ia menarik, sebab kuliner adalah bagian dari tradisi. Atau paling tidak, ia bisa menjadi tambahan data untuk menyempurnakan peta jalur impor peradaban ke Nusantara, termasuk kedatangan Islam. Dan dari beberapa makanan yang layak disebut ialah apem dan martabak.
Dulu, dan masih bertahan di beberapa tempat hingga kini, apem adalah hidangan khas untuk acara-acara besar kraton, kenduri (di Jogja: “genduren”), juga slametan (seremoni yang disebut-sebut khas “Islam Nusantara” itu). Para kiai kampung biasanya bilang bahwa apem adalah kreasi para wali dan merupakan penyesuaian lidah Jawa dari kata Arab “afwun”, yang artinya maaf. (Sedikit informasi: Maaf kemungkinan diambil dari bahasa India; istilahnya sama, “maaf”. Sebagian Muslim di sini kadang lebih suka pakai “afwan” [yang dikira lebih Arab]. Padahal kalau dirunut-runut sebenarnya akar katanya sama. Dalam bahasa Arab ada kata “ma’fu” yang berarti “dimaafkan. Dalam fikih ada istilah “najis ma’fu” untuk najis yang ditolerir.)
Apem biasanya dihidangkan bersama ketan. Keduanya, kata para kiai kampung, mengandung metafor dan pesan moral. Bila apem berasal dari “afwun”, maka ketan berasal dari kata Arab “khatha’an”, yang artinya kesalahan. Maka ketan ditutup apem berarti simbolisasi dari kesalahan yang semestinya ditutup dengan pemaafan. Memaafkan tampaknya enteng, padahal sering tidak, terutama kalau urusannya sangat politis. Salah satu buktinya: sulitnya pemerintah kita untuk mengucapkan maaf dari negara secara institusional kepada ratusan ribu korban tak bersalah dalam tragedi 1965.
Tentang muasal apem, ujaran para kiai kampung itu memang sarat otak-atik-gatuk—yang saya kira tidak mengapa untuk kasus semacam itu; toh ia diniatkan untuk hal yang baik. Dan apem juga bukan kreasi orisinil para wali. Dari riset antropologis tentang muasal tradisi slametan dan kenduri, terduga kuat dari segi kesamaan istilah dan kemiripan komposisi makanannya bahwa tradisi apem berasal dari India, persisnya di kawasan Kerala, tetangganya Gujarat. Di Kerala, apem disebut “appam”. Dan di sana, selain jadi makanan populer, appam punya kekhasan dipakai untuk seremoni lintas keagamaan.
Di Kerala, appam digunakan untuk persembahan (offering; Hindi: nercha), menjadi bagian dari nivedyam, makanan yang dipersembahkan kepada dewa Hindu. Ia juga digunakan dalam perayaan paskah Kristen. Istilah untuk apem paskah adalah “pesaha appam.” Namun apem paskah ini disesuaikan dengan ajaran agama, yaitu tidak boleh beragi, sebagaimana aturan ‘fikih’ Kristen (juga Yahudi). Layak diketahui, Kerala adalah tempat komunitas Kristen Ortodoks yang meyakini bahwa ‘sanad’ ajarannya bersambung sampai ke Santo Thomas, satu dari 12 murid Yesus.
Di Kerala appam juga jadi bagian dari makanan yang dinikmati dalam perayaan haul para wali Islam. Istilah yang dipakai pun sama dengan istilah di sini untuk peringatan kematian, yaitu kanduri. Kata kanduri berasal dari bahasa Persia, yang artinya “tablecloth” atau taplak meja—jadi istilah ini punya keidentikan cukup kuat dengan perjamuan makan. Di India, kata kanduri tampaknya mengalami perluasan makna, menjadi upacara peringatan haul untuk orang-orang besar dalam Islam, terutama di makam para wali (dargah). Di Indonesia, kenduri bisa untuk orang besar maupun orang kecil. Layak diketahui, Kerala adalah tempat transit para pedagang Muslim dari Arab, khususnya Yaman, sebelum ke Nusantara. Para pedagang dari Yaman inilah yang membawa fikih mazhab Syafi’i dengan corak keagamaan yang sufistik berikut tradisi ke-habib-annya. Di Kerala ada kawasan bernama Malabar, nama yang mengingatkan pada penulis Fathul Mu’in, Zainuddin al-Malibari. (Fathul-Mu’in adalah kitab daras fikih mazhab Syafi’i yang hingga kini masih banyak dikaji di pesantren-pesantrean tradisional dan mutakhir dipakai dalam lomba baca kitab kuning oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam rangka Milad ke-18.)
Begitulah, tampak bahwa sejarah apem menguatkan “teori Gujarat” tentang muasal Islam datang ke Nusantara. Lebih dari itu, sejarah apem juga menandakan hubungan yang pluralis: ia dipakai lintas agama dan, lebih penting dari itu, kaum Muslim dulu terbuka untuk mengadopsinya dan mentradisikannya. Kalaulah kaum Muslim dulu bersikap eksklusif dan menganggap apem bisa merusak akidah karena itu berasal dari tradisi agama lain, tradisi Islam di Nusantara akan berwajah lain.
Sekarang, mari pindah ke martabak. Martabak berasal dari bahasa Arab, “muthabbaq”, yang artinya “dilipat, jadi berlapis”—dari akar kata yang sama, ada istilah “thabaqah” yang artinya tingkatan/level. Menurut informasi dari Simbah Wikipedia, martabak asalnya dari Yaman, di kawasan yang pada waktu itu punya populasi asal India, persisnya—lagi-lagi—dari Kerala. Di Kerala, kata itu mengalami amalgamasi, menjadi “mutabar”, dari kata “muta” yang artinya telur, dan “bar” yang artinya roti.
Lalu terbawalah muthabbaq/mutabar itu ke Nusantara. Hanya saja, berbeda dari apem, martabak tidak terkait dengan seremoni keagamaan. Tapi setidaknya, seperti apem, martabak turut menjadi penunjuk peta relasi peradaban di kawasan Samudera Hindia. Yang menarik di Indonesia, setidaknya dari yang saya tahu, ada dua jenis martabak. Yaitu “martabak telur” (yang digoreng dan diisi telor, daging, dan variasi bumbu-bumbu) dan “martabak manis” (yang dipanggang di wajan dengan cetakan khusus diolesi margarin lalu disi gula, coklat, susu, dll.).
Yang lebih menarik lagi adalah nama lain dari kedua martabak itu. Martabak telur kadang disebut “martabak Malabar”—yang mengingatkan kembali akan daerah Malabar di Kerala, India. Adapun martabak manis kadang disebut “apam balik”, karena ia hakikatnya adalah apem/appam cuma satu bagiannya dibalik, dilipat, dan jadilah berlapis. Dengan kata lain, martabak manis adalah apem yang “muthabbaq”, untuk membedakannya dari apem yang biasanya. Martabak manis atau apam balik inni juga punya nama lain lagi, yang lebih Nusantarawi, yaitu terang bulan. Disebut “terang bulan” karena bentuknya seperti bulan meski tidak purnama—dan karena itu menurut saya tidak terang-terang amat.
Tidak ada kaitan langsung antara martabak dengan kedatangan Islam ke Nusantara kecuali bahwa, seperti sudah dikatakan tadi, ia menunjukkan adanya hubungan perabadan dalam jalur Yaman-Kerala-Nusantara. Tapi perkenankan saya untuk menghubung-hubungkannya dengan memberi makna simbolis terhadap martabak ini. Anggaplah seperti otak-atik yang mengait-ngaitkan apem dengan afwun di atas.
Martabak adalah nama yang ekumenis untuk dua entitas yang berbeda di permukaan tapi punya esensi sama, yaitu martabak telur dan martabak manis. Keduanya berbeda dari cara dibuatnya (digoreng dan dipanggang) juga isi di dalam lipatannya (telur dan coklat/susu/pisang). Tapi esensi atau bahan utamanya sama: tepung terigu. Kedunya terhidang dalam bentuk yang punya substansi sama, yaitu dilipat-berlapis, dan karena aspek inilah keduanya sama-sama disebut martabak (muthabbaq).
Barangkali ada yang puritan dalam menyikapi ambiguitas (sinkretisme) martabak ini. Yang puritan itu ingin mengembalikan martabak ke manhaj asalnya yang masih murni dengan menamakannya martabak Malabar. Martabak yang ‘ortodoks’ adalah martabak telur. Diferensiasi ini penting demi memperingatkan umat dari penyimpangan yang dilakukan martabak manis. Martabak manis adalah suatu bi’dah karena ia pada hakikatnya adalah apem tapi kemudian dimasukkan ke dalam ‘agama’ martabak sehingga orang-orang mengiranya bagian sah dari ‘agama’ martabak. Umat harus diperingatkan bahwa di balik martabak manis ada agenda ‘apemisasi’ martabak. Bagi yang puritan itu, hal ini merupakan bahaya, sebab telah dikatakan bahwa sesiapa menambah-nambahkan sesuatu ke dalam agama, maka itu bid’ah, dan tiap bid’ah adalah sesat, dan tidak ada balasan untuk kesesatan kecuali masuk neraka.
Tapi yang terjadi, martabak meniru sikap pluralism apem. Kedua martabak itu bisa mempromosikan koeksistensi satu sama lain. Koeksistensi mereka sudah sampai tahap tak menyoal urusan nama: mau disebut martabak manis, apam balik, atau terang bulan—semuanya oke, yang penting maksud yang dituju adalah sama. Lebih dari sekedar koeksistensi, kedua martabak juga pro-eksistensi: sekarang ini di mana-mana di Indonesia, rata-rata orang jual martabak telur hampir pasti juga jualan terang bulan. Keberadaan keduanya dalam satu outlet malah saling menguntungkan: variasi menambah potensi pembeli. Yang membuat berbeda barangkali hanya ada satu-dua yang lebih laris dari yang lain. Tapi ini tak jadi soal, apalagi sampai dianggap menodai martabak yang lain. Martabak manis bahkan membebaskan penikmatnya untuk memilih mazhab di dalamnya: mau yang isi coklat, kacang, pisang, hingga durian—semuanya oke. Yang penting pada akhirnya adalah manfaatnya: enak dilidah, kenyang di perut.
Subhanallah, martabak ini memang keren sekali: Ia datang dari luar; menawarkan variasi dan keanekaragaaman; inklusif terhadap inovasi yang maslahat untuk umat; beradaptasi dan berani mengadopsi budaya lain demi peningkatan produktivitas; tak keberatan melakukan reformasi agar bisa bersaing dengan martabak varian lain atau kuliner jenis lain; juga rela berganti nama dan dipribumisasikan.