Alkisah, saat itu ada seorang pembesar Bani Umayyah yang bernama al-Hakam bin Abi al-Ash yang juga salah satu pimpinan Quraisy tertinggi meniru gaya berjalan Nabi Muhammad SAW dari belakang. Saat aksinya ini ketahuan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi langsung mendoakan agar cara berjalannya yang mengejek. merendahkan pribadi dan penghina nabi terus-menerus ia lakukan sampai mati.
Akhirnya al-Hakam bin Abi al-Ash yang merupakan ayah seorang Tabi’in besar sekaligus Khalifah keempat dari Bani Umayyah, Marwan bin al-Hakam, menerima akibat dari doa Nabi Muhammad SAW untuknya.
Konon dalam berbagai riwayat, ayah Marwan bin al-Hakam ini dijuluki juga sebagai La’in dan Tarid Rasul, artinya orang yang dilaknat dan diusir oleh Nabi Muhammad SAW. Konon al-Hakam bin al-Ash ini pernah diusir karena perlakuannya yang tidak hormat kepada Nabi dari Madinah ke daerah Thaif.
Kisah lain seperti yang diriwayatkan Imam Muslim dalam al-Jami as-Sahih-nya dan beberapa kitab hadis lainnya, ada seorang budak yang sedang hamil. Kerjaan si budak ini selalu mencaci maki Nabi Muhammad SAW. Akhirnya karena merasa kesal dengan kelakuan si budak perempuan ini, seorang sahabat Nabi yang buta, yang merupakan suaminya, membunuh istrinya yang bekas budak tersebut. Ketika peristiwa pembunuhan ini dilaporkan kepada Nabi, sang pembunuh tidak dihukum qishash. Dalam hadis tersebut, darahnya hadar atau sia-sia dan pembunuhnya tidak dijatuhi hukuman qishash.
Masih dalam sumber yang sama juga disebutkan bahwa ada seorang Yahudi wanita yang tabiat buruknya membuatnya untuk terus-menerus menghina Nabi Muhammad SAW. Akhirnya ada seorang sahabat Nabi yang membunuhnya karena geram terhadap wanita Yahudi tersebut.
Berdasarkan kepada dua riwayat terakhir, para ulama sepenuhnya sepakat dijatuhkannya hukuman mati bagi seorang muslim yang menghina dan mengejek Nabi Muhammad SAW. Bahkan ejekan dan hinaan terhadap Nabi ini telah membuatnya murtad dari Islam dan karenanya harus dibunuh. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taymiyyah dalam as-Saif al-Maslul dan al-Qadhi Iyadh dalam as-Saif as-Sharim.
Sementara itu, di kalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat jika yang melakukan penghinaan dan penistaan terhadap Nabi berasal dari kalangan non-muslim. Sebagian berpandangan tidak perlu dibunuh namun harus dita’lim agar hatinya tersentuh ajaran Islam. sebagian ulama lainnya memandang perlu dijatuhkan hukuman mati.
Hukuman yang diberikan kepada al-Hakam bin Abi al-Ash dan dua perempuan dalam cerita yang telah disebut di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan sanksi. al-Hakam bin Abi al-Ash karena hanya meniru cara berjalannya Nabi dengan gaya mengejek cukup dihukum dengan pengusiran dari Mekkah ke at-Thaif. Sementara dua wanita terlibat dalam pelanggaran berat, yakni pengejek dan penghina Nabi menjadi kebiasaannya.
Baca juga: Bolehkah Melakukan Kekerasan Terhadap Penghina Nabi? Tanggapan untuk Tengku Zulkarnaen
Selain itu, kemungkinan besar karena posisinya sebagai budak, apalagi budak perempuan di masyarakat yang masih dekat dengan era Jahiliyyah tidak ada harganya sama sekali, mereka dengan sangat mudah dibunuh dan tanpa dimintai pertanggungjawaban. Mungkin hal demikian juga berlaku bagi wanita Yahudi (?)
Kasus diusirnya al-Hakam bin Abi al-Ash dan tidak dibunuh seperti dua wanita tadi ini cukup menarik. Kemungkinan besar karena al-Hakam berasal dari Bani Umayyah, sebuah suku yang memiliki kedudukan tinggi di mata suku-suku Quraish lainnya, dan jika dibunuh sama saja dengan memantik api permusuhan, apalagi mempertajam pertikaian Bani Umayyah dan Bani Hasyim, pertikaian bersaudara yang terjadi dari sejak Jahiliyyah, maka dalam pertimbangan Nabi saat itu al-Hakam cukup diusir saja dari Mekkah ke Thaif dan ditambah dengan cap laknat dari Nabi (?).
Sekilas semua narasi kisah ini mengesankan akan kekejian sanksi yang dijatuhkan Nabi kepada para penistanya. Kita lihat juga secara kronologi waktu, semua sanksi tersebut terjadi ketika posisi Nabi sudah kuat, yakni ketika Nabi menjadi kepala negara di Madinah. Sementara itu, ketika posisi beliau masih lemah di Mekah, hinaan dan cercaan apapun tidak diladeni Nabi dengan serius. Ini dapat kita lihat dalam catatan sejarah ketika Nabi berdakwah di Mekkah dan Thaif . Sebagian penduduk dua kota ini mencaci, mencerca dan disertai dengan melempari batu terhadap Nabi. Namun lain halnya ketika posisi Nabi di Madinah.
Pergeseran ini cukup tajam dari Nabi pembawa rahmat (nabiyyur rahmah) di Mekkah menjadi Nabi pembawa senjata (Nabiyyul aslihah) di Madinah. Nabi memainkan strategi ganda bagi para penistanya, baik dari kalangan umatnya sendiri maupun di luar kalangan umatnya: pertama, membiarkan para penista Nabi dan kedua, menjatuhkan sanksi bunuh.
Bagaimana kita memahami semua peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab hadis otoritatif ini? Haruskah penghina Nabi dibunuh? Tentu jika kita melihat sekilas dan tidak mau menelaah lebih dalam, apalagi cara memahami agama di masa para ulama ini lebih banyak didominasi oleh pendekatan kebahasaan dan banyak mengabaikan aspek historisitas, kita akan berkesimpulan bahwa pembunuh Nabi wajib dibunuh. Kesimpulan ini sebenarnya terlalu tergesa-gesa. Sayangnya pandangan ini dipegang oleh mayoritas ulama klasik.
Bersambung ke tulisan selanjutnya.