Beberapa menit yang lalu, saat saya melihat utas Twitter saya, saya menemukan sebuah tweet dari salah satu petinggi MUI, Tengku Zulkarnain. Akun sekjen MUI ini mengirimkan tweet ucapan yang diklaimnya sebagai hadis.
Rasul Bersabda:”Siapa yang Bersama dengan Orang Zholim, Dia Membantu Orang Zholim Itu, padahal Dia Tahu bahwa Orang Itu Zholim, maka Orang yang Membantu si Zholim Itu Telah Keluar dari Islam(al hadist). Semoga Kita Diselamatkan Allah dari Manusia2 Zholim dan Tdk Membantunya. Amin”
Rasul Bersabda:”Siapa yang Bersama dengan Orang Zholim, Dia Membantu Orang Zholim Itu, padahal Dia Tahu bahwa Orang Itu Zholim, maka Orang yang Membantu si Zholim Itu Telah Keluar dari Islam(al hadist).
Semoga Kita Diselamatkan Allah dari Manusia2 Zholim dan Tdk Membantunya.
Amin— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) 22 April 2019
Sebagai orang yang pernah ‘sedikit’ belajar hadis dan ilmu hadis, saya merasa aneh. Jika yang dimaksud dengan “keluar dari Islam” oleh Tengku Zulkarnain ini adalah murtad, maka betapa ringannya kita menjadi murtad, mengingat definisi zalim dalam bahasa Arab adalah “meletakkan sesuatu selain pada tempatnya.”
Bukan cuma kita, para sahabat nabi ketika surat al-Anam ayat 82 turun saja sempat protes kepada nabi. Untung saja, nabi segera menjelaskan bahwa zalim yang dimaksud dalam ayat itu adalah syirik, sembari menyebutkan surat Luqman ayat 13.
إن الشرك لظلم عظيم
Lalu, apakah kata ‘zalim’ dalam tweet Tengku Zulkarnain itu termasuk semakna dalam hal ini? Sebelumnya kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa tweet itu benar-benar dari hadis atau bukan. Kita harus melakukan takhrij (salah satu cabang ilmu hadis yang digunakan untuk mengecek sebuah hadis langsung dari sumbernya) terlebih dahulu untuk memastikan apakah tweet tersebut benar-benar hadis atau bukan.
Namun sebelumnya, kita perlu ketahui bahwa Al-Suyuti dalam Tadribur Rawi pernah menyebutkan bahwa tanda-tanda sebuah hadis itu palsu atau bukan adalah dengan melihat isinya, salah satunya jika hadis tersebut menjelaskan amalan ringan tapi balasannya besar sekali. Murtad menurut saya adalah balasan yang sangat besar untuk zalim, jika kita kembali pada definisi asalnya.
Setelah ditakrij, penulis menemukan hadis daif yang diriwayatkan oleh al-Tabrani.
وعن أوس بن شُرَحبيل أحد بني أَشْجَع: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول «مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِيْنَهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ فَقَدْ خَرَجَ مِنَ إلاسْلامِ ». رواه الطبراني في الكبير، وفيه: عياش بن مُؤنس، ولم أجد من ترجمه، وبقية رجاله وثقوا، وفي بعضهم كلام.
Hadis tersebut daif karena ada rawi majhul bernama Iyas bin Mu’nas, yang tidak ditemukan tarjamah (biografinya).
Hadis seperti ini tidak bisa dijadikan dalil karena tidak bisa diteliti kredibilitas perawinnya.
Namun, ada hadis lain yang lebih baik kredibilitas perawinya. Yaitu:
سَتَكُونُ بَعْدِى أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَىَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَىَّ الْحَوْضَ
“Akan datang masa setelahku para pemegang kekuasaan, siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu perbuatan dzalim mereka, maka mereka bukanlah golonganku, aku bukan golongannya, dan ia tidak akan merasakan air telaga kautsar bersamaku. Dan siapa yang tidak membenarkan kebohongannya, tidak membantu kezalimannya, maka ia adalah bagian dari golonganku, dan aku adalah bagian dari golongannya dan ia akan merasakan air telaga Kautsar bersamaku.”
Matan (isi) hadis ini saya ambil dari matan Sunan al-Nasa’i, karya Imam an-Nasai. Selain an-Nasai, masih ada beberapa matan lain yang diriwayatkan oleh para mukharrij lain, seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, al-Tabrani, al-Tirmidzi, dan beberapa mukharrij lain.
Dengan hasil takhrij tersebut, kita bisa membandingkan redaksi matan dan memahami hadis tersebut secara komprehensif dan tidak setengah-setengah.
Jika kita baca hadis di atas saja, kita tidak akan menemukan mengapa Rasul berbicara seperti itu, dan dalam konteks apa Rasul bicara. Apa yang terjadi dengan Umara’ tersebut, sehingga Rasul melarang sahabat saat itu, yaitu Kaab ibn Ujrah, untuk tidak percaya dengan mereka?
Ini tidak akan kita ketahui jika hanya membaca satu potongan hadis di atas. Di sinilah pentingnya takhrij, kita bisa mengetahui asbabul wurud sebuah hadis, karena salah satu prinsip memahami hadis adalah “Fahm al-Ahadis fi dhaui asbabiha wa mulabasatiha wa maqasidiha” (memahami hadis dalam konteks sebabnya, penggunaannya, dan maksud tujuannya) sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaradhawi dalam Kaifa Nataamal Maa Sunnah an-Nabawiyah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, disebutkan lebih jelas konteks Rasul melarang hal tersebut. Larangan Rasul tersebut adalah karena sang umara’ memerintahkan kepada orang lain sesuatu yang tidak ia kerjakan.
سيكون عليكم أمراء يأمرونكم بما لا يفعلون فمن صدقهم بكذبهم واعانهم على ظلمهم فليس منى ولست منه ولن يرد على الحوض
“Akan datang masa setelahku para pemegang kekuasaan yang menyuruh kalian melakukan sesuatu tapi ia sendiri tidak melakukannya, siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu perbuatan dzalim mereka, maka mereka bukanlah golonganku, aku bukan golongannya, dan ia tidak akan merasakan air telaga kautsar bersamaku.” (Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Alimul Kitab, 1998), j. 2, h. 95)
Inilah yang dimaksud zalim dan kadzib dalam konteks hadis tersebut, menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu tapi ia sendiri tidak melakukannya.
Lantas, apakah orang tersebut secara otomatis keluar dari Islam (murtad) seperti yang dikatakan Tengku Zulkarnain?
Tidak juga, kata “laisa minni” dalam hadis di atas bukan dimaksud murtad, tetapi Rasul Saw terbebas dari tanggungan terhadap umatnya yang melakukan hal tersebut, mengingat Rasul menjadi tumpuan dari para umatnya. Hal ini bisa dilihat dari redaksi riwayat Ibn Hibban yang menggunakan kata “Bari'” (lepas tangan).
فأنا منه بريء وهو مني بريء
“Maka aku lepas tangan darinya dan dia terlepas dari (tanggungan)-ku” (Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993). j. 1, h. 519.
Hal ini juga disebutkan oleh al-Mubarakfuri bahwa Rasul membatalkan tanggungan atas orang tersebut (Naqd dimmah). Hadis ini sesuai dan menjadi penguat dari QS. as-Saff ayat 2-3.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Terkait kesahihan hadis di atas, al-Tirmidzi sendiri meragukannnya karena dalam sanad hadis tersebut ada seorang rawi bernama Ayyub bin Aid al-Thai yang divonis oleh ulama sebagai orang yang daif, walaupun hadis ini disahihkan oleh Albani.
Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa, Tengku Zulkarnain tidak teliti dengan hadis ini. Ia tidak meneliti lebih jauh sebelum menggunakan hadis tersebut. Ia asal pake hadis asal sesuai dengan kepentingan politiknya.
Tentu kita perlu belajar lagi sabda Nabi, “Siapa yang berbohong atas namaku secara sengaja, maka ia sudah disiapkan tempatnya di neraka.”
Di sisi lain, sebagai seorang yang mendaku sebagai ulama, harusnya Tengku Zulkarnain juga terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri. Jika tidak, ia bisa termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam hadis tersebut. Ali ibn Abi Thalib pernah menyebutkan,
عجبت لمن يتصدى لإصلاح الناس ونفسه أشد شيء فسادا فلا يصلحها ويتعاطى إصلاح غيره
“Aku heran dengan orang yang berusaha memperbaiki manusia tapi dirinya malah lebih parah rusaknya. Bukan malah memperbaikinya, ia justru sibuk memperbaiki orang lain.”
Wallahu A’lam.