
Herri Pras adalah content creator sekaligus pendiri perguruan Pencak Silat Garuda Indonesia (PSGI) asal Jember. Lewat akun youtube @herripras yang telah diikuti satu juta orang lebih, ia sering membuat content berisi komentar terhadap sejumlah tokoh agama, ormas, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bisa dibilang kurang positif bagi Islam.
Tidak jarang komentarnya bersitegang dengan kelompok lain. Misalnya pada 3 Juli 2023 M, ia sempat dilaporkan polisi oleh wali santri al-Zaytun atas tuduhan pesantren sesat yang dilontarkan. Di banyak video yang ada, Herri mengaku sebagai warga salafi, dan komentar yang diberikan juga bersumber dari ajaran ormas tersebut. Penulis akan membaca kiprahnya dengan aturan bermedia sosial karya Ustadz Firanda Andirja, seorang dai salafi.
Fiqih Bermedia Sosial Firanda Andirja
Paper berjudul Fiqih Bermedia Sosial karya Firanda Andirja merupakan buku digital berjumlah 48 halaman yang memuat tuntunan bermedia sosial bagi umat Islam dengan manhaj salaf. Tulisan tersebut hasil transkrip dari ceramah berdurasi 1 jam 27 menit yang diunggah di channel youtube @FirandaAndirjaOfficial pada 2 Oktober 2018 M.
Buku dibuka dengan anjuran manajemen waktu, kegiatan dan menggunakan gadget perspektif hadis dan al-Qur’an. Menurutnya, satu contoh musibah digitalisasi adalah adanya orang saleh dan dai yang gemar pamer seluruh aktivitas baiknya agar terkenal. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ‘al-Khafi’ dalam HR. Muslim 4/2277 justru lebih disenangi Allah, yakni sikap yang bahkan kebaikannya tidak ingindiperhatikan orang atau ditampilkan (hal. 3-19).
Pahala amal baik yang disembunyikan lebih besar pahalanya ketimbang ditampilkan. Sehingga meski tujuannya baik, tetap harus disembunyikan. Alasannya, sebab itu dekat dengan riya’ dan ujub, termasuk musibah, yakni adanya content kreator yang gemar menyebarkan hoax, mudah menyalahkan, serta gemar mengomentari permasalahan agar mendapat followers. Sebab, masalah ada juga yang perlu diskusi berbulan-bulan untuk menemukan solusi (hal. 21-23).
Ustadz Firanda menjelaskan, ada 9 hal yang harus dilakukan saat bermedia sosial. Yakni: niat baik, telaah yang baik, mengingkari kemungkaran, tidak mencaci, tidak pamer semua kebaikan, tidak mengeluh, akun palsu dilarang, tidak menghabiskan waktu melihat aib orang dan hal haram lainnya, dan terakhir to the point (ha. 25-46).
Herri Pras, Konflik Sosial dan Anomali
Disebutkan Adi Fathan (2025), bahwa ia kerap memberi komentar miring pada tokoh-tokoh penting seperti ustadz Adi Hidayat, ustadz Abdul Somad, Gus Iqdam, Habib Ja’far al-Haddar, dan Guru Sekumpul.
Komentar itu faktanya memicu konflik tidak langsung di ruang digital. Jika ditelusuri, akan banyak jejak digital debat kusir Herri dengan para muhibbin (fans) tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, konflik yang terbawa pada dunia nyata seperti klasifikasinya atas komentar pada kalangan ansor dan KH. Azaim Situbondo sebagaimana diunggah @santrehsumenep di youtube 5 bulan lalu. Serta masih banyak klarifikasi lain dengan tokoh yang berbeda.
Ini menunjukan jika ia tidak menggunakan cara dan telaah yang tidak baik saat berkomentar, yang malah cenderung menyudutkan. Jika berpatok pada aturan Ustadz Firanda Andirja, Herri juga malah menyimpang dari larangan mengeluh di media. Misalnya saat mengeluhkan persekusi muhibbin KH. Azaim pada video yang diunggahnya pada 19 Agustus 2024 M. Ia bahkan menolak meminta maaf langsung pada orang yang dikomentari. Dari larangan menampakkan kebaikan, Heri juga tidak patuh. Misalnya dalam komentar pada Ustadz Nuruddin pada 16 Jan 2025 di channel pribadinya.
Bisa dibilang Herri hanya menerapkan poin niat baik, mengingkari kemungkaran, tidak menggunakan akun palsu, dan barangkali to the point. Sebab ia juga menghabiskan waktu melihat aib orang lain dari rentetan konflik yang terjadi. Banyak yang ditinggalkan dari manhaj salaf bermedia sosial yang dianjurkan, sehingga ini lebih terlihat sebagai musibah digital sebagaimana sebutan Ustadz Firanda atas perbuatan yang hanya mencari sensasi.
Simpulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upaya penyiaran pendapat dengan selalu menyalahkan pendapat orang lain atas maksud agar diikuti disebut propaganda. Narasi menggebu-gebu yang Herri tampilkan dalam mengomentari hal tidak sejalan dengan kelompoknya terlihat sebagai supremasi. Ia terus mengulangi itu meski memicu konflik dan rentetan klasifikasi sebagai bentuk resonansi (Kunandar, 2017: 287).
Herri Pras seperti tengah melangsungkan eksistensi diri dalam rumpun pengkaji Agama. Meski bisa dipandang sebagai kebebasan berpendapat dalam eksistensialisme, konflik digital yang tidak sedikit serta cara yang tidak dievaluasi membuat ini justru mengarah pada konteks lain. Sebab menurut Rollo May, eksistensi merupakan kesadaran diri yang akan membuat individu bebas dari pengaruh non-manusia dalam berperilaku (Hermawan, 2021:19). Atau menurut Yunus (2011:272), eksistensialisme Jean Paul Sartre bertumpu pada kebebasan bertindak, sejauh tindakan itu bermanfaat bagi hidup dan masa depannya. Alih-alih demikian, Herri dalam hal ini justru mendekatkan diri pada konflik.
Sayangnya, secara algoritma, konten mereka justru lebih banyak memiliki penonton dan followers. Di kepala penulis, hal ini menandakan adanya animo masyarakat atas komentar-komentar Herri, sehingga ia mendapat ruang dan panggung dari kekosongan itu.
Wa Allāhu a’lam.
Referensi
Firanda Andirja, Fiqih Bermedia Sosial (t.n.p, 2019)
Firdaus M. Yunus, “Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre” Jurnal Al- Ulum,
Vol.11, No. 2, (2011)
Ucep Hermawan, “Konsep Diri Dalam Eksistensialisme Rollo May” Jurnal Jaqfi, Vol. 6, No. 1, (2021)
Adi Fathan dalam “Heri Prass, Pengkritik Ulama yang Kontroversial” (kompasiana.com, 1/01/2025)
Alip Yog Kunandar, Memahami Propaganda: Metode, Praktik, dan Analisis (Yogyakarta: Kanisius, 2017)