Setiap pengasuh pesantren, memiliki cara mendidik santri. Demikian pula cara mendidik putranya sendiri. Cara yang dipilih, memiliki kelebihan masing-masing. Termasuk Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016). Tokoh pendiri Pesantren Darus-Sunnah Ciputat. Memiliki putera tunggal; KH. Zia Ul Haramein. Kiai muda ini, kini melanjutkan tampuk Khadim Ma’had Darus-Sunnah. Pesantren yang diidentikan dengan kajian hadis dan ilmu hadis. Selama 4 tahun, mahasantri wajib mengkhatamkan kutubussittah.
Sependek yang kami pahami, setidaknya ada 2 prinsip penting mendidik anak ala Kiai Ali Mustafa Yaqub. Pertama, mencurahkan kasih sayang, bukan berarti memanjakan. Dapat dibanyangkan betapa beliau sangat sayang dengan putera satu-satunya. Namun bukan berarti lantas memanjakan. Dalam beberapa kesempatan, saat menyambut wali santri, Kiai Ali menyampaikan bahwa mencurahkan kasih sayang kepada anak itu ibarat orang menyirami tanaman. Jika siraman kurang, tanaman akan kering. Tidak tumbuh berkembang. Bahkan bisa layu dan mati.
Di sisi lain, jika siraman air berlebih, tanaman juga tidak akan tumbuh dengan baik. Bahkan bisa mati. Secara perlahan, guyuran air di luar batas akan menyebabkan akar membusuk. Karena itu, petani ataupun tukang taman yang profesional, harus cerdik dan cermat menjaga keseimbangan asupan air tanaman yang ia rawat. Jika keseimbangan takaran siraman ini dapat dijaga, tanaman akan tumbuh dengan baik. Tumbuh sehat dan lebat. Dapat berbuah dan dipetik hasilnya. Perumpamaan ini, tidak jauh beda dengan curahan kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Jika terlalu berlebih, maka akan membuat anak manja. Tidak cakap hidup mandiri. Bergantung uluran tangan orang lain. Demikian juga sebaliknya, jika kasih sayang kurang diberikan, maka anak akan tumbuh menjauh dari orang tua. Tidak merasakan sentuhan kehangatan. Imbasnya, anak akan tumbuh memberontak orang tua. Karenanya, orang tua yang memondokan anak ke pesantren harus dapat menyeimbangan curahan kasih sayang. Berlebihan rasanya jika tiap akhir pekan, anaknya dijenguk. Dibawakan macam-macam makanan. Dilebihkan uang sakunya. Namun juga jangan sampai bertahun-tahun, anaknya tidak dijenguk ataupun dikirim bekal.
Prinsip kedua adalah mencintai anak, bukan berarti memberikan pengistimewaan berlebih. Harus dihindari anak bergantung kepada kebesaran orang tua. Lebih-lebih jika hingga dikultuskan. Dalam banyak kesempatan, Kiai Ali Mustafa Yaqub melarang santri dan mahasantri menghormat berlebihan kepada puteranya. Bahkan secara jelas, melarang untuk memanggil “Gus”. Beliau meminta putera semata wayangnya dipanggil langsung dengan nama atau dengan panggilan pada umumnya. Selain itu, saat sang putera ikut ngaji di pengajian mahasantri, Kiai Ali Mustafa Yaqub tidak membeda-bedakan. Dulu, ketika KH. Zia Ul Haramein salah membaca atau kurang tepat menjawab, maka juga dimarahi dan diberi hukuman.
Begitu juga terkait kedisiplinan, meskipun sebagai putera pengasuh, KH. Zia Ul Haramein wajib hadir tepat waktu dalam halaqah dan mudzakaroh. Tidak boleh absen ataupun terlambat. Termasuk juga harus aktif ikut dalam kepanitiaan yang diadakan di Darus-Sunnah. Karenanya, di acara-acara pesantren, KH. Zia Ul Haramein juga memakai seragam layaknya panitia lainnya. Ikut bergabung bersama dan bertugas di tengah-tengah mahasantri lainnya. Termasuk ikut mengangkat atau membersihkan peralatan yang digunakan untuk kesuksesan acara.
Dari 2 prinsip ini, sangat masuk akal, jika kini, KH. Zia Ul Haramein, putera tunggal Kiai Ali Mustafa Yaqub mampu melanjutkan estafet kepemimpinan di Darus-Sunnah. Semoga kita dapat memetik ibrah.