Pulangnya Habib Rizieq ke Indonesia seakan menyegarkan kembali energi sebagian umat Islam yang akhir-akhir ini agak lesu akibat akumulasi perasaan insecure dari banyak aspek kehidupan. Sosok Habib Rizieq mampu membawa harapan kehidupan relijius yang lebih baik bagi sebagian umat Islam. Keberhasilan Habib Rizieq tidak lain disebabkan oleh kharismanya dalam mengolah emosi komunal, menggugah harapan dan kebencian, melakukan performasi retorik, dan menetralisir semua upaya yang dianggap menodai dan merendahkan ‘ulama.’
Masalahnya, keberhasilan Habib Rizieq dalam mengorganisir massa berpotensi menjadi model yang kelak ditiru oleh pemimpin-pemimpin kharismatik lainnya di masa depan, khususnya mereka yang bergerak pada teritori pinggiran pusat politik seperti FPI. Posisi FPI yang secara struktural terpisah dari politik formal namun secara sosiologis menyerap energi religius lintas kelas, membuat Habib Rizieq punya keleluasaan politik yang melebihi politisi formal dan fanbase yang tersebar di lintas grup kajian Islamisme.
Akan tetapi, kalau menggores permukaan masalah tersebut, maka akan ditemukan bahwa ada tren hubungan umat dan ulama yang kurang sehat di Indonesia. Fenomena Habib Rizieq adalah akumulasi dari gabungan antara umat yang gandrung terhadap sakralisasi ulama, dan ulama yang menikmati sakralisasi dari umatnya. Hubungan seperti ini beracun, baik secara relijius ataupun sosiologis.
Pertama, jelas bahwa ada kesenjangan antara makna ‘ulama’ dalam kesarjanaan Islam dan makna ‘ulama’ dalam benak Islam populer. Di kesarjanaan Islam, penyandang predikat ‘ulama’ dibebankan pada kompetensi keilmuan dan capaian tingkat asketis tertentu. Dan umumnya, dua kualitas tersebut melepaskan dirinya dari belenggu kemanusiawian seperti menyenangi popularitas, pujian, peduli terhadap penghargaan dari makhluk, takut dihina, takut miskin, tidak menggantungkan diri pada perkara dunia dan sejenisnya yang menghalangi penghambaannya. Sementara itu, di benak Islam populer, predikat ‘ulama’ mudah disematkan sependek pada kualitas sandang dan retorika yang bertabur kata-kata Arab semata.
Kondisi ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada masyarakat umum karena, bisa mengenyam pendidikan pesantren adalah privilese. Namun tingginya gelombang islamisme yang kita saksikan saat ini adalah buntut―salah satunya―dari membiarkan istilah ‘ulama’ bergulir tak terkontrol dari banyak faktor kehidupan umat Islam yang saling kusut. Mengatur perkara agama memang rumit, apalagi bila ditempatkan pada situasi sosial yang memuat aktor yang eksploitatif dan umat yang belum memiliki literasi yang memadai.
Kedua, memuliakan ilmu dan pemilik ilmu adalah salah satu anjuran yang mendapat porsi khusus dalam Islam. Hal ini tidak lepas dari hakikat ilmu apapun yang selalu mengantarkan manusia pada kondisi yang lebih baik. Islam memuliakan ilmu sampai-sampai, misalnya: duduk di dalam forum ilmu meski tidak mencatat satu huruf pun dianggap lebih baik dibanding bersedekah seribu kuda perang; dan keutamaan pemilik ilmu dianggap lebih utama dibanding keutamaan bulan purnama di tengah malam berbintang. Artinya, ada penekanan yang sangat lugas dalam Islam untuk menghormati ilmu dan pemiliknya.
Ketiga, namun di lain sisi, pemilik ilmu juga punya tanggungan asketis yang berat, misalnya: pemilik ilmu yang fasik dan manipulatif dibebankan pada balasan yang mengerikan; orang yang paling rendah adalah orang yang ‘makan’ dari agamanya; beban lain yang ditanggung para pemilik ilmu dan ahli ibadah yang berkebalikan dengan persepsi umum dapat ditelusuri lebih jauh misalnya di Minhus Saniyyah. Artinya, ada tanggung jawab etik dan humbleness yang perlu dipenuhi oleh pemilik ilmu. Namun, tidak semua orang yang belajar ilmu (ilmu agama khususnya) punya kesadaran yang cukup dewasa untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.
Dalam cerpennya yang berjudul Satan, Khalil Gibran pernah mengkritik (meskipun ia atheis, namun kritiknya perlu diperhatikan) soal laku para pemilik ilmu (khususnya elit agama) yang tidak tau tanggung jawab etik dan tidak mau melepas belenggu kemanusiawiannya. Dikisahkan, ketika pendeta Samaan berjalan di padang pasir menuju desa lain setelah berdakwah di salah satu desa, ia mendengar suara rintih minta tolong, yang ternyata adalah suara Setan yang sedang terluka parah akibat kelahi dengan Malaikat. Karena mengira itu adalah suara jebakan perampok, Pendeta Samaan mengabaikannya.
Setan lalu berkata, “kau tidak mengenali ku? Aku adalah kawan dekatmu, Setan. Kau selalu menyebut namaku setiap hari saat kau menakut-nakuti orang lain. Tolonglah aku! Aku teluka, selamatkan aku! Kalau kau membiarkan ku, aku akan mati. Kalau aku mati, lalu dari mana kau bisa mendapat kesejahteraan mu? Setelah kau menggunakan keberadaan ku untuk menunjang dan mempersenjatai karir mu, dan setelah menggunakan nama ku untuk membenarkan kebutuhan sehari-hari mu, apakah kau masih tega untuk membiarkan ku mati di gurun tandus ini?” Pendeta Samaan lalu menolong Setan.
Cerpen itu adalah sindiran bahwa, janganlah menjadi pemilik ilmu agama yang menggantungkan eksistensinya pada sesuatu apapun yang diluar dirinya, apapun itu, bahkan termasuk sesuatu yang dianggap buruk seperti Setan.
Dengan kata lain, menikmati (atau bahkan tenggelam dalam) sakralisasi adalah sikap yang bertentangan religiusitas itu sendiri. Setinggi apapun ilmu dan serajin apapun ibadah seseorang, kalau masih memelihara perasaan lebih mulia dibanding orang lain (yang bahkan menurutnya seorang pendosa), maka dipertanyakan religiusitasnya. Religiusitas tidaklah sesempit soal penyortiran kelas sosial berdasarkan mana orang taat dan mana pendosa. Itu sebabnya, maka yang dibutuhkan adalah pemilik ilmu atau ahli agama yang berorientasi pada desakralisasi diri.
Sayangnya, jumlah pemilik ilmu atau ahli agama yang mendesakralisasikan dirinya masih bisa dihitung jari, dan regenerasinya cenderung lambat karena iklim sosial yang cenderung mendukung sakralisasi tokoh. Di lingkup keagamaan, melakukan audit kepakaran terhadap seorang ahli agama dianggap sebagai sesuatu yang tabu karena terkesan meragukan kesakralan ilahiyah. Problemnya, tidak sedikit orang yang berpura-pura pakar.
Bahkan masalah ini dapat bertambah rumit ketika secara kebetulan ia mendapat privilese pengakuan sosial berkat nasabnya dari turunan Arab. Selama masih ada sakralisasi diri (entah karena statusnya, hartanya, keturunannya, ataupun ilmunya), selama itu pula ia mengingkari dua hal: pertama, mengingkari bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan, kecuali karena amalnya. Kedua, mengingkari bahwa manusia tidak punya hak untuk menghakimi siapa yang lebih baik dan lebih buruk, siapa yang mulia dan tidak, dan siapa yang masuk surga dan tidak. Kalaupun seseorang mendapat kemuliaan, biarlah kemuliaan itu menjadi bonus yang tidak perlu diklaim bahwa asal-muasalnya dari hasil kerja keras dan sakralisasi dirinya.