Diduga berbeda pilihan saat Pilkada serentak kemarin, kuburan suami istri di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dibongkar paksa oleh sekelompok orang. Video tersebut viral saat diposting oleh akun X @Heraloebss pada Jumat (29/11/2024) kemarin. Berdasarkan keterangan akun tersebut pemilik lahan meminta keluarganya untuk segera memindahkan jenazahnya tersebut.
“Orang tua salah satu pendukung 02 dibongkar makamnya berhubung karena tidak satu pilihan dengan yang punya tempat pemakaman, tepatnya Jumat 29 November 2024 di Desa Manjalling, Kecamatan Ujung Loe,” kata narasi di video yang viral tersebut.
“Inilah bukti nyata bahwa perbedaan pilihan terdapat pada orang yang meninggal,” sambungnya.
Perkara seperti ini, sebetulnya bukan barang baru di Indonesia. Pada kasus-kasus sebelumnya, bahkan sampai ada jenazah yang tidak disholatkan atau tidak boleh disholatkan di masjid tertentu karena berbeda pilihan politik.
Lantas bagaimana hukumnya dalam Islam memindahkan makam seseorang karena alasan tersebut?
Agama Islam mengajarkan penghormatan terhadap jenazah dengan cara memandikan, membersihkan, menshalatkan, mendoakannya, dan menyelesaikan segala urusan utang-piutang yang ditinggalkannya sebelum dimasukkan ke liang lahat.
Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya, Bidayatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan,
“Menggali kembali mayat setelah dikubur, baik untuk dipindahkan atau untuk tujuan lainnya, adalah haram karena hal itu melanggar kehormatan mayat, kecuali jika ada kebutuhan darurat seperti mayat dikubur tanpa dimandikan, tanpa kafan atau tidak menghadap kiblat. Pemindahan ini hanya diperbolehkan selama tubuh mayat belum berubah, seperti membusuk atau terpotong-potong,” (Bidayatul Muhtaj Syarh al-Minhaj h. 116).
Sedangkan, beberapa alasan yang memperbolehkan pemindahan makam adalah seperti belum sempurnanya pengurusan jenazah, jenazah muslim dimakamkan di pemakaman non muslim, pemakaman di lokasi yang tidak layak hingga barang berharga yang jatuh ke dalam kubur. Semua alasan itu, tentu dilakukan dengan syarat-syaratnya tersendiri.
Dalam penjelasan lain disebutkan, memindahkan jenazah sebab beda pilihan politik bukanlah termasuk udzur yang dharurat dan dibenarkan oleh syar’i. karena itu, memindahkan jenazah akibat beda pilihan politik adalah haram hukumnya. Hal tersebut dapat menodai dan merusak kehormatan jenazah. Kitab Asna Mathalib menyebutkan,
“Haram menggali kuburan sebelum kondisi jenazah dipastikan hancur menurut ahli perbumian. Larangan itu dikarenakan bisa merusak kehormatan jenazah.”
Dari uraian diatas, kiranya dapat dipahami memindahkan makam atau jenazah karena beda pilihan politik adalah haram hukumnya. Terlebih dibongkar dengan paksa kuburannya.
Kasus-kasus semacam ini agaknya bisa menjadi pelajaran untuk pendewasaan bermasyarakat dan beragama di Indonesia. Bahwa, urusan politik adalah tersendiri, politik tidak perlu dan penting sekali dibawa dalam urusan privasi sampai-sampai berani membongkar paksa kuburan seseorang. Maka benar kata Gus Dur, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,”
Ungkapan ini menggambarkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia, harus selalu diutamakan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam politik.
Politik hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, yakni membangun kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat bagi semua orang.