Anjay… Begini Loh Analisis ‘Kata Anjay’ dalam Ilmu Pragmatik & Kenapa Diributkan Publik

Anjay… Begini Loh Analisis ‘Kata Anjay’ dalam Ilmu Pragmatik & Kenapa Diributkan Publik

Jadi, bagaimana muasal kata anjay yang lagi ramai ini?

Anjay… Begini Loh Analisis ‘Kata Anjay’ dalam Ilmu Pragmatik & Kenapa Diributkan Publik

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait sedang apes. Tentu dia tak pernah menyangka bahwa niatnya agar orang-orang tidak lagi membully dengan kata “Anjay”, malah berbuah bully-an bagi dirinya. Ketua Komnas PA itu justru dibully dengan anjay.  Jika tidak mengemban tugas mulia sebagai Komnas PA, mungkin saja sudah misuh-misuh itu orang: Anjay betul!

Parahnya lagi, banyak yang mengaitkan pendapatnya dengan persoalan logo Djarum di audisi bulutangkis tahun lalu. Padahal kita tahu, Komnas PA berbeda dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Yang menyoal logo Djarum itu KPAI, lembaga negara. Sedangkan Komnas PA adalah lembaga independen.

Komnas PA dulu terkenal karena keberadaan idola kita (anak-anak angkatan 90-an), Kak Seto Mulyadi. Arist sendiri di masa kak Seto adalah Sekretaris Jendral selama tiga periode. Lalu sejak 2010, Arist menjabat sebagai ketua. Ini perlu saya sampaikan untuk menunjukkan kompetensi dan pengalaman dari sosok yang sedang ramai dibicarakan itu.

Melalui tulisan ini saya hendak memberi dukungan sekaligus kritik pada Komnas PA.

Pertama, kita mesti adil dan jujur dalam membedah pendapat seseorang. Arist di sejumlah media sudah menjelaskan bahwa anjay yang dia persoalkan adalah yang mengandung unsur bullying. Ada unsur merundung orang lain secara terus-menerus di situ.

Sedangkan anjay sebagai ungkapan kekaguman tidaklah masalah. Artinya jika Anda melihat Mo Salah mencetak gol dengan solo-run yang aduhai lalu teriak “anjay”; itu tak jadi soal. Tak hanya itu, bahkan sebutan anjay kepada seorang sahabat yang telah lama tak berjumpa juga tidak masalah. “Ketika dua sahabat berjumpa dan menyapa dengan teriakan menggunakan kata-kata kotor, kemudian disambut dengan gelak tawa, maka adegan dan sapaan itu tidaklah bentuk kekerasan”, ujarnya.

Yang jadi soal adalah jika secara terus-menerus merundung orang dengan kata anjay, sebuah sebutan pengganti salah satu binatang itu. Yang demikianlah yang masuk kategori kekerasan verbal dalam rilis media Komnas PA.

Mengenai ini, dalam ilmu linguistik dikenal sebuah cabang ilmu yang disebut pragmatik. Dia membahas soal kaitan antara kata dengan konteks. Ada yang disebut dengan konsep implikatur (implied meaning), yaitu makna ungkapan yang tidak tercermin dalam kosa kata secara literal. Anda bisa merujuk buku Stephen C. Levinson (1983) atau George Yule (1996) dengan judul yang sama: Pragmatics.

Ujaran manusia secara umum bisa dipilah menjadi tiga bagian:

Pertama: manusia berujar sesuai apa yang dimaksud; Kedua: memiliki maksud melebihi apa yang diujarkan; Ketiga: memiliki maksud yang berlawanan dengan apa yang diujarkan. Bagian kedua dan ketiga inilah yang bisa kita sebut sebagai implikatur.

Contoh yang paling mudah adalah kata “gabut” alias gaji buta. Pada awal mulanya kita gunakan gabut untuk menyebut tindakan yang effortless tapi dibayar. Atau dibayar tapi tidak ngapa-ngapain. Misalnya lihat tukang parkir Indomaret yang duduk-duduk saja. Tidak mengarahkan parkir, tidak merapikan, tidak menyeberangkan jalan, tidak bantu narik kendaraan dari parkir; tahu-tahu mak bedhunduk mungut dua rebu perak. Karena kesel kita sebut dia: magabut! alias makan gaji buta.

Namun, belakangan keanehan terjadi. Melihat satpam di sebuah sekolah yang dengan telaten menata motor berdasar merk dan warna, sejumlah netizen muda memuji: wah gabut bener nih satpam, segitunya menata motor! Hla kok malah berlawanan maknanya?

Bukankah kerjaan si satpam tadi justru penuh effort? Kok disebut gabut? Maksudnya mungkin dianggap saking tidak ada kerjaan, si satpam jadi sempat menata motor dengan skema yang sophisticated kayak gitu. Namun kita jadi tahu bahwa makna gabut telah berubah menjadi sebaliknya.

Begitupun dengan anjay. Maksud awalnya pasti untuk misuhi orang. Daripada anjing yang kesannya kok kasar banget, diperhalus dikitlah dengan anjay. Seiring perkembangan waktu, anjay tidak hanya untuk misuhi orang sekarang ini. Sebaliknya, dia justru jadi simbol kekaguman atau keakraban. Persis dengan bagian ketiga dari pembagian ujaran manusia di atas.

Untuk diketahui, gejala seperti ini tidak hanya terjadi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab dialek Libya, sejumlah orang bahkan mengungkapkan kekaguman akan sesuatu dengan kalimat “Qatalaka-Allah” alias secara harfiah: Tuhan Membunuhmu! Lagi-lagi ini masuk kategori ketiga ujaran manusia, yaitu memiliki maksud berlawanan dari yang diujarkan. Menurut Mahmud Nahlah, dalam lingkup linguistik Arab, hal demikian biasa disebut dengan al-istilzam al hiwari.

Dari koridor ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa pendapat Arist Merdeka Sirait yang merinci anjay menjadi beberapa konteks; itu sudah tepat dari perspektif pragmatik. Kita dudukkan itu dulu sesuai porsinya.

Kekeliruan Arist adalah kenapa dia mau-maunya disetir oleh desakan Youtuber macam Lutfi Agizal? (Sebenarnya disebut Youtuber-pun belum, sebab subscribersnya masih tergolong sedikit). Kita perlu tahu bahwa persoalan anjay ini muncul karena dibahas Lutfi di channel Youtube-nya. Tidak hanya membahas, Lutfi juga mengadukan anak yang memakai kata “anjay” ke lembaga negara KPAI. Baru disusul dengan rilis media dari Komnas PA yang belakangan ramai.

Mengapa itu keliru? Sebab ada berapa ratus kata yang bermetamorfosis seperti anjay? Belum ditambah khazanah misuh dalam bahasa daerah. Jika mau diurai satu-satu, apa tidak keriting sang juru ketik Komnas PA?

Apalagi gejala sebaliknya juga terjadi. Maksud saya, ada begitu banyak kata-kata halus yang dipakai untuk bullying. Jika Anda menonton film pendek berjudul “Anak Lanang” (2017), yang diproduksi oleh Ravacana Films (rumah produksi yang juga menelurkan film pendek “Tilik”), Anda akan tahu adegan tak senonoh di atas becak.

Yaps, merundung dengan kata yang paling mulia di muka bumi: nama ibu kandung! Dartinah, Sarti, Dartinah, Sarti! Begitu terus sampai becaknya nyugsep. Tentu makna perundungan ini tidak tercermin dalam kosa kata secara literal. Ini realita dan marak di mana-mana. Sejak masa saya kecil dulu malah.

Jadi menurut saya, cukupkan rilis media Komnas PA pada larangan perundungan. Tidak perlu memerinci kata per kata. Kecuali memang lagi demen buang-buang waktu. Kalau gitu sih, anjay betul!