Sa’duddin Mahmud Syabistari adalah salah-satu sufi besar Persia yang pernah ada. tiga karyanya yang pernah ditemukan adalah Gulshan-i-Raz, Haqqul Yaqin, dan Risala-i-Shadid.
Berbeda dengan Rumi, Hafiz, atau Al-‘Araby yang biografinya mudah dibaca, tak banyak kisah yang dapat disimak dari kehidupan Syabistari. Ia seolah menghilang dari sejarah.
Pada tahun 1821 Dr. Tholluck dari Berlin menerbitkan nukilan-nukilan sajak Syabistari, yang setahun kemudian ia menerbitkannya dalam bahasa Jerman. Sebagaimana layaknya seorang sufi, Syabistari adalah sosok individu yang terpenjara dalam cinta, bukan cinta yang biasa tetapi cinta yang luar-biasa, cinta pada Tuhan yang menggebu.
Berikut saya nukilkan salah satu sajak Syabistari dari kitab syair Gulshan-i-Raz :
AKU DAN ENGKAU
aku dan engkau
tak lain hanya kisi-kisi
dalam ceruk sebuah lentera
tempat Sang Satu Cahaya bersinar
aku dan engkau
hanyalah selubung
antara langit dan bumi
angkatlah selubung ini
dan tak lagi kau lihat
ikatan madzab dan keimanan
ketika aku dan engkau melenyap
apa arti masjid??
apa arti sinagog??
apa arti kuil api??
Bandingkan sajak Syabistari di atas dengan sebuah paragraf yang ditulis oleh Maulana Jalaludin Rumi dalam kitab Matsnawi berikut :
“Aku bukanlah orang Nasrani, aku bukanlah orang Yahudi, aku bukanlah orang Majusi, dan aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampauilah gagasan sempitmu tentang benar dan salah, sehingga kita dapat bertemu dalam “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah”
Artinya, baik Syabistari maupun Rumi telah membebaskan diri dari sekat-sekat agama dalam pengertiannya yang sempit, dari belenggu-belenggu pemujaan terhadap doktrin yang menyesakkan.
Cinta bagi Syabistari harus membebaskan diri dari belenggu itu. Cinta itu universal melampaui sekat-sekat agama. Saat dunia terjebak dalam sekat-sekat promordial keagamaan, saat itulah kebencian hadir dan cinta menguap, mengudara dan hilang. Dan, cinta universal itu termanifestasi dalam “Aku” yang tidak lagi terpukau pada masjid, sinagog atau kuil api, tetapi telah menjadi Aku yang dengan tulus memuja Tuhan, individu yang Maha Merdeka.
Syabistari bersenandung tentang Tuhan :
Cahaya Maha Cahaya adalah keindahanNya
Yang memikat hati
dan singkapanNya yang mempesona
adalah kesatuan maha kesatuan
ketika Dia melangkah
seluruh jiwa mengikutinya
bergayutan erat di keliman baju-Nya.
Saat itulah, saat Aku bertemu dengan kesatuan maha kesatuan, ia menghilang berbaur dengan Tuhan yang Maha Merdeka, menjadi aku yang merdeka. Aku yang mengisi “suatu ruang murni”, ujar Rumi.
Haris el Mahdi