Dalam ceritanya yang masyhur kanjeng Nabi Muhammad rutin tiap minggu tigakali memberi makan perempuan buta setengah tua yang agamanya yahudi. Tidak dalam kondisi normal, perempuan itu justru rutin berpidato menjelekkan kanjeng nabi Muhammad hingga keringatan–kelelahan.
“Bu istirahat dulu, ibu terlihat capek. Saya bawa sup untuk ibu,” ujar KH. Mustofa Aqil Siroj beberapa waktu lalu.
Sekian berlalu, kanjeng Nabi wafat. Abu Bakar melanjutkan kebiasaan kanjeng Nabi tersebut. Begitu menyuapi, tangan Abu Bakar dipegang lalu ditanya oleh perempuan tersebut.
“Kamu siapa? Kamu bukan yang kemaren.” Lanjut kiai Mustofa. Abu Bakar tetap mengelak bahwa dialah yang biasa menyuapi. Perempuan tersebut ragu. “Bukan, bukan. Yang kemaren halus, enak, lembut. Yang sekarang ini kasar. Siapa kamu? Kamu bukan yang kemaren.” Kata perempuan Yahudi kepada Abu Bakar.
Seketika Abu Bakar menangis. “Kenapa kamu menangis?” Tanya perempuan itu. Abu Bakar akhirnya mengaku. “Saya Abu Bakar, yang kemaren itu Muhammad, Muhammad Nabi saya.” Demikian kiai Mustofa mendialogkan percakapan Abu Bakar dengan perempuan Yahudi.
Lantas perempuan Yahudi tersebut menjerit keras sekali tanda menyesal. Lalu bersyahadat. Masuk islam.
Uraian cerita di atas tak belaka dongeng, pun tak sesempit kepindahan agama si perempuan Buta. Bukan itu. Sekali lagi bukan itu. Kanjeng nabi memelihara tugas Tuhan untuk menyulam akhlak–innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak. Pun pelantara terciptanya kasih sayang yang mendamaikan seluruh alam–wa maa arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin (QS. Al Anbiya 21:107). Tak sebatas lil muslimin saja.
Dengan konsep dan prilaku kanjeng Nabi ini, Jelas surga tak belaka jaminan yang wajib dikejar dengan membabibuta. Ia akibat dari prilaku yang memberikan perlindungan, menyegerakan tindakan arif, berhati-hati dan bijaksana. Pun Neraka, tak semata balasan yang mengakibatkan ketakutan yang berlebihan.
Maka jika keduanya yang dijadikan tujuan, jelas kacau. Sebab keduanya ada yang memiliki. Yang punyalah yang harus dijadikan titik sasar utamanya. Caranya, dekati siapapun yang dekat denganNya. Siapa? Jika Tuhan pengasih dan penyayang, dekati mereka yang kering kasih dan sayang, jika Tuhan pengampun, dekati mereka-mereka yang Pendosa. Pun jika tuhan penjamin rezeki, dekatilah mereka yang kelaparan. Sebab mereka lah yang diharapkan tuhan agar kalian bercampur tangan dengan meneladani sifat-sifat dan ekaistensinya.
Tuhan sangat benci mereka yang sekadar bontang-banting mengaku beragama dengan sekedar mengumandangkan agama-agama secara formal–roaitalladzi yukaddzibu biddin. Sementara mereka abai dan pahit rasa terhadap sesamamu (ciptaanNya)–laa yahuddu ‘ala tho’amil miskin).
Pun kasih sayang Tuhan nyata tetap mengaliri mereka-mereka yang ingkar dengan tetap memberikan kesempatan hidup dan bertaubat, bukan?