Toa Masjid, selain berfungsi sebagai petanda masuknya waktu Salat dengan kumandang azan, juga hadir dalam fungsinya sebagai pranata sosial. Dalam hal ini info kematian. Biasanya, petugas takmir mengawalinya dengan “Innalillahi wa inna ilaihi Roji’un, telah meninggal dunia dengan tenang fulan bin fulan, dan bla….bla…bla”. Itu kalau di tempat saya.
Dan tidak menutup kemungkinan jika di tempat lain ada redaksi seperti, “telah berpulang ke rahmat Allah”, atau “sampun sowan ngarso dalem Allah Subhanahu Wata’ala”, dan sebagainya dan sebagainya tergantung letak geografis juga unsur kearifan lokal masing-masing.
Percayalah, sewaktu kecil saya pernah dengan sangat naif bertanya “memangnya ada po, meninggal dengan tidak tenang?”.
Demi memuaskan rasa penasaran konyol itu, setiap ada pengumuman kematian, alih-alih merinding, saya justru khusyuk menyimak. Tentunya, sambil menerka-nerka jika barangkali yang bersangkutan kali ini dikatakan oleh sang narator sebagai “meninggal dengan tidak tenang”. Sayangnya, sejauh penantian saya, itu semua nihil.
Belakangan, saya sadar bahwa semua itu sia-sia. Kesadaran itu saya temukan di persimpangan ketika belajar di pesantren. Karena memang, pada dasarnya seorang yang telah meninggal tidak seyogyanya menjadi bahan gunjingan atau olok-olokan. Kecuali kalau yang bersangkutan terlibat dalam perkara hukum positif, piutang dan sebagainya yang menjadi PR meja hijau sehingga membuka kemungkinan untuk penggalian-penggalian fakta yang, tentunya melibatkan perbincangan dengan sanak famili atau orang terdeketanya. Itu pun tetap tidak boleh kita mengolok-olok masa lalunya.
Maka, jika belakangan ada tayangan setamsil Azab-nya Indosiar atau Dzolim-nya MNCTV yang menceritakan tentang ganjaran seseorang di dunia akibat perbuatan jahat dan dosa semasa hidupnya, sehingga pemirsa dapat memetik pelajaran untuk selalu berbuat baik dan menabung pahala di dunia, itu sungguh menggelikan.
Kegelian itu setidaknya saya landaskan karena dua hal. Pertama, Konon, tujuannya sih mulia. Ya itu tadi: pemirsa Indosiar dapat memetik pelajaran untuk selalu berbuat baik dan menabung pahala di dunia.
Tapi, sebagai generasi yang diedukasi oleh bejibun komik siksa neraka, video anak durhaka yang dikutuk menjadi ikan pari, majalah Hidayah, tayangan Rahasia Ilahi, Kuasa Ilahi, dan sebagainya, alih-alih meningkatkan kualitas keimanan, saya malah baper sama lantunan lagu relijinya Opick, Satu-nya Dewa 19 atau Tuhan-nya Gigi.
Kedua, jelas itu karena rating. Rukun iman yang paling sakral dalam industri pertelevisian. Ya, rating adalah cara untuk sebuah stasiun TV tau, sebanyak apa pemirsa yang nonton atau tidak. Sekali lagi, banyak yang nonton atau tidak. Jadi rumusnya adalah banyak-banyakan bukan bagus-bagusan. Kuantitas bukan kualitas.
Pandji Pragiwaksono (2017) dalam salah satu standup-nya bilang, konon Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sempat bikin peringatan, bahwa “tolong dong TV bikin sinetron yang lebih berkualitas”.
Tapi sejurus kemudian Pandji mengkoreksi, “mana bisa? wong tolak ukurnya adalah rating, banyak-banyakan bukan bagus-bagusan. Demikianlah, rating adalah alasan kenapa kita tidak nonton TV. Kita lebih milih nonton Bigo Youtube”. Ntap, Angkat topi buat Panji!!!
Memang, begitulah logika industri televisi. Dan penting untuk dicatat, jika agama termasuk yang tidak selamat dari hal ini. Industrialisasi kematian dan/atau jenazah misalnya, adalah salah satu bagian dari jebakan rating itu.
Betapa tidak, azab yang dalam terminologi agama merupakan takzir paripurna dari Tuhan, kini digambarkan dengan penuh dagelan: mulai mandor yang jenazahnya tertimpa meteor, jenazah masuk kolam lele, jenazah bau gas, dihujani badai dan topan, ditolak bumi, sampai tertimbun masa lalu balok es. Polanya pun bisa ditebak. Biasanya akan ada tokoh antagonis, lalu Pak Ustaz, dan kilmaksnya adalah ketika si antagonis yang menjadi jenazah dicibir ibu-ibu pasca tragedi.
Lepas dari apakah itu diangkat dari kisah nyata atau tidak, pada satu titik itu akan berimbas pada kita yang latah mengidentifikasi sesuatu menjadi sedikit-sedikit azab. Wabil Khusus bencana alam yang belakangan ini melawat sebagian daerah Indonesia.
Jelas, yang demikian itu sangat reduksionis. Sebab, persepsi itu sama saja menihilkan ragam cara pandang masyarakat di berbagai daerah yang, dalam catatan M. Nur Ichwan (2012) disebut mempunyai konstruksi “pengetahuan” tersendiri tentang bencana. Baik yang didasarkan atas pengalaman bersama alam, kearifan lokal, mitos, agama, ataupun ilmu pengetahuan. Semua itu, dalam kapasitasnya masing-masing, mempunyai penjelasan mengenai bencana alam.
Orang-orang terpelajar, umpamanya, mungkin lebih percaya pada pendekatan ilmu pengetahuan. Seperti mencoba menjelaskan geliat alam dengan kacamata saintifik yang masuk akal. Atau, orang yang dekat dengan alam, akan sangat peka terhadap perubahan alam di sekitarnya, seperti keluarnya hewan-hewan tertentu dari habitatnya.
Demikian halnya orang yang akrab dengan kearifan lokal—yang terkadang berbasis mitos juga—akan berpegang pada ajaran, norma, atau nilai yang dikembangkan secara turun-temurun. Pada yang terakhir ini bisa kita mengerti kenapa masyarakat lereng gunung Merapi di Yogyakarta jutru menamai erupsi bukan sebagai bencana, melainkan dengan Merapi ndue gawe (Merapi punya hajat).
Tapi di lain pihak, alhamdulillah, karena dengan itu kita jadi tahu sejauh apa kualitas tontonan orang-orang yang suka ngait-ngaitin bencana alam sebagai azab. Lebih ngeres jika ada yang sampai ngaitin bencana sebagai azab karena pemimpin zalim.
Lhah, badala. Sekalian aja bilang kalau Nabi Nuh itu gagal ngurus umat. Atau, Nabi Luth yang tidak becus menyelenggarakan negara. Berani?! Azab Tuhan tak sebercanda itu kali.