Tahun Baru Hijriyah: Dari Gelap Penindasan Menuju Cahaya Kemerdekaan

Tahun Baru Hijriyah: Dari Gelap Penindasan Menuju Cahaya Kemerdekaan

Tahun Baru Hijriyah: Dari Gelap Penindasan Menuju Cahaya Kemerdekaan

Perayaan HUT RI dan tahun baru hijriyah terjadi dalam satu pekan pada tahun ini. Indonesia pada pekan lalu merayakan kemerdekaan yang ke 75 tahun, sementara umat Islam memperingati tahun hijriyah yang saat ini sudah memasuki tahun ke 1442.

Dua peringatan ini, HUT RI dan tahun baru hijriyah, adalah hari istimewa dan sering membuat kita kembali merenung dan menata langkah untuk masa depan. Seperti umumnya kita peringati tiap tahun, kemerdekaan selalu menjadi momen untuk kita semua menanyakan kembali makna kemerdekaan dan mengingat-ingat jasa pahlawan yang turut memerdekakan negara Indonesia. Sementara tahun baru selalu menjadi momen yang pas untuk berevaluasi setahun ke belakang dan membuat resolusi untuk langkah setahun ke depan.

Makna Kemerdekaan

Ketika kita membicarakan tentang siapa tokoh yang paling memperjuangkan kemerdekaan manusia, saya kira Nabi Muhammad SAW adalah salah satu tokoh yang pas untuk selalu dikupas perjuangan-perjuangannya.

Sejak awal kita berkenalan dengan beliau, kita sudah ditunjukkan beragam gebrakan revolusioner yang beliau perjuangkan. Salah satu yang paling sering kita dengar adalah terobosan perjuangan beliau memerdekakan perempuan yang terdiskriminasi di kala itu.

Masa pra-Islam menjadi saksi beragam tindakan yang sangat jauh dari kata merdeka untuk kaum perempuan. Perempuan saat itu diperlakukan serupa benda yang bisa dijual, dikoleksi dan ditawan. Salah satu contoh paling tragis yang menimpa kaum perempuan saat itu adalah kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir. Tidak lain dikarenakan bayi perempuan dianggap membawa sial, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan nasib bayi laki-laki yang dianggap pembawa keberuntungan dan kehormatan.

Persepsi nasib sial yang melekat pada kelamin manusia ini kemudian diubah total oleh Nabi Muhammad dengan menjadikan anak bayi yang lahir dengan kelamin apapun dianggap suci dan setara.

Selain kisah-kisah perjuangan beliau, kita juga bisa menemui resolusi kemerdekaan yang diperjuangkan Nabi Muhammad melalui ayat-ayat yang diturunkan Allah.

Dalam sebuah webinar yang dihelat komunitas GUSDURian beberapa waktu lalu yang mengupas tentang memaknai kemerdekaan, Kiai Husein Muhammad menjelaskan makna kemerdekaan dengan melakukan tafsir pada ayat pertama surat Ibrahim. Yang menurut Kiai Husein, ayat ini berisi cita-cita kemerdekaan yang selalu dibawa Nabi Muhammad.

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ بِاِذْنِ رَبِّهِمْ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِۙ

Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad), supaya engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

Dalam surat itu terdapat kata dzulumat yang secara harfiah bermakna kegelapan. Frasa kegelapan dalam ayat itu memiliki dua makna, yakni kebodohan dan penindasan. Sehingga kalau ditilik dari beragam sisi, perjuangan Nabi Muhammad memerdekakan umatnya adalah sejatinya perjuangan beliau mengentaskan umat dari kebodohan dan kejamnya penindasan.

Dalam hal mengentaskan kebodohan, beliau mengajari dengan sangat penuh welas asih dan tak main menang-menangan sendiri. Bahkan dalam urusan yang berada di luar konteks kegiatan beragama, semisal budidaya kurma, beliau dengan rendah hati mengakui bahwa petani kurma yang sudah bertahun-tahun berkebun tentu lebih paham. Ini bukti bahwa beliau menghargai segala ilmu yang datang dari sisi manapun. Beliau tidak memonopoli kebenaran, selain juga mau berdiskusi dengan musuh yang culas sekalipun.

Ini semua bertujuan untuk menguji dan mengasah keilmuan. Selain itu beliau juga sekaligus mengajari umat agar terentaskan dari kebodohan. Hingga di masa-masa berikutnya, Islam benar-benar menjadi episentrum keilmuan dunia karena semangat agama ini yang sangat dialektis.

Dalam segi kontra penindasan, saya kira cara hidup beliau yang monogami dengan Khadijah di tengah kondisi masyarakat yang sangat poligami adalah sebuah citra jelas dalam perjuangan melawan penindasan yang dialami perempuan saat itu. Selain perjuangan untuk perempuan, Nabi Muhammad juga banyak melakukan terobosan besar semisal dalam dunia ekonomi dan juga pengentasan perbudakan.

Masih dalam ayat yang sama, Kiai Quraish Shihab memberikan tafsir pada terma cahaya dan gelap. Beliau menyebut bahwa kegelapan itu tunggal, sementara cahaya itu beragam.

Maksudnya begini, kegelapan itu jenisnya cuma satu, gelap ya sudah hanya gelap. Ruang gelap artinya ruang yang sama sekali tidak ada cahaya yang eksis. Ketika ada segaris cahaya yang masuk di ruang yang gelap, itu artinya ruangan itu sudah bergerak menuju cahaya.

Kemudian cahaya yang beragam itu berarti cahaya memiliki level-level. Ruang gelap dibanding ruang dengan segaris cahaya tentu lebih terang ruang dengan segaris cahaya. Namun ruang segaris cahaya akan menjadi gelap saat dibanding dengan ruang dengan bohlam 10 watt, dan bohlam 10 watt akan jadi gelap ketika dibanding bohlam 40 watt, dan begitu seterusnya.

Artinya, perjuangan menuju cahaya kemerdekaan itu selalu tumbuh dan berkembang.

Refleksi Kemerdekaan

Dua cita-cita besar yang diperjuangan Nabi Muhammad kiranya masih sangat relevan untuk kita teruskan perjuangannya saat ini. Bagaimana tindak penindasan juga masih sering kita temui dan kebodohan juga masih ada.

Tepat sebelum peringatan HUT RI ke-75 pun kita juga menemui beberapa tindak penindasan. Seperti yang dialami kaum perempuan dan perjuangan hak asasi manusia. Kasus saling lapor karena merasa dilecehkan dan menyeret musuh debat dengan pasal karet UU ITE juga makin jamak kita temui.

Kebodohan juga saat ini masih ditemui. Contoh paling dekat dengan kita tentu respon pada pandemi virus corona, krisis yang menimpa semua umat manusia. Kebodohan itu terlihat dari perilaku beberapa orang yang memundurkan pengetahuan sejauh 100 tahun. Abad ke 21 ini, kita sudah punya beragam alat yang jauh lebih canggih dan lebih siap menghadapi wabah dari abad 20 silam saat manusia menghadapi flu Spanyol.

Saat flu Spanyol merebak, teknologi kesehatan memang masih dalam level yang seperti itu. Sehingga perlu bertahun-tahun untuk manusia bisa kebal pada virus flu Spanyol dan mengandalkan herd immunity, sekali lagi hal ini karena teknologi kesehatan masih di level itu. Aneh rasanya kalau ada manusia yang hidup di abad 21 tapi pola mitigasi bencananya perpola seperti abad 20. Saat sudah ada beberapa negara lain yang memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk mengendalikan virus corona, tetapi di sini malah diam-diam ingin herd immunity dan berharap-harap cemas vaksin segera datang. Sebuah peredupan “cahaya kemerdekaan” satu abad ke belakang.

Yang perlu kita wujudkan saat ini adalah kemerdekaan yang sejati, cahaya yang sejati. Bukan cahaya bukan-bukan atau seolah-olah cahaya. Kita perlu mewujudkan kesetaraan yang real, bukan hanya kesetaraan yang manis di bibir. Kita perlu mewujudkan pengentasan kebodohan yang real, bukan kecerdasan yang terbungkus seolah-olah.

Selamat tahun baru hijriyah. Mari merdeka, mari menuju cahaya.