Dalam sebuah rekaman pengajiannya yang diunggah oleh channel Santri Gayeng, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengisahkan betapa Allah mencintai para pekerja, sekalipun mereka tidak mampu shalat jamaah sebab pekerjaannya.
Gus Baha mengisahkan sebuah riwayat hadis, bahwa suatu saat, Nabi Muhammad SAW sedang mengajar sahabat-sahabatnya di teras masjid. di tengah pengajian itu, ada seorang pemuda dengan santainya melewati jamaah pengajian. Pemuda tersebut diketahui memikul cangkul, menunjukkan dia adalah pekerja.
Salah satu sahabat yang ekstrem langsung naik darah dan mengomentari: “Sial betul pemuda itu! ada Rasulullah sedang memberi pengajian, dia lewat saja! Bukannya berhenti dan ikut ngaji malah jalan saja. Celakalah dia!”
Seorang sahabat tersebut lantas diingatkan oleh rasulullah SAW: “Jangan kamu berkomentar seperti itu! Dia itu bekerja bisa saja supaya tidak meminta-minta. Itu adalah sunnahku.”
Rasulullah melanjutkan, “Atau dia bekerja untuk keluarganya, untuk ibunya. Itu juga sunnahku. Dan Allah mencintai orang mukmin yang bekerja.”
Dari riwayat ini bisa kita ambil hikmah, bahwa Nabi Muhammad SAW justru membenarkan si pemuda yang tidak ikut mengaji tersebut karena sebab bekerja. Sejak saat itu, sahabat tidak lagi mudah mengkritik orang yang tidak mengaji. Riwayat ini sekaligus menjadi pengingat bagi para kiai atau pemuka agama, supaya tidak terlalu cepat bersikaap reaktif ketika menemui jamaahnya yang tidak mengaji karena sebab pekerjaan.
Gus Baha melontarkan guyonan, “Saya ini Kiai yang sukses. Sebab yang mengaji ya saya puji, yang tidak mengaji juga saya puji.” Kenapa bisa? Gus Baha melanjutkan, pada dasarnya orang yang datang ke pengajian adalah orang yang baru ingin belajar. Sementara orang yang tidak ikut mengaji karena bekerja, sebenarnya sedang mengaplikasikan ilmunya.
Misalkan bekerja mencari nafkah, mengasuh anak, atau bahkan mengajak bermain anaknya sebagai bentuk kasih sayang. Itu semua adalah cara manusia mengaplikasikan ilmu yang diterima dalam kehidupan. Toh jika berhalangan mengaji karena urusan keluarga atau mencari nafkah, tidak ada masalah. Lain halnya jika meninggalkan pengajian atau ibadah karena maksiat dan melakukan perbuatan yang haram.
Tidak hanya dalam hal mengaji. Dalam aspek shalat Jamaah pun demikian. Gus Baha menambahkan, suatu ketika Abu Al-Qasim Junaidi ditanya, bagaimana ketika ada orang yang sedang bekerja, kalau dia shalat jamaah bisa dimarahi sama majikannya. Namun kalau dia tidak shalat jamaah, maka akan kehilangan fadhilah jamaah?
Abu al-Qasim menjawab dengan mantap, “Shalat sendirian saja. Yang penting kamu bisa menafkahi keluargamu.”
Lho, bukankah jamaah itu fardhu kifayah? Abu al-Qasim lantas menjawab, jangan sampai gara-gara jamaah, kamu kehilangan nafkah dan orang menyalahkan shalat. Maka dari itu, shalat jangan sampai jadi tersangka. Jangan sampai shalat menjadi sesuatu yang disalah-salahkan kalau shalat jamaah menyebabkan hilangnya jalan nafkah untuk keluarga.
Gus Baha mencontohkan ketika bulan Ramadhan, orang muslim pasti berkeinginan untuk beribadah tarawih secara penuh. Namun terkendala pekerjaannya. Ada yang bekerja sebagai satpam harus menjaga malam, jadi tidak bisa tarawih. Ada yang berdagang bakso, kernet bis dan lain sebagainya, karena pekerjaannya jadi tidak mampu tarawih. Banyak umat Islam yang sebenarnya ingin beribadah dengan penuh, tapi tidak bisa.
Amat sayang jika yang berhalangan demikian lantas dikritik atau dicap jelek oleh ulamanya sendiri. Dengan demikian ulama harus mengerti, bahwa dirinya membawahi banyak sekali umat termasuk mereka yang tidak bisa beribadah karena desakan pekerjaan. Allah dan Nabi Muhammad saja mencintai para pekerja yang mencari nafkah bagi keluarganya.
Semoga Allah merahmati para pencari nafkah dan para pekerja!