Pada tahun 1957, para Kiai NU berkumpul untuk mendirikan Jam’iyyah Ahlith Thariqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah. Tujuan utamanya adalah untuk mewadahi seluruh thariqah yang dianggap sebagai thariqah mu’tabarah. Muktamar pertamanya diadakakan di Tegalrejo, 18 Rabiul Awal 1377 H/ 12 Oktober 1957 M.
Dikutip dari NU Online, kata al-nahdliyyah dalam nama organisasi ini menunjukkan dua hal, pertama, para pengamalnya selalu tergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT dengan mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dan fikih empat madzhab, mengamalkan ajaran tasawuf dari para ulama salafush shalih, serta berperan aktif dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, kata al-Nahdliyyah dimaksudkan untuk membedakan diri dengan organisasi serupa yang bukan Nahdliyyah, artinya yang bukan termasuk dalam badan otonom NU.
Al-Fuyudhat al-Rabbaniyyah termasuk buku penting yang mendokumentasikan hasil muktamar Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah. Buku ini disusun oleh Kiai Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamis Kudus, Kiai Mahfudz Anwar Jombang, dan Kiai Abdul Aziz Masyhuri Jombang.
Pada pengantar buku disebutkan, inisiasi awal penyusunan buku hasil muktamar sudah dilakukan oleh Kiai Abdul Jalil Humaidi, namun beliau meninggal pada saat melakukan ibadah haji, sehingga draft naskah yang sudah disusun tidak sempat diedit dan diterbitkan.
Atas dasar permintaan banyak orang, kumpulan hasil muktamar tersebut kemudian dikumpulkan, diedit, dan diterbitkan untuk kebutuhan jamaah thariqah mu’tabarah. Kumpulan hasil muktamar ini diberi judul, Fuyudhat al-Rabbaniyyah li Jam’iyyah al-Thariqah al-Mu’tabarah, diterbitkan dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia.
Isi buku ini merujuk pada hasil Muktamar I Tegalrejo 12 Oktober 1957, Muktamar II Pekalongan 9 November 1959, Muktamar III Tulung Agung 28-30 Juli 1962, Muktamar IV Semarang 28-30 Oktober 1968, dan Muktamar V Malang 7-8 Januari 1973.
Ada sekitar 127 masalah yang dijawab dalam buku ini, baik yang berkaitan dengan thariqah atau fikih secara umum. Di antara pembahasan Muktamar I Tegalrejo adalah soal hukum mengikuti thariqah, apakah wajib, sunnah, mubah, atau bagaimana?
Putusan Muktamar menjelaskan, kalau yang dimaksud dengan masuk thariqah itu belajar membersihkan hati dari sifat buruk dan menghiasinya dengan sifat terpuji, hukumnya adalah fardhu ‘ain, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW: menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Namun kalau yang dimaksud dengan thariqah mu’tabarah itu adalah mengamalkan dzikir dan wirid, maka ini termasuk dalam kategori sunnah Rasulullah. Sedangkan mengamalkan dzikir dan wirid setelah baiat, hukumnya wajib untuk memenuhi janji. Adapun talqin, atau mengajarkan dzikir kepada murid, hukumnya sunnah karena thariqah sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah.
Ditanyakan juga dalam sidang Muktamar, bagaimana hukumnya pindah dari satu thariqah ke thariqah yang lain? Hukumnya haram menurut kesepakatan Muktamar. Akan tetapi, seorang murid boleh pindah ke thariqah yang lain dengan syarat dia sudah mampu, menguasai, dan menyempurkan thariqah yang pertama, dan mengamalkan seluruh adab-adabnya.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana hukum seorang murid pindah ke guru thariqah yang lain? Putusan muktamar menyatakan, bila guru thariqah itu arif dan ahli, sementara thariqahnya sama, maka tidak boleh pindah kepada guru yang lain. Tapi kalau tujuannya untuk tabarruk dibolehkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Hadithiyyah.
Apabila guru yang pertama tidak arif dan tidak ahli, seorang murid boleh pindah dan mencari guru lain yang lebih arif dan ahli. Bahkan dia harus meninggalkan guru tersebut, jika gurunya sudah jelas menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, menuju kekayaan dunia, mengumpulkan harta benda, dan menggunakan thariqahnya untuk keperluan pribadi.
Yang dimaksud dengan arif di sini adalah orang yang mengerti, meyakini, dan mengamalkan hukum-hukum syariat yang menjadi pokok di dalam agama. Sedangkan ahli ialah orang yang memenuhi syarat mursyid. Di antaranya ialah mengerti syariat dan alat-alatnya secara lus dan mendalam. Hal ini sebagaimana disampaikan Imam al-Sya’rani dalam Al-Minan al-Kubra, ulama thariqah sudah sepakat bahwa tidak boleh seorang terlalu menonjolkan diri untuk mendidik murid kecuali setelah dia mendalami syariat.