Di momentum milad ke-75 Republik Indonesia (RI) yang dramatik ini, redaksi Islami mengirim reporter handal Rifqi Fairuz untuk melakukan wawancara kepada bangsa yang bersangkutan. Topik yang ingin kami gali adalah spesifik menanyakan “apa yang bikin Bangsa Indonesia bisa menang melawan penjajah waktu itu”.
Dengan kemampuan mbribik yang cukup ciamik, Fairuz mampu menggali fakta-fakta mengejutkan. Begini notulensinya:
FAIRUZ: Selamat pagi Bung Indo, bagaimana kabarnya?
INDONESIA: Badala!! Anda itu belum apa-apa sudah menanyakan pertanyaan sulit. Bagaimana mungkin saya akan mengatakan baik-baik saja, sedangkan kondisi yang sesungguhnya adalah remuk redam. Tapi gapapa anak muda, silakan… oh iya, mau minum apa?
FAIRUZ: Eh, anu, air putih saja.
INDONESIA: Luar biasa!!
Wawancara berlanjut.
FAIRUZ: Baik. Bung Indo, situasi seperti apa sih persisnya yang terjadi waktu itu? Katanya tentara Belanda begitu berjaya di mana-mana, sedangkan persenjataan kita sangatlah minim. Seberapa berani para pahlawan kita di masa lalu?
INDONESIA: Keberanian? Iya sih, keberanian mereka terakreditasi. Tapi percayalah, itu bukan satu-satunya faktor yang signifikan. Soalnya, orang-orang Bosnia juga terkenal pemberani, tetapi nyatanya Serbia terus menggempur dan bahkan menduduki wilayah mereka secara lebih luas. Padahal, persenjataan laskar kita waktu itu belum sehebat milisi Bosnia.
FAIRUZ: Lalu?
INDONESIA: Ya, ada sedikitnya dua hal yang jarang diketahui orang. Pertama adalah kekuatan rakyat, dan kedua adalah peranan kaum intelektual. Tapi, baiklah, kita bahas satu-satu saja.
Pertama-tama, mari kita bersepakat bahwa peran d/a pendekatan militer bukanlah satu-satunya kekuatan yang bikin hengkang para penjajah. Selanjutnya, jangan bayangkan bilamana TNI dulu adalah segebyar TNI hari ini yang didukung Menteri Pertahanan dengan anggaran belanja 117, 9 Triliun.
FAIRUZ: Maaf menyela. Tapi, bukankah dalam memoar Jenderal A.H. Nasution yang ia tuangkan dalam sekian bukunya mengatakan bahwa kepahlawanan kaum militer dan laskar bersenjata kita tidak perlu diragukan lagi?
INDONESIA: Tepat sekali. Hanya saja, seperti ikan dalam air (Indonesia mengutip Mao Zedong), laskar bersenjata itu tidak akan berkutik jika tidak disponsori oleh rakyat setempat. Dan memang itulah yang terjadi waktu itu. Seluruh logistik, pemukiman, permarkasan, akomodasi, perlindungan, dan persembunyian TNI serta laskar-laskar kita disediakan secara gratis oleh rakyat.
Maka, jika ada serangan atau patroli dari tentara Belanda, perintah resmi yang selalu dikumandangkan adalah: jangan ambil risiko!! Mereka bersenjata lengkap dan bukan tandingan untuk dihadapi persenjataan kita. Bagaimana mungkin prajurit dengan 10.000 peluru akan knocked out oleh prajurit dengan 10 peluru? Barulah ketika hari telah gelap, sementara mereka terlelap, gerilyawan boleh menembak.
Begitulah, taktik dan strategi gerilya memang kontras sekali dengan perang frontal yang seringkali diromantisasi lewat film-film menjelang HUT RI. Sehubungan dengan ini, segala skenario film dan sinetron tentang perang-perang kemerdekaan kita tampaknya harus direvisi, atau bila perlu ditinjau kembali dengan sorotan lebih kritis.
Itu satu, tentang ajaibnya kekuatan rakyat. Sayangnya, bil khusus peran rakyat desa yang menjadi pelindung dan pemasok logistik para tentara ini tampak tidak kena sorotan publik, apalagi politisi. Padahal, rakyatlah yang mati-matian mengorbankan segalanya.
Pasukan bersenjata, misalnya, bisa saja pergi begitu saja atau dipindahtugaskan dari desa, tetapi rakyat akan tetap tinggal di sana. Rakyat desa-lah yang menjadi bulan-bulanan pasukan NICA, ketika para penjajah gagal nguber tentara nasional.
Memang, kita sama-sama paham bila rakyat yang jumlahnya jutaan itu tidak mungkin diberi anugerah Bintang Gerilya, atau Bintang Mahaputera seperti mantan Wakil Ketua DPR baru-baru ini. Tapi sebetulnya, rakyat itu kelewat pantas atas kiprah yang pernah mereka buktikan.
Karenanya, bagi Anda Bung Fairuz, dan mungkin juga teman-teman Anda, kenanglah jasa-jasa mereka sekurang-kurangnya dalam hati.
Kedua, peran kaum intelektual dalam melepaskan rakyat dari jerat koloni. Ya, Anda bisa baca, umpamanya, keterangan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Di sana terjereng fakta bahwa dari sekian pemberontakan kaum tani menghadapi penguasa Belanda selalu berujung kegagalan. Hanya satu kasus yang menjadi pengecualian, yakni pemberontakan 17 Agustus 1945, ketika rakyat Indonesia yang 80% petani menyatakan diri mereka merdeka dari Belanda.
FAIRUZ: Oh… yaaa.. yaa, saya pernah baca.
INDONESIA: Apa yang Anda temukan?
FAIRUZ: Ada banyak kaum terpelajar yang terlibat di sana.
INDONESIA: Persis!!! Pemberontakan itu bisa sukses karena didukung, dimobilisasi, dikonsolidasi, diorganisir, dan dipimpin oleh orang-orang macam Soekarno, Hatta, Syahrir, Dewantara, Soedirman, Nasution, Soeryadarma, Adisutjipto, Nazir, Wahid Hasyim, Soekiman, Baswedan, Supomo, dan sedertan kaum intelektual lain, termasuk yang ningrat seperti Hamengku Buwono IX, Djatikusumo, dan lain-lain yang sebagian telah dinobatkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Poinnya adalah Indonesia bukan hanya tentara!! Kita harus lebih jeli melihat pengelolaan sehari-harinya: pada karyawan-karyawan pejuang seperti pamong-praja, dokter-dokter, perawat-perawat, guru-guru, ibu-ibu, dan seluruh barisan penegak ekonomi, tani, buruh, kepala pabrik, wartawan, seniman, dan sebagainya.
Sangatlah keliru bila ada yang beranggapan seolah-olah RI kita dulu berdiri dan dipertahankan hanya oleh senapan saja. Bahwa kemudian kita wajib menghormati peran kaum bersenjata dalam perjuangan RI, itu sepenuhnya benar.
Tetapi, naini, apa yang disebut negara, masyarakat, dan kebudayaan yang membuat bangsa lain yakin betul tentang eksistensi RI sebagai negara beradab adalah jauh lebih luas dan kompleks ketimbang komponen bedil atau granat.
FAIRUZ: Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari drama menakjubkan sejak Jepang datang sampai akhirnya RI diakui oleh dunia Internasional?
INDONESIA: Pertanyaan menarik. Kecerdasan dan, sekali lagi, kecerdasan manajemen suatu revolusilah kata kuncinya. Betapa tidak, dari yang mula-mula anarki, kita menjadi suatu bangsa atau nation dengan disiplin perjuangan yang benar, dan oleh karena itu kita mampu meyakinkan dunia yang sedang muak kepada segala bentuk perang dan kekerasan.
Jangan salah, kekalahan Belanda, kalau boleh terus terang, itu karena mereka memakai alat perang dan kekerasan sebagai medium berkuasa. Mereka terperangkap oleh strategi Perdana Menteri pertama RI, Sutan Syahrir yang meyakinkan Soekarno-Hatta tentang garis siasat yang futuristik dan berani, yakni: tunjukkan RI sebagai bangsa dan negara hukum yang teratur dan suka damai karena berkebudayan luhur.
Sebaliknya, Belanda justru terjerembab ke dalam siasat perang. Maka, jatuhlah dia. RI pun menang lewat kecerdasan terpelajar, termasuk intelegensi TNI dalam diri Jendral Sudirman yang kendati sempat menggerutu lantaran curiga pada segala bentuk perundingan dengan penjajah licik.
Memang, senapan terkadang penting untuk membungkam lawan yang rewel, akan tetapi dalam konteks perang menghadapi jejaring Internasional, kejayaan hanya akan berpihak pada bangsa yang cerdas dan berkebudayaan tinggi.
Tentara yang penuh dengan peralatan canggih sekalipun, apabila dipimpin oleh Jendral bodoh, tentu saja akan keok. Jadi, baik sipil maupun militer, aspek kecerdasan dan intelektual adalah syarat mutlak untuk menjadi berdikari.
Jadi, saya pikir cukup ya Bung Fairuz. Soalnya, saya ada janji dengan fase perang kemerdekaan dalam medan ekonomi, sosial, dan budaya. Kasian mereka telah mengantri, tapi belum sempat saya atasi.
Meski begitu, kalau Bung Fairuz tanya sekali lagi “apa yang dapat memenangkan Indonesia?” maka jawaban saya akan tetap sama: Kecerdasan bangsa!! Lebih dari itu adalah sikap kreatif dan eksploratif kita yang digenangi budaya tinggi.
Oiya, ngomong-ngomong logo HUT saya ke-75 ini temanya apa ya, Bung?
FAIRUZ: Kenapa?
INDONESIA: Bagaimana?
FAIRUZ: Dengan siapa?
INDONESIA: Di mana?
FAIRUZ: Di islami.co dong tentu saja. Atau, bila luang bisa cek di sini tentang polemik Logo HUT RI ke-75. Mwehehe…