Dalam sebuah diskusi, seorang aktivis HTI menyatakan kalau nasionalisme memecah-belah umat Islam. Pendirian negara bangsa membuat kekuatan umat Islam tidak lagi tunggal dan menyatu. Akibatnya, umat Islam semakin lemah dan sampai saat ini, menurut aktivis HTI ini, tidak ada satupun pemimpin Muslim yang bisa menyelesaikan persoalan umat Islam. Seperti biasa, apapun masalahnya, bagi HTI, khilafah solusinya.
TGB Zainul Majdi yang kebetulan menjadi narasumber dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa proses lahirnya negara bangsa di Indonesia dengan negara bangsa di Timur-Tengah itu berbeda. Negara bangsa di Indonesia menyatukan, bukan memecah belah. Dulu Indonesia ada banyak kerajaan, kekuatannya tidak satu, karena nasionalisme, kekuatan Indonesia menyatu dari Sabang sampai Merauke.
Sementara di Timur-Tengah, kelahiran negara bangsa dianggap memecah-belah kekuatan umat Islam. Makanya, muncul gerakan untuk memunculkan kembali kekhalifahan Islam, seperti yang dikampanyekan Hizbut Tahrir di Palestina, yang kemudian menjadi gerakan global. Mereka menganggap dulunya umat Islam satu di bawah kekuasaan, seperti Turki Utsmani, tapi karena ada penjajahan dan pemberontakan kekuatan umat Islam menjadi pecah, dan banyak wilayah di Timur-Tengah memisahkan diri menjadi negara mandiri.
“Tapi kalau di Indonesia lahirnya negara bangsa yang namanya Indonesia ini justru menyatukan kekuatan. Sebelum adanya negara bangsa yang namanya Indonesia ini kita kerajaan-kerajaan kecil. Yang karena kecil, kita tidak mampu mengonsolidasikan kekuatan umat. Banyak sekali kesulthanan dan kerajaan, ketika lahir negara bangsa Indonesia, kekuatan kecil itu menyatu. Jadilah kekuatan besar umat Islam yang ada di Indonesia”, Tegas TGB.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat ini menekankan perlunya membaca konteks dari buku yang ada. Karya tentang kekhalifahan yang lahir di Timur-Tengah khususnya itu memiliki konteks tersendiri. Buku itu tidak lahir dari ruang kosong. Anggapan negara bangsa memecah belah umat yang ditulis di Timur-Tengah sangat erat kaitannya dengan ketidakberdayaan dan runtuhnya persatuan di sana. Akan menjadi masalah bisa itu dibaca, kemudian diterapkan di Indonesia. Padahal, Indonesia lahir justru sebaliknya. Kalau di sana memecah belah, di sini menyatukan. Jangan membaca buku lepas dari konteks.
“Yang ingin saya katakan adalah mari kita cermati konteks lahirnya negara bangsa, tumbuhnya nasionalisme. Kalau di Timur-Tengah itu nasionalisme artifisial, memang dibelah-belah mereka, kalau kita, nasionalisme kita perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajah. Itu adalah tuntunan Islam”, tambah Alumni Al-Azhar tersebut.
Apalagi, negara bangsa Indonesia terbentuk dari resolusi Jihad. Pendirian negara ini didorong resolusi jihad. TGB berpesan kepada aktivis HTI yang hadir dalam forum tersebut untuk terbiasa membaca buku disesuikan dengan konteksnya, supaya tidak salah dalam penerapannya. Sebab bila khilafah diwacanakan dan didirikan di Indonesia, justru yang terjadi sebaliknya: perpecahan dan pertengkaran.