Mayoritas ulama menganggap Pancasila dan UUD 1945 sudah final. Tidak perlu diperdebatkan dan diganti dengan dasar yang lain. Diskusi soal dasar negara ini sudah lama dibahas, memakan waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya sebagian besar ulama di Indonesia menyepakati Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara.
KH.Ahmad Siddiq mengatakan Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.
Meskipun demikian, sebagian kecil muslim Indonesia belum sepenuhnya menerima kesepakatan ini. Mereka masih terus memperjuangkan ideologi Islam menjadi dasar negara. Sebab, Islam menurut mereka tidak hanya mewajibkan ibadah, tetapi juga mewajibkan pendirian negara Islam.
Memang ada perbedaan di kalangan umat Islam dalam melihat politik, khususnya perihal keharusan mendirikan negara Islam. Kelompok yang menyatakan kewajian mendirikan negara Islam memahami ajaran Islam tidak hanya memuat ibadah, tetapi juga politik. Islam tidak sempurna menurut mereka, tanpa adanya sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah negara. Sistem pemerintahan yang mereka bayangkan adalah sistem khilafah di mana seluruh wilayah umat Islam dipimpin oleh satu orang pemimpin.
Sementara menurut mayoritas ulama, politik bukanlah bagian dari rukun Iman. Tidak pernah kita dengar dalam rukun iman atau rukun Islam keharusan mendirikan negara Islam. Ini artinya, politik bukan bagian dari ushuluddin (ajaran pokok agama). Dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah, urusan politik diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Manusia dibolehkan berijtihad untuk memutuskan sistem mana yang terbaik diterapkan dalam konteksnya masing-masing. Syariat tidak mengatur bentuk formal dan detailnya, tapi yang penting sistem apapun yang dirumuskan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu, pada muktamar pembaharuan pemikiran Islam yang diadakan tahun 2020 di Mesir, seluruh ulama yang hadir pada acara itu menyatakan bahwa Islam tidak mengenal istilah negara agama (teokrasi). Tidak ada dalil yang kuat dari literasi keislaman untuk mendirikan negara agama. Negara dalam pandangan Islam adalah negara modern yang demokratis dan konstitusional.
Mayoritas ulama menolak negara agama, tetapi juga menolak negara yang mengingkari agama. Khilafah adalah konsep pemerintahan yang relevan pada masanya. Urusan agama dan dunia memang pernah berjalan baik dengan sistem tersebut. Tetapi tidak ada ketentuan baku dalam al-Qur’an dan hadis yang mewajibkan sistem tersebut. Sistem apapun dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Rasulullah dan para sahabat pada masanya harus diakui menerapkan sistem pemerintahan tunggal, seluruh umat Islam berada di bawah kekuasaan satu orang pemimpin. Tapi yang perlu ditegaskan model pemerintahan seperti itu bukanlah kewajiban agama yang tidak bisa diotak-atik. Ini sebenarnya bukanlah pandangan baru. Dalam literatur fikih atau ushul fikih disebutkan tidak samua apa yang dilakukan Nabi mesti diikuti. Yang wajib diikuti hanyalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi yang berkaitan dengan syariat. Sementara putusan Nabi dalam konteks beliau sebagai pemimpin mesti dikontekstualisasikan agar sesuai dengan masa sekarang.
Selain itu, Piagam Madinah ialah contoh baik bagaimana Nabi membuat aturan bersama. Perumusan Pancasila sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Piagam Madinah. Kedua kesepakatan ini dirumuskan secara bersama melibatkan banyak agama, dan putusannya tidak memihak pada salah satu agama tertentu. Sekalipun Pancasila tidak ada di dalam al-Qur’an dan hadis, tetapi substansinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Menjaga kesepakatan yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 merupakan sebuah keharusan. Ini sama saja dengan menjaga perjanjian yang sudah disepakati. Mengingkari perjanjian adalah dosa. Begitu pula dengan pengingkaran terhadap Pancasila. Karena para pendiri bangsa kita sudah menyepakati dasar negara ini, maka kita tidak perlu mengganti sistem itu dengan sistem yang lain, apalagi dengan menggunakan cara-cara yang inkonstitusional.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT