Ribuan muslim dari berbagai negara, termasuk Indonesia, tertarik pindah ke Suriah bergabung dengan ISIS. Terdapat banyak hal yang mendorong mereka pindah negara, salah satunya faktor ideologi keagamaan.
Sebagian pengikut ISIS beranggapan bahwa negara asal mereka adalah negara kafir dan tidak menerapkan hukum Islam secara kafah. Mereka melarang umat Islam untuk menetap di negara kafir dan sistem hukumnya tidak berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Sebab itu, ISIS membuat propaganda dan provokasi agar umat Islam pindah ke Suriah. Simpatisan ISIS meyakini bahwa wilayah kekuasaan ISIS ialah satu-satunya representasi dari negara Islam saat ini. Tidak ada negara Islam (dawlah islamiyyah) selain wilayah kekuasaan ISIS.
Dalam memuluskan agendanya, ISIS menggunakan hadis keberkahan negeri Syam dan hadis hijrah ke negeri Syam. Tujuan penggunaan hadis-hadis tersebut agar orang meyakini bahwa hijrah ke wilayah kekuasaan ISIS sebagai bagian dari perintah agama. Kalau tidak mau pindah ke Suriah, berati sama saja dengan menentang kewajiban agama.
Akibat pemahaman itu, banyak orang meninggalkan tanah kelahiran, mengorbankan harta dan profesi, serta membawa keluarganya untuk tinggal di “dawlah islamiyyah” versi ISIS. Mereka lebih memilih tinggal di wilayah konflik ketimbang negara asalnya, seperti Indonesia, yang lebih lebih aman dan damai.
Kalau diperhatikan lebih dalam, semangat hijrah simpatisan kaum radikal ini bertentangan dengan hijrah yang diajarkan Nabi. Dahulu Nabi bersama sahabat hijrah karena tanah kelahirannya (Mekah) sudah tidak aman lagi dan berkali-kali beliau diancam dan diintimidasi oleh penduduk Mekah. Kalau tidak ada tekanan dan ancaman dari kafir Quraisy tentu Nabi tidak akan hijrah dan lebih memilih Mekah sebagai tempat tinggal.
Sebab itu, Abu Hanifah lebih cenderung mengartikan negara Islam (darul Islam) sebagai negara yang memberi keamanan pada penduduknya dalam menjalankan aktifitas keagamaan. Bahkan menurut al-Mawardi, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar, orang yang tinggal di negara kafir sekalipun, selama dia masih bisa menjalankan kewajiban agama secara terang-terangan, maka status negar tersebut berubah menjadi negara Islam (dar al-islam).
Merujuk pada dua pendapat ini, mestinya kalau berada di negara yang aman, meskipun dipimpin oleh orang kafir sekalipun, sudah tidak ada keharusan hijrah. Malahan tinggal di daerah tersebut lebih utama karena bisa mengenalkan Islam kepada khalayak luas. Muslim yang tinggal di Barat misalnya, seharusnya tidak perlu tinggal dan pindah ke Suriah karena ladang dakwah dan amal mereka lebih luas di Barat ketimbang di Suriah.
Apalagi muslim Indonesia, tidak usah repot-repot pindah ke Suriah bergabung dengan ISIS. Meskipun konstitusi tidak berlandaskan langsung pada al-Qur’an dan hadis, tetapi aturan yang dibuat di Indonesia sejatinya tidak bertentangan dengan Islam dan sesuai dengan substansi Islam. Setiap orang, dari suku manapun dan agama apapun, di negara ini bisa hidup berdampingan dan menjalankan kewajiban agama mereka tanpa ada ancaman dan siksaan.
Jadi, sangat aneh dan miris kalau masih ada kelompok yang menyebut Indonesia sebagai negara kafir. Terlebih lagi kalau sampai mengajak muslim Indonesia berbondong-bondong hijrah ke Suriah dengan alasan di sana lebih Islam dibanding Indonesia.