Kebetulan, saya sedang membaca Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2017) karya Fernando Báez. Di sana diceritakan, saat kecamuk Perang Dunia II, Joseph Goebbels selaku kepala Kementerian Penerangan dan Propaganda Jerman telah membumihanguskan hampir semua produk budaya bangsa Yahudi, terutama buku dan kitab suci.
Sebagai elite Nazi saat itu, membenci Yahudi sampai akar-akarnya adalah sebuah kebanggaan. Goebbels tak hanya membakar jutaan buku, ia juga membakar sinagoge, melarang musik, karya seni, hingga menutup akses para penulis Yahudi untuk datang ke perpustakaan, termasuk filsuf Edmund Husserl salah satunya.
Sisanya kita sudah tahu, Hitler yang kemudian turun tangan dalam melakukan Holocaust, pembunuhan masal yang sama kejamnya dengan aksi Goebbels dalam membakar buku secara masal, atau yang dikenal sebagai Bibliocaust.
Saya katakan kebetulan, karena belum tuntas merasakan merinding atas kebencian bodoh para fasis, saya menemukan kabar bahwa di Prancis terjadi penyerangan bermotif anti-semit yang terjadi belum lama ini.
Menurut laporan BBC, peristiwa itu terjadi di sebuah sinagoge Yahudi di Strasbourg. Para anti-semitis merusak situs memorial yang dulu dibangun untuk memperingati kebiadaban para Nazi yang membakar sinagoge mereka. Dalam situs tersebut tertulis, “Ici s’elevait depuis 1898 la synagogue de Strasbourg incendiee et rasee par les Nazis le 12 septembre 1940” (Di sini berdiri sejak 1898 sinagoge Strasbourg yang dibakar dan dirusak Nazi pada 12 September 1940).
Melihat ini semua, kita bisa menyebutnya sebagai ironi yang berlipat-lipat. Bagaimana tidak, ada sebuah situs peringatan yang didirikan untuk mengingat kebodohan berupa perusakan rumah ibadah oleh sebuah kelompok di masa lalu, lalu sekarang dirusak kembali oleh kebodohan yang sama. Artinya, ada sebagian dari peradaban manusia yang tidak bergerak maju, melainkan jalan di tempat. Masih banyak orang yang enggan belajar dari sejarah.
Jika kita mau menengok ke belakang, perusakan situs Yahudi tersebut sebenarnya merupakan salah satu rangkaian kejadian dari gelombang anti-semitisme di Prancis, atau bahkan di Eropa. Anti-semitisme sendiri secara literal merujuk pada kebencian terhadap agama-agama samawi, atau yang lebih kita kenal sebagai agama-agama abrahamik, yaitu Islam, Kristen, dan Yudaisme. Namun dalam perkembangannya, terjadi reduksi besar-besaran dalam pengertiannya. Hal ini dipengaruhi oleh kepentingan politik yang terjadi dari waktu ke waktu.
Romi Zamran menceritakan baik sekali tentang term ini. Dalam bukunya, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia-Belanda (2018), ia menyampaikan bagaimana bergulirnya reduksi makna itu berlangsung, hingga saat ini anti-semitisme selalu diidentikkan dengan anti-Yahudi an sich.
Hal ini yang kini diamini di Eropa. Sebulan sebelum perusakan situs memorial Yahudi di Strasbourg, sebuah komplek pemakaman Yahudi di Quatzenheim, sebuah komune di timur laut Prancis, juga dicorat-coret oleh orang tak dikenal. Vandalisme itu berupa gambar swastika (yang dulu dipakai Nazi) dan slogan-slogan anti-semit yang disemprotkan di batu nisan. Insiden ini sampai mengundang presiden Prancis, Emmanuel Macron untuk datang mengunjungi lokasi.
Macron menyatakan tekad bulatnya untuk memerangi gerakan anti-semitisme dalam segala bentuk. Sudah pasti, itu yang seharusnya ia ucapkan. Anti-semitisme di Prancis sama berbahayanya dengan sentimen kesukuan di negara-negara Afrika atau sentimen keagamaan di Indonesia. Mengingat Prancis merupakan negara yang memiliki komunitas Yahudi terbesar di Eropa hingga mencapai 550.000 orang, di samping komunitas Muslim terbesar pula tentunya. Menjaga keberagaman dari sentimen dan kebencian antargolongan adalah PR besar bagi Macron dan masyarakat di sana.
Tidak hanya Prancis yang mempunyai masalah besar anti-semitisme, negara-negara Eropa lain seperti Jerman, Belgia, Inggris, Belanda, Polandia, dan Swedia sama halnya. Semua negara tersebut memiliki satu kesamaan buruk, yaitu peningkatan jumlah statistik atas gerakan anti-semitisme setiap tahunnya.
Di Jerman katakanlah, beberapa kasus penyerangan terhadap orang-orang Yahudi mayoritas dilakukan oleh kelompok ekstrem sayap kanan dan muslim konservatif. Gerakan politik sayap kanan yang menginginkan “pemurnian” dari kelompok lain, kini memang tidak bisa disangkal peningkatannya yang tajam di Eropa. Tidak hanya pada kelompok Yahudi, para ekstrem kanan, yang sebagian bahkan menamakan dirinya neo-Nazi, terang-terangan membenci kelompok imigran. Atas nama ideologi dan kepercayaan politik, kelompok ini sebenarnya sedang mengancam eksistensi kemanusiaan.
Sangat disayangkan bagaimana gerakan ekstrem kanan ini melakukan aksinya. Tapi lebih disayangkan lagi jikalau kelompok muslim juga turut ambil bagian dalam misi kebencian ini. Muncul paradoks kemudian, jika dogma agama yang mengajarkan kedamaian lalu dijadikan pijakan untuk membenci kelompok yang sebenarnya kita tidak benar-benar tahu apa kesalahannya.
Akhir tahun lalu, di Swedia terjadi insiden penyerangan terhadap kelompok Yahudi, yang sebenarnya sangat tidak perlu terjadi. Tepatnya ketika tiga laki-laki asal Timur Tengah melemparkan bom bensin ke sebuah sinagoge di Gothenburg, ketika anak-anak muda di sana sedang mengadakan pesta. Serangan itu terjadi setelah Presiden AS, Donald Trump mengumumkan bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Saya tidak mengatakan tiga laki-laki berbangsa Arab itu adalah Muslim. Bisa jadi mereka beragama lain. Lagipula sangat memungkinkan jika aksinya dilandasi oleh keberpihakan politik terhadap Palestina, misal. Tapi apapun identitas mereka, apa yang telah dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang benar dan tepat sasaran. Saya bisa memahami, dalam kasus terkait dukungan kita terhadap Palestina, baik atas nama kemanusiaan, politik, atau agama sekalipun, masih banyak orang atau kelompok yang melakukannya dengan cara salah.
Apa yang terjadi di Gothenburg mengingatkan saya pada insiden yang terjadi di Surabaya tahun 2009 silam. Ketika sekelompok massa menyerang sinagoge Beith Shalom tidak lama setelah terjadi penyerangan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Ormas intoleran tersebut tidak tahu harus protes ke mana dan siapa, mengingat tidak ada kantor kedutaan besar Israel di Indonesia.
Namun, logika yang sudah tertimbun kebencian itu menggiringnya untuk menyerang sekelompok umat beragama yang dilindungi konstitusi dalam berkeyakinan, sehingga mengalami kerugian materiil, psikis, dan paling utama telah mencoreng nilai-nilai pancasila yang (katanya) telah menjadi ideologi bernegara kita.
Kebencian memang tidak bisa hilang sama sekali. Tapi kita bisa menekannya secara kolektif sampai pada titik terendah. Baik negara-negara Eropa maupun Indonesia, masih perlu belajar banyak dalam melawan musuh bersama ini. Yahudi, imigran, minoritas, atau kelompok rentan lain hanyalah objek temporer dalam medan kebencian ini. Kita tidak akan pernah tahu, ketika zaman berubah, siapa yang akan menjadi korban selanjutnya jika kebencian dan sentimen ini terus bergulir. Bisa saya, Anda, kelompok saya, kelompok Anda, atau keluarga kita semua. Siapapun itu, tidak ada yang pemenang di antara kita. Tapi yang pasti, kekalahan telak ada pada kemanusiaan dan kita semua sebagai manusia.
Mohammad Pandu; esais; menyukai buku, film, dan isu-isu kemanusiaan; sekarang sedang aktif di Komunitas Santri Gus Dur Yogyakarta